Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : adminkalbaronline |
| Senin, 14 Juli 2025 |
KALBARONLINE.com - Menanggapi polemik penetapan batas wilayah administratif yang melibatkan Pulau Pengikik di antara Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau, Syarif Melvin Alkadrie, selaku Sultan Pontianak ke-IX sekaligus Anggota DPD RI dapil Kalimantan Barat secara tegas menyatakan, bahwa kontrak kolonial Belanda tahun 1857 tidak sah secara hukum dan tidak dapat dijadikan dasar penegasan wilayah dalam sistem hukum Indonesia.
Permasalahan ini muncul setelah disebutnya Pulau Datok sebagai batas wilayah Kecamatan Tambelan dalam Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007, yang secara tidak langsung mengecualikan Pulau Pengikik dari wilayah Kalimantan Barat.
Pencantuman ini diduga kuat menggunakan referensi sejarah kolonial yang sudah gugur kekuatan hukumnya, dan mengabaikan prinsip penetapan batas wilayah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurutnya, terdapat empat pokok permasalahan hukum di dalam Perda Kabupaten Bintan Nomot 19 Tahun 2007, pertama, konflik dengan prinsip penegasan wilayah nasional, kedua,
penetapan batas wilayah tidak boleh merujuk pada dokumen kolonial seperti “onderhoorigheden” atau peta Hindia Belanda.
Kemudian penunjukan Pulau Datok yang tidak disertai peta resmi dari BIG atau rujukan dalam UU, dan Permendagri berpotensi cacat hukum.
Status Wilayah Tidak Bisa Diatur Sepihak oleh Perda
Dalam sistem otonomi daerah, penetapan batas wilayah lintas provinsi harus melalui mekanisme yang diatur Kemendagri, bukan oleh perda kabupaten/kota secara sepihak.
Dokumen Kolonial Telah Gugur dan Tidak Berlaku
Kontrak 1857 sudah kehilangan kekuatan hukum setelah dibubarkannya oleh Kesultanan Riau-Lingga oleh Belanda pada 1911, dan tidak memiliki posisi hukum dalam kerangka hukum positif Indonesia.
Cacat Wewenang dan Prosedural
Produk Perda Bintan melanggar prinsip lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah), serta bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, UU Nomor 9 Tahun 2022, dan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017.
Pulau Pengikik dalam Perspektif Historis dan Konstitusional
Pulau Pengikik secara historis merupakan bagian dari wilayah niaga dan yurisdiksi Kesultanan Pontianak, serta termasuk dalam Afdeeling Westerafdeeling van Borneo, sebelum bergabung dalam struktur Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang diakui dalam Protokol Hukum Internasional 21 Desember 1949 dan Pengakuan Kedaulatan RI 27 Desember 1949.
Dokumen internasional ini menegaskan batas awal wilayah Kalimantan Barat sebelum terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2002. Oleh karena itu, klaim atas Pulau Pengikik oleh Kabupaten Bintan tidak memiliki dasar hukum maupun legitimasi sejarah yang kuat.
Pernyataan Resmi Sultan Pontianak Ke IX
“Saya, Syarif Melvin Alkadrie, S.H., Sultan Pontianak Ke IX dan Anggota DPD RI, menolak keras penggunaan dokumen kontrak kolonial 1857 sebagai dasar hukum batas wilayah antara Kabupaten Bintan dan Kalimantan Barat, khususnya terkait Pulau Pengikik. Kami menegaskan bahwa Pulau Pengikik adalah bagian sah dari wilayah Provinsi Kalimantan Barat, dan tidak dapat dilepaskan dari konteks hukum nasional dan sejarah hukum adat Kalimantan Barat.”
Rekomendasi dan Tuntutan Konstitusional
DPD RI segera menggelar sidang dengar pendapat dengan Kemendagri dan BIG terkait penegasan batas wilayah Pulau Pengikik. Kemudian melakukan pembentukan tim kajian khusus nasional yang melibatkan ahli hukum, sejarah, geospasial dan tokoh adat.
Pemerintah Pusat wajib menyusun kebijakan nasional untuk menghapus warisan batas kolonial yang bertentangan dengan integritas NKRI.
Permintaan revisi data wilayah administrasi nasional oleh BIG, jika terbukti terdapat penyelundupan norma dan cacat prosedural dalam penetapan batas saat ini.
Pengajuan judicial review terhadap Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007 ke Mahkamah Agung.
Sikap Kalimantan Barat dan Dukungan Pemerintah Daerah
Polemik ini juga mendapat perhatian serius dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan menyatakan akan menempuh jalur hukum bila terbukti bahwa Pulau Pengikik secara historis dan administratif adalah milik Kalbar. Hal ini sejalan dengan prinsip uti possidetis juris, yakni pengakuan batas administratif saat negara merdeka sebagai batas resmi wilayah.
Penutup
Pulau Pengikik adalah bagian tak terpisahkan dari Kalimantan Barat, baik dari sisi sejarah, hukum adat, maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penegasan batas wilayah harus tunduk pada UUD 1945, UU pembentukan provinsi, Permendagri, dan dokumen sah negara lainnya. Tidak boleh ada satu pun daerah yang menetapkan wilayah secara sepihak dengan berdasar pada dokumen warisan penjajahan. (KO/*)
KALBARONLINE.com - Menanggapi polemik penetapan batas wilayah administratif yang melibatkan Pulau Pengikik di antara Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau, Syarif Melvin Alkadrie, selaku Sultan Pontianak ke-IX sekaligus Anggota DPD RI dapil Kalimantan Barat secara tegas menyatakan, bahwa kontrak kolonial Belanda tahun 1857 tidak sah secara hukum dan tidak dapat dijadikan dasar penegasan wilayah dalam sistem hukum Indonesia.
Permasalahan ini muncul setelah disebutnya Pulau Datok sebagai batas wilayah Kecamatan Tambelan dalam Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007, yang secara tidak langsung mengecualikan Pulau Pengikik dari wilayah Kalimantan Barat.
Pencantuman ini diduga kuat menggunakan referensi sejarah kolonial yang sudah gugur kekuatan hukumnya, dan mengabaikan prinsip penetapan batas wilayah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurutnya, terdapat empat pokok permasalahan hukum di dalam Perda Kabupaten Bintan Nomot 19 Tahun 2007, pertama, konflik dengan prinsip penegasan wilayah nasional, kedua,
penetapan batas wilayah tidak boleh merujuk pada dokumen kolonial seperti “onderhoorigheden” atau peta Hindia Belanda.
Kemudian penunjukan Pulau Datok yang tidak disertai peta resmi dari BIG atau rujukan dalam UU, dan Permendagri berpotensi cacat hukum.
Status Wilayah Tidak Bisa Diatur Sepihak oleh Perda
Dalam sistem otonomi daerah, penetapan batas wilayah lintas provinsi harus melalui mekanisme yang diatur Kemendagri, bukan oleh perda kabupaten/kota secara sepihak.
Dokumen Kolonial Telah Gugur dan Tidak Berlaku
Kontrak 1857 sudah kehilangan kekuatan hukum setelah dibubarkannya oleh Kesultanan Riau-Lingga oleh Belanda pada 1911, dan tidak memiliki posisi hukum dalam kerangka hukum positif Indonesia.
Cacat Wewenang dan Prosedural
Produk Perda Bintan melanggar prinsip lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah), serta bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, UU Nomor 9 Tahun 2022, dan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017.
Pulau Pengikik dalam Perspektif Historis dan Konstitusional
Pulau Pengikik secara historis merupakan bagian dari wilayah niaga dan yurisdiksi Kesultanan Pontianak, serta termasuk dalam Afdeeling Westerafdeeling van Borneo, sebelum bergabung dalam struktur Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang diakui dalam Protokol Hukum Internasional 21 Desember 1949 dan Pengakuan Kedaulatan RI 27 Desember 1949.
Dokumen internasional ini menegaskan batas awal wilayah Kalimantan Barat sebelum terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2002. Oleh karena itu, klaim atas Pulau Pengikik oleh Kabupaten Bintan tidak memiliki dasar hukum maupun legitimasi sejarah yang kuat.
Pernyataan Resmi Sultan Pontianak Ke IX
“Saya, Syarif Melvin Alkadrie, S.H., Sultan Pontianak Ke IX dan Anggota DPD RI, menolak keras penggunaan dokumen kontrak kolonial 1857 sebagai dasar hukum batas wilayah antara Kabupaten Bintan dan Kalimantan Barat, khususnya terkait Pulau Pengikik. Kami menegaskan bahwa Pulau Pengikik adalah bagian sah dari wilayah Provinsi Kalimantan Barat, dan tidak dapat dilepaskan dari konteks hukum nasional dan sejarah hukum adat Kalimantan Barat.”
Rekomendasi dan Tuntutan Konstitusional
DPD RI segera menggelar sidang dengar pendapat dengan Kemendagri dan BIG terkait penegasan batas wilayah Pulau Pengikik. Kemudian melakukan pembentukan tim kajian khusus nasional yang melibatkan ahli hukum, sejarah, geospasial dan tokoh adat.
Pemerintah Pusat wajib menyusun kebijakan nasional untuk menghapus warisan batas kolonial yang bertentangan dengan integritas NKRI.
Permintaan revisi data wilayah administrasi nasional oleh BIG, jika terbukti terdapat penyelundupan norma dan cacat prosedural dalam penetapan batas saat ini.
Pengajuan judicial review terhadap Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007 ke Mahkamah Agung.
Sikap Kalimantan Barat dan Dukungan Pemerintah Daerah
Polemik ini juga mendapat perhatian serius dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan menyatakan akan menempuh jalur hukum bila terbukti bahwa Pulau Pengikik secara historis dan administratif adalah milik Kalbar. Hal ini sejalan dengan prinsip uti possidetis juris, yakni pengakuan batas administratif saat negara merdeka sebagai batas resmi wilayah.
Penutup
Pulau Pengikik adalah bagian tak terpisahkan dari Kalimantan Barat, baik dari sisi sejarah, hukum adat, maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penegasan batas wilayah harus tunduk pada UUD 1945, UU pembentukan provinsi, Permendagri, dan dokumen sah negara lainnya. Tidak boleh ada satu pun daerah yang menetapkan wilayah secara sepihak dengan berdasar pada dokumen warisan penjajahan. (KO/*)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini