KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalbar, Sutarmidji tampak menahan kecewa saat diwawancarai wartawan terkait ramainya sejumlah pihak yang kini menyatakan bahwa pembangunan geobag yang dilakukan oleh Kementerian PUPR untuk menahan bencana banjir di sejumlah kawasan sungai di Kabupaten Sintang tak efektif.
Dimana penilaian ketidakefektifan atas keberadaan geobag itu juga datang dari Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus–yang notabene dulunya turut “mengaminkan” rencana itu. Lasarus seolah tampak “manut” saat Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, pada November 2021 lalu, menyatakan akan membangun geobag sebagai solusi jangka pendek dalam mengatasi banjir Sintang.
“Kan saya sudah bilang dari awal, kita yang tahu daerah kita. Itu (geobag) tidak efektif, ngabiskan duit aja, saya sudah bilang dari awal tidak efektif,” jelas Sutarmidji saat ditemui usai menerima bantuan sembako untuk korban banjir dari Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kalbar bersama Perkumpulan Teo Chew Kalbar, Sultan Mart serta Aliansi Pemuda Kalbar di Pendopo Gubernur, Selasa (18/10/2022).
Sejak setahun lalu, Sutarmidji berulang kali telah menggaungkan bahwa masalah banjir di wilayah perhuluan Kalbar, termasuk di Kabupaten Sintang, hanya bisa ditangani dengan jalan pengerukan.
Soalnya, kembali ia menjelaskan, bahwa muara Sungai Kapuas–ketika air tidak pasang–hanya memiliki rata-rata kedalaman 7 meter. Dan sekarang, kedangkalannya sudah di bawah 5 meter.
“Kemudian semakin tahun kan semakin dangkal. Karena tingkat kemiringan kecuraman sungai dari ujung Kapuas Hulu ke muara Jungkat itu hanya 38 meter, panjangnya 1.300 kilometer, sehingga air itu turunnya pelan sekali. Pelan ditambah lagi dengan kerusakan hutan, kerusakan DAS, sehingga pendangkalan akan cepat. Nah satu-satunya jalan pengerukan,” tegasnya.
Sutarmidji menyatakan, bahwa tugas pengerukan itu merupakan tugas pemerintah pusat melalui kementerian. Ia menilai, jika solusi pengerukan itu tidak segera diambil, maka air akan terus tergenang karena tidak ada tempat dan tumpah menjadi banjir.
“Kalau debitnya lebih dia pasti diam di darat, karena tempat diam airnya di sungai tidak nampung. Kalau sedimentasi satu meter dibiarkan, maka air satu meter pasti akan ke darat yang rendah. Kalau dua meter ya dua meter ke daratan,” jelasnya.
“Teorinya kan hanya itu saja, jadi geobag sih bisa, hanya untuk emergency, tapi tidak akan menyelesaikan masalah (banjir), karena ketika air keluar lebih bagus diturap. Contoh (di Kota Pontianak) Sungai Jawi, Parit Tokaya, kan sudah mulai berkurang banjirnya,” timpal Sutarmidji.
Sutarmidji kemudian menyitir pihak-pihak yang tak menyetujui idenya kala itu dengan menganggap bahwa ia hanya lulusan Sarjana Hukum–sehingga tak mungkin mengetahui pengetahuan dasar tentang menanggulangi banjir seperti itu. Padahal yang mungkin orang “lupa”, kalau ia pernah menjabat sebagai Wali Kota Pontianak dua periode dan relatif berhasil menangani banjir Kota Pontianak saat itu.
“Mungkin kan karena merasa saya Sarjana Hukum kali, jadi (dianggapnya) tidak tau. Saya biarpun Sarjana Hukum belum tentu masalah teknis seperti itu tidak paham,” sindir Sutarmidji.
“Jadi tidak mungkin (diatasi pakai geobag, red). Karena kita harus lihat itu topografi. Contoh Pontianak, ketika wali kota, saya lihat topografi Pontianak. Pontianak itu letaknya 0,2 sampai 1,5 meter di atas permukaan laut. Artinya kalau air laut pasang lebih 1,5 meter hampir semua daerah pontianak berpotensi tergenang,” terang Sutarmidji.
Ia pun mengulas sedikit tentang penanganan banjir saat ia menjadi Wali Kota Pontianak, dimana awalnya terdapat daerah-daerah cekungan seperti di Podomoro dan Parit Tokaya. Secara teori, air dari Parit Tokaya kala itu tidak mungkin bisa dibagi ke Perdana, karena Perdana posisinya lebih tinggi dari Parit Tokaya. Begitu juga dengan wilayah Parit Haji Husin (Paris) yang lebih tinggi dari Parit Tokaya.
“Jadi tidak bisa. Satu-satunya jalan, konektivitas outer ring road dari Sungai Raya Dalam ke Paris, kemudian Perdana, Parit Tokaya, Diponegoro, Sungai Serok, Sungai Jawi. Nah seperti itu penanganannya, karena lihat topografinya ada daerah-daerah cekungan,” katanya.
Dengan cerminan topografi dan masalah yang kurang lebih sama itu, maka Sutarmidji menarik kesimpulan bahwa pengerukan merupakan salah satu solusi signifikan dalam mengatasi atau mengurangi banjir di Kalbar.
“Nah air Sungai Melawi–Sintang itu kan pertemuannya. Pertemuannya itu sudah mulai dangkal, nah pasti Keraton Sintang dan daerah sekitarnya akan mudah tergenang. Karena pertemuan Sungai Melawi di situ itu sudah dangkal sekali. Nah itu harus ada pengerukan. Sungai Pawan juga itu, termasuk beberapa sungai lagi,” jelasnya.
Selain itu, guna menjaga agar kedalaman sungai-sungai yang ada tetap stabil, Sutarmidji juga meminta kepada pemerintah pusat agar menyediakan kapal pengeruk khusus. Hal ini dinilainya bisa menjadi solusi keberlanjutan setelah dilakukan pengerukan terlebih dahulu.
“Sebenarnya ke depan, karena banyak sungai, Kalbar harus punya satu kapal keruk yang dioperasionalkan bersama swasta yang punya kepentingan dengan alur pelayaran. Harusnya kalau (menurut) saya, pusat lah satu anggarkan, kan tidak mahal, kapal keruk itu paling Rp 200 sampai Rp 300 miliar saja. Jadi ditempatkan di Kalbar untuk alurnya itu,” kata dia.
Terakhir, Sutarmidji optimis, jika “omongannya” kali ini mau didengar pemerintah pusat, maka banjir di sejumlah wilayah Kalbar bisa teratasi dan dikurangi di tahun-tahun mendatang.
“Saya yakin kalau itu dilakukan pengerukan secara rutin, semua (sungai), banjir mungkin tetap, tapi tidak akan lama dan tidak akan tinggi. Coba saja kalau tidak percaya, kan lebih murah sebetulnya (membeli kapal keruk). Coba lihat berapa kerugian masyarakat yang kena banjir, rumahnya, tidak bekerjanya, itu yang lebih besar, dari pada beli satu kapal keruk,” tandasnya.
Kini, Lasarus Sebut Geobag Tak Selesaikan Masalah Banjir di Sintang
Setahun lalu, tepatnya Kamis tanggal 18 November 2021, Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, meninjau langsung kondisi banjir yang masih merendam Kabupaten Sintang.
Kala itu, Lasarus tampak menyetujui solusi pembuatan geobag yang disampaikan oleh Menteri Basuki sebagai solusi jangka pendek dalam mengatasi banjir.
Namun kali ini berbeda, Lasarus menilai bahwa keberadaan tanggul geobag yang telah dibangun Kementerian PUPR di pinggiran Sungai Kapuas di Kabupaten Sintang tidak efektif untuk mengatasi banjir di wilayah tersebut.
Pernyataan terbaru ini diutarakan Lasarus usai dirinya meninjau langsung tanggul geobag di pinggir Sungai Kapuas di Kabupaten Sintang, Sabtu (15/10/2022) sore.
Dalam peninjauan tersebut, Lasarus mendapati hanya sedikit geobag yang tersisa. Sebagian besar lainnya sudah tenggelam dan hanyut terbawa arus sungai.
“Memang kemarin (tahun 2021) geobag ini kan sifatnya darurat. Karena sifatnya darurat, tentu ini tidak menyelesaikan masalah. Sekarang kita lihat hanya tinggal sedikit yang kelihatan, sebagian sudah terendam semua, padahal banjir belum sedalam yang kemarin,” katanya.
“Kalau banjir setinggi kemarin, alamat sudah tidak kelihatan semua. Kalau sudah terendam semua berarti kan tidak berfungsi dan dibuat tidak sesuai yang kita inginkan,” ucap Lasarus menambahkan.
Lantaran geobag ini sudah terbukti tidak efektif, Lasarus pun meminta agar Kementerian PUPR untuk mencarikan solusi alternatif untuk mengatasi banjir di Sintang. Ia juga mendorong pemerintah untuk mengubah desain penanganan banjir yang sudah ada agar wilayah tersebut tidak lagi menjadi daerah langganan banjir setiap musim penghujan tiba.
“Ini (geobag) sudah dibikin dan ternyata Sintang tidak bebas banjir. Maka, saya ajak teman-teman Direktorat Jenderal SDA untuk melihat langsung yang sudah dibikin dulu. Ternyata begini manfaatnya ketika banjir besar. Oleh karenanya, saya akan usulkan ke Kementerian PUPR untuk mengubah desain yang sudah ada,” paparnya.
“Prinsipnya bagaimana membebaskan kawasan ini dari banjir. Soal teknisnya bagaimana, silakan itu menjadi kewenangan PUPR,” jelas politikus PDI Perjuangan tersebut.
Sebagai informasi, geobag merupakan kantong geotekstil berbasis PVC yang berisi pasir. Geobag biasa dimanfaatkan untuk melindungi tepi sungai dan untuk membuat tanggul sementara ketika terjadi banjir di suatu wilayah.
Penulis: Muhammad Jauhari Fatria.
Comment