KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji meminta agar data prevalensi stunting Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) dievaluasi. Pasalnya, menurut Sutarmidji, saat ini antara data stunting dengan kemiskinan masih tidak selaras. Hal tersebut bisa dilihat dari data kemiskinan yang berada pada angka 6,73 persen, sementara stunting 27,8 persen.
“Kita (data) kemiskinan 6,73 persen sementara stunting 27,8 persen, kalau stunting itu selaras dengan kemiskinan maka ini tidak nyambung, maka harus ada evaluasi data stunting yang dilakukan,” ucap Sutarmidji usai memberikan arahan pada Rapat Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Lokakarya Penyusunan Dokumen Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2023 di Hotel Mercure, Senin (15/05/2023).
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar terus melakukan berbagai upaya dalam percepatan penurunan stunting. Salah satunya dengan melibatkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Kalbar dalam rakor penanggulangan kemiskinan, karena diyakini, kemiskinan memiliki kaitan erat dengan kasus stunting.
Sebelumnya, saat pengukuhan Kepala BKKBN Kalbar, Pintauli Romangasi Siregar beberapa waktu lalu, Sutarmidji juga meminta agar penanganan kasus stunting mesti berdasarkan data hingga tataran nama dan alamat (by name by address). Dengan data yang akurat tersebut menurutnya, intervensi kasus stunting akan menjadi tepat sasaran.
“Dalam penanganan stunting, penekanan pertama mesti validasi data. Bagusnya by name by address. Jadi ketika memiliki data lengkap, kita sudah tahu sasarannya sehingga intervensinya bisa tepat. Seperti keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi, ini perlu dipantau,” kata Sutarmidji.
Selain itu, Sutarmidji juga menyarankan agar ke depan parameter ukur desa mandiri dapat ditambahkan satu indikator tentang stunting. Jika dalam parameter kemajuan desa mencantumkan indikator stunting, maka secara tidak langsung penanganan stunting juga akan diupayakan turun di setiap desa tersebut.
“Penguatan lain yang dirasa penting adalah pemberian sosialisasi tentang stunting kepada masyarakat mesti dilakukan berkelanjutan. Harapannya, agar masyarakat luas tahu apa itu stunting,” jelasnya.
Di tempat yang sama, Kepala BKKBN Kalbar, Pintauli Romangasi Siregar mengungkapkan, pihaknya sejalan dengan Gubernur Sutarmidji terkait keselarasan data kemiskinan dan stunting. Oleh karena itu, menurutnya semua pihak perlu duduk bersama agar data yang dimiliki bisa disinergikan dan diselaraskan sehingga bisa diketahui intervensi yang harus dilakukan terutama terhadap kasus stunting.
“Dengan duduk bersama, maka akan dilihat seberapa besar pengaruh kemiskinan terhadap angka stunting. Memang perlu keselarasan terkait seluruh data yang ada saat ini, sehingga bisa diketahui secara persis penyebabnya,” kata Pintauli.
Dirinya menyebut, berdasarkan penelitian, kasus stunting bisa terjadi tidak hanya pada keluarga yang tidak mampu, melainkan penyebab lain juga bisa menjadi penyumbang kasus stunting. Misalnya terkait pola asuh dan gaya hidup, sehingga menurutnya memang diperlukan data yang valid untuk intervensi yang tepat.
“Angka kemiskinan jauh lebih rendah dari stunting di Kalbar, mungkin ada penyebab lain sehingga terjadi stunting. Mungkin saja karena gaya hidup dan pola asuh,” sebutnya.
Pintauli menyampaikan, lewat proses pendataan keluarga, sebenarnya BKKBN memiliki data keluarga berisiko stunting by name by address. Beberapa kriteria keluarga berisiko stunting itu diantaranya jarak antar anak yang terlalu dekat, anak dilahirkan dari usia ibu di bawah 19 tahun, usia ibu melahirkan lebih dari 35 tahun, lalu sanitasi lingkungan buruk dan air minum yang tidak layak.
“Kita tetapkan keluarga berisiko stunting agar dilakukan pemantauan dan pendampingan dari BKKBN sejak awal, untuk mencegah agar keluarga tersebut tidak ditetapkan menjadi stunting,” tukas Pintauli. (Indri)
Comment