Headlines    

KPK Makin Lemah, Kejagung yang Tak Jua Agung, Gambar Buram Pemberantasan Korupsi

Oleh : Jauhari Fatria
Sabtu, 12 Juli 2025
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

DI bawah bayang-bayang kekuasaan yang tak lagi menyala terang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini berjalan tanpa gemuruh. Tak lagi dielu-elukan publik, tak lagi menjadi simbol keberanian negara melawan korupsi. Lembaga ini seperti kehilangan taringnya. Tidak hanya kehilangan wibawa di hadapan rakyat, tetapi juga terlihat gamang saat berhadapan dengan kekuasaan.

Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan mantan Menko Polhukam, menyebut KPK era sekarang tak lebih dari “lembaga titipan”—dibentuk di akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan terlahir dalam situasi politik yang penuh kompromi. Bahkan, Mahfud dengan gamblang menyebut KPK era kini sebagai lembaga yang “menyortir perkara, bukan menuntaskannya.”

“Agak sulit membayangkan KPK akan memanggil, memeriksa, apalagi menetapkan Bobby (Nasution) sebagai tersangka,” ujar Mahfud dalam siniar Madilog bersama Indra J Piliang, merujuk pada kasus dugaan korupsi di Sumatera Utara.

Mahfud tak asal bicara. Menurutnya, KPK sudah lama kehilangan daya cengkeram dan kepercayaan publik, dan lebih banyak berperan sebagai pemadam persepsi ketimbang penegak hukum yang tangguh. Di sisi lain, Kejaksaan Agung justru mulai menuai pujian publik, meskipun masih menyimpan sejumlah catatan besar.

“KPK Titipan” dan Cengkeraman Kekuasaan

KPK, dalam konstruksi awalnya, adalah lembaga independen. Ia hadir dari rahim reformasi, untuk menjawab ketidakpercayaan masyarakat terhadap kejaksaan dan kepolisian. Namun revisi Undang-Undang KPK pada 2019, yang disahkan di ujung periode kedua Jokowi, menandai titik balik. Revisi itu membuat KPK tunduk pada kekuasaan eksekutif—baik dari sisi kepegawaian, wewenang penyadapan, hingga proses penindakan.

Mahfud menilai, revisi itulah yang menjadikan KPK sekarang sebagai “lembaga boneka”. Dalam forum Meet The Leaders di Universitas Paramadina, ia menyebut bahwa KPK kini berada dalam situasi tercengkeram secara politik.

“KPK sekarang itu KPK titipan. Untuk menyortir perkara, mana yang boleh naik, mana yang enggak,” kata Mahfud.

Salah satu contoh yang disorot Mahfud adalah lambannya KPK dalam menangani kasus dugaan korupsi di Sumatera Utara, yang turut menyeret pejabat di bawah kendali Bobby Nasution—yang saat ini menjabat Gubernur Sumatera Utara dan merupakan menantu Presiden Jokowi.

Dalam penjelasannya, Mahfud tidak secara langsung menyatakan bahwa Bobby bersalah. Tapi dalam kacamata hukum, posisi kepala daerah dalam rantai birokrasi kasus tersebut seharusnya diperiksa, minimal untuk menguji pertanggungjawaban struktural.

“Jawaban standar ‘kalau saya dipanggil siap hadir’ itu enggak cukup. Yang ditunggu publik adalah keberanian KPK untuk melakukan panggilan itu. Tapi sampai sekarang tidak dilakukan,” tegas Mahfud.

Meski begitu, Mahfud melihat ada tanda-tanda kebangkitan kecil di tubuh KPK dalam satu bulan terakhir. Ia mencontohkan langkah penangkapan ulang terhadap Sekretaris Mahkamah Agung, yang sempat bebas namun kembali ditahan atas dugaan pencucian uang.

“Menurut saya, itu langkah bagus. Tapi belum cukup untuk bilang KPK sudah pulih. Ini baru permulaan,” ujarnya.

Ia membandingkan kondisi KPK hari ini dengan masa kejayaannya 10 tahun lalu. Saat itu, KPK menjadi lembaga yang ditakuti oleh politisi, pengusaha, dan aparat hukum.

“Sebuah lembaga yang dulu pernah sangat legendaris lah,” ucap Mahfud.

Namun, kini sorak-sorai publik untuk KPK telah berpindah ke Kejaksaan Agung. Mahfud menyebut, jika KPK ingin merebut kembali kepercayaan publik, satu-satunya jalan adalah berani menyentuh lingkar kekuasaan.

“Dulu KPK hebat banget. Sekarang tenggelam. Kalau mau bangkit lagi, KPK harus berani menyentuh lingkar kekuasaan. Kalau enggak, ya tinggal cerita masa lalu saja,” tegasnya.

Sementara KPK disorot karena melemah, Kejaksaan Agung justru mengalami tren kepercayaan publik yang meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir, institusi ini berhasil menangani kasus besar seperti Jiwasraya, Asabri, dan beberapa korupsi di BUMN sektor energi.

Tapi Mahfud memberi catatan penting, keberanian Kejagung hanya tegas di bawah, tapi ragu saat menyentuh ke atas.

“Kasus Pertamina, BLBI, Pagar Laut—semulanya tegas, sekarang hilang. Pelaksananya ditangkap, tapi holding-nya enggak ada yang disentuh,” ungkapnya.

Mahfud mencontohkan, dalam kasus Pagar Laut, pelanggaran pidana disebut sudah terang, mulai dari pengkaplingan laut secara ilegal hingga pelanggaran terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Bahkan Presiden Prabowo disebut sudah meminta Menteri ATR menindak tegas. Tapi hasilnya? “Polisi bilang bukan korupsi. Kejaksaan bilang korupsi, tapi enggak bergerak juga,” katanya.

Mahfud menyimpulkan bahwa hukum di Indonesia masih bisa “berbelok” ketika menyentuh elite. Teori ini ia sebut sebagai “barrier politik” atau hambatan sistemik yang melindungi kekuasaan dari sentuhan hukum.

Kepercayaan Publik Terjun Bebas

Pelemahan KPK juga tampak jelas dalam survei opini publik. Lembaga survei Indikator Politik Indonesia, dalam rilisnya pada Mei 2025, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan terhadap Kejaksaan Agung mencapai 76 persen—tertinggi di antara seluruh lembaga penegak hukum.

“Beberapa tahun terakhir, KPK sudah tidak lagi menempati posisi teratas sebagai lembaga penegak hukum paling dipercaya publik,” kata Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.

Survei ini melibatkan 1.286 responden berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah, dipilih melalui metode double sampling, dengan margin of error ±2,8 persen. Wawancara dilakukan secara daring melalui telepon oleh pewawancara terlatih.

Temuan ini menunjukkan bahwa persepsi publik bukan sekadar respons emosional, tapi sudah menjadi tren yang terukur secara statistik. KPK tak lagi dipandang sebagai lembaga yang memimpin pemberantasan korupsi. Di sisi lain, Kejaksaan Agung memang naik ke permukaan, tapi belum terbukti mampu menembus lingkar kekuasaan.

Tegas atau Basa-Basi

Mahfud kemudian menyoroti peran Presiden dalam konteks pemberantasan korupsi. Menurutnya, siapa pun presidennya, suara Presiden akan selalu menjadi sinyal yang ditunggu-tunggu oleh penegak hukum.

“Ngomong salah pun pasti diikuti. Apalagi kalau ngomong benar,” kata Mahfud, merujuk pada pentingnya ketegasan seorang kepala negara.

Ia membandingkan gaya Jokowi yang dulu sering turun langsung atau memberi instruksi keras saat kasus besar muncul, dengan Prabowo yang dinilai masih terlalu normatif. Ia menyebut Prabowo sedang “menata papan catur” dan mungkin akan menunjukkan gebrakan di tahun kedua. Tapi, kalau momentum itu lewat, maka tahun-tahun berikutnya akan dikunci oleh dinamika pemilu.

“Kalau tidak mulai sekarang, tahun depan sudah tahun politik. Jangan berharap banyak,” ujarnya.

Mahfud juga menyindir pernyataan Prabowo yang meminta pejabat korup untuk “mundur sebelum dipecat”.

“Enggak bakal ada yang mundur. Harusnya langsung pecat atau tangkap. Itu perintah yang tegas. Bukan basa-basi,” katanya.

Kembalikan KPK ke Format Lama

Sebagai solusi, Mahfud menyarankan agar Presiden Prabowo mengambil langkah strategis dengan menerbitkan Perppu untuk mengembalikan Undang-Undang KPK ke versi sebelum revisi.

“Kalau Pak Prabowo mau, DPR enggak akan berani nolak,” kata Mahfud.

Ia menilai, hanya dengan memulihkan independensi dan wewenang KPK seperti sediakala, barulah lembaga itu bisa kembali menjadi garda terdepan dalam perang melawan korupsi. Jika tidak, KPK hanya akan menjadi arsip sejarah, dan Kejaksaan pun hanya akan jadi institusi setengah jalan.

Hari-hari ini, publik menunggu bukti nyata bahwa penegakan hukum tidak pilih-pilih. Tapi yang terlihat justru sebaliknya, keberanian menguap, hukum berbelok, dan lembaga-lembaga pengawas tunduk pada irama kekuasaan.

KPK makin lemah. Kejagung belum tentu agung. Dan Prabowo, sebagai presiden, belum menyalakan api keberanian seperti yang dijanjikan.

Jika arah ini tidak diubah, pemberantasan korupsi hanya akan jadi cerita indah di pidato resmi—sementara di balik layar, perampokan uang negara terus terjadi, diam-diam, tetapi sistematis. (Red)

Artikel Selanjutnya
Pekerja Ditangkap, Bos PT BOMA Justru Aman, Panglima Dayak Ultimatum Sanksi Adat
Sabtu, 12 Juli 2025
Artikel Sebelumnya
KPK Makin Lemah, Kejagung yang Tak Jua Agung, Gambar Buram Pemberantasan Korupsi
Sabtu, 12 Juli 2025

Berita terkait