KalbarOnline, Ketapang – Bupati Ketapang, Martin Rantan menghadiri acara hari ketiga peresmian Balai Kepatihan Jaga Pati, pada Sabtu (04/05/2024), di Jalan S Parman, Gang Kelapa Gading, nomor 21, Ketapang.
Acara inti hari ketiga ini adalah peluncuran buku Sumpah Kedaulatan Dayak Patih Jaga Pati, Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua, Alexander Wilyo, yang ditulis oleh Masri Sareb Putra dan Thomas Tion, dan dicetak oleh Lembaga Literasi Dayak (LLD) di Jakarta.
Sebelum peluncuran buku, rangkaian kegiatan peresmian Balai Kepatihan Jaga Pati hari ketiga terlebih dahulu diawali dengan penyambutan Bupati Ketapang beserta rombongan dengan adat Penandak—yakni prosesi menyambut tamu secara adat dari masyarakat adat Tolak Sekayok.
Usai itu, dilanjutkan dengan tari Tari panamu oleh Sanggar Kepatihan Jaga Pati, lalu disusul dengan peragaan pencak silat dari IPSI yang menampilkan pencak silat dari etnis Melayu, Madura dan Bugis.
Rangkaian acara peluncuran buku Sumpah Kedaulatan Dayak terdiri dari serah-terima buku dari pihak penerbit kepada penulis, kemudian dari penulis buku yang kemudian diserahterimakan kepada Patih Jaga Pati. Setelah itu, Patih Jaga Pati pun menandatangani backdrop cover buku Sumpah Kedaulatan Dayak dengan tinta emas.
Pada kesempatan launching buku ini, para tokoh lintas etnis—Dayak, Tionghoa, Melayu, Madura—pun mendapat kesempatan untuk memberikan sepatah dua patah kata sambutan. Dalam sambutan mereka, para ketua paguyuban etnis di Ketapang sangat mengapresiasi peresmian Balai Kepatihan Jaga Pati dan launching buku Sumpah Kedaulatan Dayak.
Patih Jaga Pati Laman Sembilan Domong Sepuluh, Alexander Wilyo dalam sambutannya, atas nama pribadi dan Patih Jaga Pati Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua, menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada siapa saja yang turut meringankan langkah, meluangkan waktu untuk hadir di acara peresmian Balai Kepatian Jaga Pati.
Kepada tokoh-tokoh lintas etnis, seperti paguyuban Jawa, Majelis Adat Budaya Melayu (MABM), Ikatan Keluarga Besar Madura (IKBM), Paguyuban Bugis, Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT), Patih Jaga Pati menjelaskan, bahwa seluruh rangkaian prosesi adat atau ritual adat Menaiki Rumah Agung Jurong Tinggi Balai Kepatihan Jaga Pati sudah dilaksanakan selama dua hari, yakni dari tanggal 2 sampai tanggal 3 Mei 2024.
“Puncaknya pendirian Ponti’ Padagi dengan penyatuan tanah arai (tanah dan air) dari seluruh wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh,” katanya.
Terkait dengan Laman Sembilan Domong Sepuluh, Patih Jaga Pati mengatakan, bahwa itu adalah sebutan atau silsilah yang menunjukkan wilayah adat Kerajaan Hulu Aik atau Kerajaan Tongkat Rakyat, yang memang memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Tanjungpura Kuno, termasuk dengan Kerajaan Majapahit.
“Jadi, memang ada kaitan erat dengan asal-usul dengan Prabu Jaya. Karena dulu dikisahkan bahwa Prabujaya dari Kerajaan Majapahit menikah dengan Dayang Putong, putri Raja Hulu Aik, yang menurunkan raja-raja Tanjungpura kuno, sampai sekarang, setelah era Islam Majapahit berganti menjadi Demak,” urainya.
“Orang-orang Dayak di bawah Raja Hulu Aik tetap memegang teguh adat jalan jamban titi sejak karosik mula tumbuh tanah mula menjadi, yang dulu diwariskan, dan sampai sekarang orang Dayak masih kuat memegang tradisi-tradisi itu. Saya dipesalin atau dinobatkan sebagai Patih Jaga Pati juga memberi tugas untuk menjaga, menegakkan adat, budaya, dan tradisi,” ujar Alexander.
Dengan demikian, tidak hanya adat, budaya dan tradisi Dayak, tetapi juga adat, budaya, tradisi seluruh suku bangsa, yang harus dijaga, dirawat, dipertahankan, dilestarikan secara bersama-sama.
“Oleh karena itu, saya mengundang semua disini untuk meneguhkan hati kita dalam menjaga, memelihara adat, budaya, tradisi suku apapun,” ujar Alexander.
Sehingga dengan demikian, lanjut dia, tidak ada salahnya jika semua pihak menyatu, merasa bangga dengan adat, budaya, tradisi sebagai jati diri bangsa, sebagai harga diri sebagai bangsa, satu bangsa, bangsa Indonesia.
“Dengan penampilan tradisi silat dari berbagai etnis dalam acara ini, saya ingin menunjukkan bahwa—walaupun saya Patih Jaga Pati—tetapi saya harus mengayomi, melindungi, mempertahankan merawat, menjaga seluruh adat, budaya, tradisi suku apapun,” tuturnya.
Selain itu, Patih Jaga Pati juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh tamu/undangan, terutama para domong mantir Laman Sembilan Domong Sepuluh, utusan dari Kalimantan Tengah, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kota Pontianak dan Kapuas Hulu.
“Acara ini adalah acara orang ramai sehingga tidak bisa dipikul sendiri. Oleh karena itu, saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat adat, yang masih memegang teguh tradisi gotong-royong. Terselenggaranya acara ini karena kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari masyarakat Laman Sembilan Domong Sepuluh,” ujarnya.
Sekali lagi, Patih Jaga Pati menegaskan, bahwa sampai hari wilah masyarakat adat Laman Sembilan Domong Sepuluh tetap eksis menjaga adat, bukan menjaga wilayah kekuasaan politik, bukan menjaga wilayah kekuasaan pemerintahan. Karena wilayah Laman Sembilan Domong Sepuluh itu melewati batas-batas, sekat-sekat administrasi pemerintahan.
“Dari Desa Darat Pantai Kapuas, Labai Lawai, Simpang Sekayok, Laor-Jokak, Bihak-Krio, Kayong-Gerunggang, Tolak Sekayok, Pesaguan Sekayok, Jelai Sekayok, Kendawangan Seakaran, bahkan sampai ke Kalteng. Yang menyatukannya adalah pusaka, yang sampai hari ini masih tetap dijaga, dirawat, dan setiap tahun diadakan ritual mencuci pusaka, yang dinamakan adat Meruba, yakni mencuci pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat,” ujarnya.
“Inilah satu-satunya bukti eksistensi, bukti supremasi Kerajaan Hulu Aik, pemegang pusaka Bosi Koling Tungkat Rakyat, yang orang Dayak manapun tahu dengan itu,” tambah pria yang juga menjabat selaku Sekda Ketapang itu.
Terakhir, secara khusus, Patih Jaga Pati menyampaikan ucapan terima kasih kepada Doktor Masri Sareb Putra, penulis buku Kedaulatan Dayak. Karena Masri Sareb Putra lah yang mendorong Patih Jaga Pati Alexander Wilyo agar membukukan jejak-jejak Kepatihan Jaga Pati, seluruh peristiwa, acara adat, ritual-ritual adat dan menularkan semangatnya kepada seluruh masyarakat, supaya suku apapun tidak malu dengan eksistensinya, dengan adat, budaya dan tradisinya.
“Saya kira, itulah yang dimaksud dengan makna berdaulat secara budaya. Artinya kita tidak malu, kita bangga dengan adat, budaya, tradisi kita. Kita masih menjaganya, masih memeliharanya, masih mempertahankannya dimanapun dan kapanpun,” jelasnya Patih Jaga Pati.
Yang kedua, berdaulat secara ekonomi. Artinya wajar ketika seluruh masyarakat Kabupaten Ketapang bisa berdaulat secara ekonomi, bisa menikmati semua kekayaan alam, semua kelimpahan yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Apalagi daerah Ketapang yang sangat kaya-raya, sangat subur, ada sawit, ada tambang, ada kayu.
“Saya pikir wajar kalau masyarakat Kabupaten Ketapang punya keinginan, punya cita-cita masyarakat Ketapang yang sejahtera, masyarakat Ketapang yang lebih maju, selaras dengan visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati Ketapang, yakni Ketapang maju dan sejahtera,” katanya.
Yang ketiga, berdaulat secara politik. Wajar juga bila ada keinginan di masyarakat agar bisa menjadi pemimpin di wilayah sendiri.
“Kalau ini bukan sumpah, tetapi anggap saja cita-cita, harapan, yang mudah-mudahan bisa kita wujudkan kapanpun waktunya,” ujarnya.
“Dan terakhir, sekali lagi saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinggi kepada semua pihak yang telah berpartisipasi, mendukung, baik berupa tenaga, biaya, waktu dan pikiran untuk seluruh rangkaian acara Menaiki Rumah Agung adalah Jurong Tinggi Balai Kepatihan Jaga Pati Laman Sembilan Domong Sepuluh,” kata Alexander.
“Kepada siapapun, termasuk dari IPSI, masyarakat adat Tolak Sekayok dan seluruh pihak yang telah berkontribusi, secara khusus kepada Bapak Bupati Ketapang,” tutup Alexander.
Bupati Ketapang, Martin Rantan dalam sambutannya mengatakan, kalau melihat sejarah ke belakang, Patih Jaga Pati ini dapat diibaratkan seperti Patih Gajah Mada.
“Anggap saja Kerajaan Majapahit misalnya. Rajanya Hayam Wuruk. Rajanya Hayam Wuruk itu Pak Petrus Singa Bansa. Tidak bisa dibantah bahwa Pak Petrus Singa Bansa itu adalah rajanya. Sedangkan Maha Patih Gajah Mada itu adalah Alexander Wilyo. Jadi beliau adalah perdana menterinya. Kalau Petrus Singa Bansa adalah rajanya,” kata dia.
“Jadi wajar saja kalau seorang Patih berada di Ketapang ini untuk menyatukan masyarakat atau menyatukan umat-umat yang ada,” lanjutnya.
Untuk itu, beberapa tahun yang lalu, Bupati Martin pun sudah menugaskan Sekda Ketapang dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk merehab rumah Raja Ulu Air yang berada di Sengkuang, dan nanti akan diresmikan pada adat Meruba, Juni mendatang. Dananya berasal dari hibah Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang.
Bupati Ketapang juga mengisahkan, bahwa Raja Hulu Air sudah melakukan pembangunan atau penanaman Tugu Tolak Bala sehingga sampai sekarang di Ketapang tidak pernah terjadi konflik etnis.
“Ini karena kita semuanya saling menjaga. Oleh sebab itu, kita mendirikan tugu tolak bala, diprakarsai oleh Pastor Mateus Juli dan Lorensius Majun, Wakil Bupati Ketapang sebagai pemangku Tugu Tolak Bala. Dan saat ini, Tugu Tolak Bala sudah diserahkan kepada Dewan Adat Dayak untuk memeliharanya. Tetapi Raja Hulu Air waktu itu belum punya Patih, belum punya orang yang bisa membantu,” paparnya.
Oleh sebab itu, kata Bupati Martin, pada satu-dua tahun belakangan ini, tampil Alexander Wilyo terpanggil untuk membantu Raja Ulu Air dalam melaksanakan Sumpah Kedaulatan Dayak, yakni berdaulat di bidang budaya, berdaulat di bidang ekonomi, dan berdaulat di bidang politik.
“Dengan dipanggilnya Pak Alex ini menjadi Patih Jaga Pati, maka beliau mengorbankan dirinya, mengorbankan kemampuannya, bahkan mengorbankan segala sesuatu yang ada padanya untuk mendirikan Balai Kepatihan ini. Untuk itu, saya ucapkan selamat dan sukses kepada Raja Hulu Air dan Patih Jaga Pati atas berdirinya rumah besar jurung tinggi ini,” tutur Bupati Martin.
Pada kesempatan tersebut, Bupati Ketapang mengucapkan terima kasih kepada seluruh paguyuban, yang hari ini bisa datang dengan kompak.
“Pesan saya, mari kita jaga Kabupaten Ketapang ini dengan baik, apalagi, tidak lama lagi kita akan mengadakan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung,” ujarnya.
“Ketapang ini, hampir semua suku pernah menjadi Bupati Ketapang, kecuali Tionghoa dan Batak. Yang susah pernah yakni dari suku Jawa, dari Melayu, dari suku Madura, sesudah itu ada dari suku Dayak. Artinya, siapapun yang menjadi Bupati Ketapang ini, masyarakat tetap aman, tentram, tidak pernah ada gejolak,” ujar Martin Rantan.
Selain itu, Bupati Ketapang juga berpesan agar dalam pilkada nanti, siapapun yang terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati, adalah yang terbaik bagi untuk Kabupaten Ketapang.
“Walaupun dengan suasana politik yang makin memanas, hendaknya masyarakat bisa menahan diri. Kalau ada hal-hal yang berkaitan dengan etnis, jangan terlalu dikembangkan terlalu tinggi. Kembalikan, keributan itu adalah hal yang berkaitan dengan orang per orang, in person, tidak banyak-banyak orang,” pesannya.
“Sekali lagi, saya ucapkan selamat kepada Raja Hulu Air dan Patihnya. Mudah-mudahan Pak Alex ini dengan badan besar tegap ini bisa menyatukan masyarakat Kabupaten Ketapang, bahkan bisa menyatukan masyarakat di luar Kabupaten Ketapang, Kalteng, Sanggau dan sebagainya. Karena tidak semua orang yang mau terpanggil untuk hal ini,” ujar Bupati Ketapang.
Hadir pada acara hari ke-3 peresmian Balai Kepatihan tersebut, antara lain Pj Bupati Sanggau, Raja Hulu Aik ke-51, Ketua Majelis Raja Matan, keluarga Kerajaan Sukadana, Forkopimda Kabupaten Ketapang, Wakil Ketua DPRD, Ketua Sekberkesda Provinsi Kalimantan Barat, Uskup Keuskupan Ketapang, para pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang, para ketua paguyuban etnis, para tokoh adat.
Hari ke-3 peresmian Balai Kepatihan ini turut dimeriahkan oleh Marion Hendri, seniman ternama dari Kalteng. (Adi LC)
Comment