Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : adminkalbaronline |
| Selasa, 02 Desember 2025 |
WAK, maaf kali ini saya mau menyorot daerah sendiri. Kebetulan ada mahasiswa demo. Mereka demo soal pembangunan pendopo rumah dinas Bupati nilainya Rp 22 miliar. Sementara ada jembatan rusak, siswa harus nyebur ke sungai untuk pergi ke sekolah. Nikmati narasinya, seruput Koptagul, wak!Di Mempawah hari ini, Selasa 2 Desember 2025, puluhan mahasiswa, pemuda, dan masyarakat long march dari Masjid Agung Al Falah menuju DPRD Mempawah. Mereka menolak pembangunan rumah dinas/pedopo Bupati senilai Rp 22 miliar. Dua puluh dua miliar, wak. Cukup untuk membuat Patung Pak Tani tersenyum lebar atau cukup untuk mengaspal ulang jalan sampai ke planet lain.Massa datang membawa spanduk penolakan, menyanyikan mars mahasiswa, dan membakar ban serta foto bupati dan pimpinan DPRD. PMII, GMNI hadir lengkap dengan atribut, IKAMI Sulsel Cabang Mempawah tampil seperti kelompok oposisi resmi yang tidak dapat dihentikan, pemuda lokal ikut memanaskan suasana, sementara masyarakat umum berdiri di belakang mereka seperti pagar hidup rasa kecewa.Isu utamanya jelas, anggaran Rp 22 miliar dianggap tidak peka terhadap kondisi masyarakat. IKAMI menyorot DPRD dan TAPD yang dinilai tidak memiliki radar prioritas. Mahasiswa menegaskan, proyek rumah dinas baru tidak selaras dengan kebutuhan publik mendesak. Publik diam? Oh tidak, wak, publik punya “buktinya”.Di Sungai Bakau Besar Darat dan Sungai Rasau, Kecamatan Sungai Pinyuh, jalan rusak parah. Lubangnya bukan sekadar lubang, itu kawah kecil, calon danau, mungkin habitat masa depan ikan seluang. Mobilitas warga hancur, distribusi barang tersendat, ekonomi melambat, dan pengendara motor harus menandatangani kontrak dengan nasib setiap kali lewat.Bupati Erlina bersama Kadis PUPR memang pernah turun meninjau jalan akhir Oktober 2025 dan berjanji memperbaikinya bertahap sesuai kemampuan anggaran. Tapi publik balik bertanya, “Anggaran Rp 22 miliar untuk pedopo itu pakai kemampuan siapa?”Belum selesai warga mengeluh soal jalan berlubang, muncul video viral dari Desa Ansiap, Kecamatan Sadaniang. Siswa SD dan SMP harus melewati sungai untuk pergi ke sekolah karena jembatan rusak parah. Anak kecil, yang harusnya berlari ceria di halaman sekola, malah berjuang seperti peserta survival mode. Mereka menyeberangi sungai memakai perahu kecil, sebagian malah berjalan di pinggiran aliran air dengan tas sekolah yang beratnya mungkin hanya kalah dari berat beban hidup warganya.Video itu menyayat hati. Tetapi ironinya makin menyesakkan, saat anak-anak Mempawah berjuang menyeberang sungai, pemerintah justru sibuk merencanakan pedopo Rp 22 miliar. Seolah ada dua dunia paralel, dunia rakyat yang harus bernegosiasi dengan arus sungai, dan dunia pejabat yang bernegosiasi dengan furnitur rumah dinas.Saat mahasiswa membakar ban di depan DPRD, asapnya seakan membawa pesan dari Sungai Pinyuh dan Sadaniang.“Kami bukan anti pembangunan. Kami hanya anti diprioritaskan belakangan.” Mahasiswa hari ini bukan hanya pembela jalan rusak, mereka pembela masa depan anak-anak yang harus bertaruh nyawa demi pendidikan.Bupati Erlina menanggapi aksi dengan santun, menghargai aspirasi mahasiswa, meminta aparat bersikap humanis, menyebut rumah dinas lama tidak layak, dan menegaskan Rp 22 miliar sudah melalui mekanisme DPRD dan TAPD. Tapi rakyat tidak makan mekanisme, rakyat makan logika keadilan.Aksi hari ini menjadi ikon baru Mempawah, lebih galak dari ombak Sungai Mempawah, lebih nyaring dari mars mahasiswa, dan lebih jujur dari APBD yang sedang dibedah masyarakat. Demonstrasi ini bukan soal menolak pedopo. Ini soal menolak logika pembangunan yang lupa, rakyat juga butuh dilindungi dari lubang jalan dan derasnya sungai.“Bagus juga sih demonya, minta prioritas anggaran aja, bukan nak jatuhkan bupati.”“Setuju, wak. Pendopo pun tak gak jelek-jelek amat, masih bisa ditempati, kecuali udah bocor sana sini, bolehlah.” Ups.#camanewak.Penulis: Ketua Satupena Kalbar, Rosadi Jamani.
WAK, maaf kali ini saya mau menyorot daerah sendiri. Kebetulan ada mahasiswa demo. Mereka demo soal pembangunan pendopo rumah dinas Bupati nilainya Rp 22 miliar. Sementara ada jembatan rusak, siswa harus nyebur ke sungai untuk pergi ke sekolah. Nikmati narasinya, seruput Koptagul, wak!Di Mempawah hari ini, Selasa 2 Desember 2025, puluhan mahasiswa, pemuda, dan masyarakat long march dari Masjid Agung Al Falah menuju DPRD Mempawah. Mereka menolak pembangunan rumah dinas/pedopo Bupati senilai Rp 22 miliar. Dua puluh dua miliar, wak. Cukup untuk membuat Patung Pak Tani tersenyum lebar atau cukup untuk mengaspal ulang jalan sampai ke planet lain.Massa datang membawa spanduk penolakan, menyanyikan mars mahasiswa, dan membakar ban serta foto bupati dan pimpinan DPRD. PMII, GMNI hadir lengkap dengan atribut, IKAMI Sulsel Cabang Mempawah tampil seperti kelompok oposisi resmi yang tidak dapat dihentikan, pemuda lokal ikut memanaskan suasana, sementara masyarakat umum berdiri di belakang mereka seperti pagar hidup rasa kecewa.Isu utamanya jelas, anggaran Rp 22 miliar dianggap tidak peka terhadap kondisi masyarakat. IKAMI menyorot DPRD dan TAPD yang dinilai tidak memiliki radar prioritas. Mahasiswa menegaskan, proyek rumah dinas baru tidak selaras dengan kebutuhan publik mendesak. Publik diam? Oh tidak, wak, publik punya “buktinya”.Di Sungai Bakau Besar Darat dan Sungai Rasau, Kecamatan Sungai Pinyuh, jalan rusak parah. Lubangnya bukan sekadar lubang, itu kawah kecil, calon danau, mungkin habitat masa depan ikan seluang. Mobilitas warga hancur, distribusi barang tersendat, ekonomi melambat, dan pengendara motor harus menandatangani kontrak dengan nasib setiap kali lewat.Bupati Erlina bersama Kadis PUPR memang pernah turun meninjau jalan akhir Oktober 2025 dan berjanji memperbaikinya bertahap sesuai kemampuan anggaran. Tapi publik balik bertanya, “Anggaran Rp 22 miliar untuk pedopo itu pakai kemampuan siapa?”Belum selesai warga mengeluh soal jalan berlubang, muncul video viral dari Desa Ansiap, Kecamatan Sadaniang. Siswa SD dan SMP harus melewati sungai untuk pergi ke sekolah karena jembatan rusak parah. Anak kecil, yang harusnya berlari ceria di halaman sekola, malah berjuang seperti peserta survival mode. Mereka menyeberangi sungai memakai perahu kecil, sebagian malah berjalan di pinggiran aliran air dengan tas sekolah yang beratnya mungkin hanya kalah dari berat beban hidup warganya.Video itu menyayat hati. Tetapi ironinya makin menyesakkan, saat anak-anak Mempawah berjuang menyeberang sungai, pemerintah justru sibuk merencanakan pedopo Rp 22 miliar. Seolah ada dua dunia paralel, dunia rakyat yang harus bernegosiasi dengan arus sungai, dan dunia pejabat yang bernegosiasi dengan furnitur rumah dinas.Saat mahasiswa membakar ban di depan DPRD, asapnya seakan membawa pesan dari Sungai Pinyuh dan Sadaniang.“Kami bukan anti pembangunan. Kami hanya anti diprioritaskan belakangan.” Mahasiswa hari ini bukan hanya pembela jalan rusak, mereka pembela masa depan anak-anak yang harus bertaruh nyawa demi pendidikan.Bupati Erlina menanggapi aksi dengan santun, menghargai aspirasi mahasiswa, meminta aparat bersikap humanis, menyebut rumah dinas lama tidak layak, dan menegaskan Rp 22 miliar sudah melalui mekanisme DPRD dan TAPD. Tapi rakyat tidak makan mekanisme, rakyat makan logika keadilan.Aksi hari ini menjadi ikon baru Mempawah, lebih galak dari ombak Sungai Mempawah, lebih nyaring dari mars mahasiswa, dan lebih jujur dari APBD yang sedang dibedah masyarakat. Demonstrasi ini bukan soal menolak pedopo. Ini soal menolak logika pembangunan yang lupa, rakyat juga butuh dilindungi dari lubang jalan dan derasnya sungai.“Bagus juga sih demonya, minta prioritas anggaran aja, bukan nak jatuhkan bupati.”“Setuju, wak. Pendopo pun tak gak jelek-jelek amat, masih bisa ditempati, kecuali udah bocor sana sini, bolehlah.” Ups.#camanewak.Penulis: Ketua Satupena Kalbar, Rosadi Jamani.
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini