Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : adminkalbaronline |
| Selasa, 28 Oktober 2025 |
HARI INI, ketika kita berbicara tentang sampah, jangan hanya membayangkan tumpukan plastik di jalanan atau selokan yang tersumbat. Bicaralah juga tentang sampah moral, sampah kebijakan, dan sampah ketidakpedulian yang menumpuk di kursi kekuasaan.
Mempawah hari ini bukan hanya kotor oleh sampah, tapi juga terluka oleh ketimpangan. Pajak PBB naik, tapi rakyat tak merasakan pembangunan. Jalan-jalan rusak bagai nadi yang putus, menandakan lemahnya denyut kepemimpinan.
TPA sudah tak layak, tapi dibiarkan membusuk tanpa solusi. Pendidikan memburuk, anak-anak belajar dalam keterbatasan, guru berjuang dalam ketidakpastian. Lampu jalan redup, tapi hati pejabat tetap terang benderang oleh gemerlap harta.
Dan lebih menyakitkan lagi—Bupati jarang berada di Mempawah, sementara rumah dinasnya kini menjadi saksi bisu, kosong, dan menyeramkan.
Rumah yang seharusnya menjadi simbol kehadiran dan tanggung jawab, kini justru menjadi sarang hantu kesepian dan tanda abainya seorang pemimpin terhadap daerahnya sendiri.
Ironisnya, di tengah kesunyian rakyat yang lapar dan berjuang, tunjangan rumah dinas DPRD justru meningkat. Ketika rakyat menjerit karena harga bahan pokok melonjak, para pejabat justru sibuk mempertebal saku dan memperindah laporan kinerja.
Mempawah tidak kekurangan sumber daya, tapi kekurangan jiwa yang tulus memimpin. Tidak kekurangan uang, tapi kekurangan kejujuran dan keberpihakan. Tidak kekurangan pemuda, tapi sering kekurangan keberanian untuk bicara jujur.
Sebagai Ketua HMI Komisariat Syariah Cabang Mempawah, saya ingin mengingatkan—bahwa diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk kejahatan yang halus. Bahwa menutup mata atas penderitaan rakyat adalah dosa sosial yang tak bisa ditebus dengan jabatan.
Kita tidak butuh pejabat yang pandai bicara di podium, kita butuh pemimpin yang hadir di jalan-jalan berlubang, di sekolah-sekolah reyot, dan di rumah-rumah rakyat yang tak mampu bayar listrik. Kita tidak butuh janji pembangunan, kita butuh keadilan yang nyata, kebijakan yang menyentuh, dan kepemimpinan yang manusiawi.
Maka biarlah refleksi ini menjadi tamparan lembut namun keras bagi semua yang masih punya nurani: Bahwa sampah sesungguhnya bukan di TPA, tetapi di hati yang beku, di kursi yang tak lagi digunakan untuk melayani, dan di sistem yang melupakan rakyat.
Dari Mempawah, kami—pemuda Islam, tidak akan diam. Kami akan terus bersuara, karena diam berarti mati. Kami akan terus bergerak, karena harapan rakyat tidak boleh padam.
Selama rakyat masih tertindas, selama keadilan belum berpihak, HMI akan tetap berdiri paling depan—membela nurani, menegakkan keadilan, dan menggugat kebisuan. (**)
Penulis merupakan Ketua HMI Komisariat Syariah Cabang Mempawah.
HARI INI, ketika kita berbicara tentang sampah, jangan hanya membayangkan tumpukan plastik di jalanan atau selokan yang tersumbat. Bicaralah juga tentang sampah moral, sampah kebijakan, dan sampah ketidakpedulian yang menumpuk di kursi kekuasaan.
Mempawah hari ini bukan hanya kotor oleh sampah, tapi juga terluka oleh ketimpangan. Pajak PBB naik, tapi rakyat tak merasakan pembangunan. Jalan-jalan rusak bagai nadi yang putus, menandakan lemahnya denyut kepemimpinan.
TPA sudah tak layak, tapi dibiarkan membusuk tanpa solusi. Pendidikan memburuk, anak-anak belajar dalam keterbatasan, guru berjuang dalam ketidakpastian. Lampu jalan redup, tapi hati pejabat tetap terang benderang oleh gemerlap harta.
Dan lebih menyakitkan lagi—Bupati jarang berada di Mempawah, sementara rumah dinasnya kini menjadi saksi bisu, kosong, dan menyeramkan.
Rumah yang seharusnya menjadi simbol kehadiran dan tanggung jawab, kini justru menjadi sarang hantu kesepian dan tanda abainya seorang pemimpin terhadap daerahnya sendiri.
Ironisnya, di tengah kesunyian rakyat yang lapar dan berjuang, tunjangan rumah dinas DPRD justru meningkat. Ketika rakyat menjerit karena harga bahan pokok melonjak, para pejabat justru sibuk mempertebal saku dan memperindah laporan kinerja.
Mempawah tidak kekurangan sumber daya, tapi kekurangan jiwa yang tulus memimpin. Tidak kekurangan uang, tapi kekurangan kejujuran dan keberpihakan. Tidak kekurangan pemuda, tapi sering kekurangan keberanian untuk bicara jujur.
Sebagai Ketua HMI Komisariat Syariah Cabang Mempawah, saya ingin mengingatkan—bahwa diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk kejahatan yang halus. Bahwa menutup mata atas penderitaan rakyat adalah dosa sosial yang tak bisa ditebus dengan jabatan.
Kita tidak butuh pejabat yang pandai bicara di podium, kita butuh pemimpin yang hadir di jalan-jalan berlubang, di sekolah-sekolah reyot, dan di rumah-rumah rakyat yang tak mampu bayar listrik. Kita tidak butuh janji pembangunan, kita butuh keadilan yang nyata, kebijakan yang menyentuh, dan kepemimpinan yang manusiawi.
Maka biarlah refleksi ini menjadi tamparan lembut namun keras bagi semua yang masih punya nurani: Bahwa sampah sesungguhnya bukan di TPA, tetapi di hati yang beku, di kursi yang tak lagi digunakan untuk melayani, dan di sistem yang melupakan rakyat.
Dari Mempawah, kami—pemuda Islam, tidak akan diam. Kami akan terus bersuara, karena diam berarti mati. Kami akan terus bergerak, karena harapan rakyat tidak boleh padam.
Selama rakyat masih tertindas, selama keadilan belum berpihak, HMI akan tetap berdiri paling depan—membela nurani, menegakkan keadilan, dan menggugat kebisuan. (**)
Penulis merupakan Ketua HMI Komisariat Syariah Cabang Mempawah.
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini