Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : adminkalbaronline |
| Selasa, 15 Juli 2025 |
SINGKAWANG, kota wisata yang dikenal sebagai “Kota Seribu Kelenteng” kini tengah terusik ketenangannya. Penahanan Sumastro sebagai orang nomor satu di birokrasi kota ini menjadi pemicunya.
Penetapan tersangka yang dirangkai dengan penahanan Sumastro dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kota Singkawang pada 10 Juli 2025.
Dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Daerah Kota Singkawang, Sumastro diduga menjadi aktor kunci dalam skandal keringanan retribusi miliaran rupiah. Ia dituding menyalahgunakan kewenangannya dengan memberi potongan senilai Rp 3,1 miliar kepada PT Palapa Wahyu Group, atas pemanfaatan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik pemerintah kota di Kelurahan Sedau, Singkawang Selatan.
Kebijakan yang diambil tanpa dasar yang kuat itu kini disorot sebagai bentuk penyimpangan yang merugikan keuangan daerah.
Namun Sumastro bukanlah pejabat yang menandatangani surat keputusan pemberian keringanan tersebut. Tentu saja, ia hanya simpul ketat yang akan mengurai keterlibatan oknum lain atau pejabat di atasnya. "Di atas langit masih ada langit".
Karena faktanya, tangan yang meneken surat keputusan itu milik Tjhai Chui Mie, Wali Kota Singkawang saat itu—yang kini kembali menjabat di periode keduanya. Sehingga aneh, jika hanya Sumastro yang diborgol dan dikirim ke Lapas Kelas IIB Singkawang.
Kejaksaan Negeri Singkawang sendiri mengklaim, kalau penetapan Sumastro telah melalui proses panjang dan berlandaskan dua alat bukti yang cukup. Dalam keterangan tertulisnya, Kepala Seksi Intelijen Kejari Singkawang, Ambo Rizal Cahyadi menyebut, bahwa Sumastro bertindak sebagai pengelola barang milik daerah yang tidak menjalankan arahan pemerintah pusat dan provinsi.
“Ia tidak melaksanakan arahan hasil konsultasi dari Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemendagri, maupun Gubernur Kalbar,” kata Ambo pada Sabtu, 12 Juli 2025.
Ambo menegaskan, keringanan retribusi yang diberikan Sumastro tidak merujuk pada Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 dan melanggar ketentuan dalam PP Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Sehingga, tindakan Sumastro dinilai bukan hanya kelalaian administratif, melainkan telah memenuhi unsur "mens rea" atau niat jahat.
Sumastro pun disebut sengaja tidak mengikuti mekanisme pelelangan sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 19 Tahun 2016, dan justru mengarahkan kebijakan demi mengakomodir PT Palapa Wahyu Group secara langsung. Hasil audit BPKP turut memperkuat temuan ini, dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp 3,1 miliar.
Dugaan Korupsi Berjamaah
Ambo pun tak menampik adanya keterlibatan pihak lain. Namun saat ditanya lebih lanjut, ia enggan mengungkap siapa saja yang terlibat.
“Ada keterlibatan pihak lain. Tapi soal siapa, kita tunggu proses selanjutnya,” katanya.
Kejaksaan menyebut, kalau proses penyidikan masih terus berjalan. Ketika ditanya apakah tindakan Sumastro dilakukan atas perintah atau intervensi dari pimpinannya, Ambo menjawab singkat. “Masih perlu pendalaman dan proses lebih lanjut,” ujarnya.
Ia juga menyatakan bahwa pengembangan perkara sangat mungkin dilakukan. “Masih dimungkinkan akan ada pengembangan perkara,” ucapnya.
Hingga kini, satu-satunya tersangka yang diumumkan ke publik baru Sumastro. Namun kembali, Ambo tak menutup kemungkinan munculnya tersangka baru.
“Masih ada kemungkinan, saat ini sedang dalam proses pendalaman,” katanya.
Kronologis Penerbitan SK Pemangkasan Retribusi
Kasus ini bermula dari terbitnya Surat Ketetapan Retribusi Daerah Nomor 21.07.0001 pada 26 Juli 2021, dengan nilai sebesar Rp 5.238.000.000.
Kemudian, pada 3 Agustus 2021, PT Palapa Wahyu Group mengajukan permohonan keberatan atas jumlah retribusi tersebut kepada Wali Kota Singkawang. Atas permohonan itu, Wali Kota mengeluarkan Keputusan Nomor 973/469/BKD.WASDAL Tahun 2021 yang memberikan keringanan retribusi sebesar 60 persen atau senilai Rp 3.142.800.000, serta penghapusan denda administrasi yang mencapai Rp 2.535.192.000 bila dilakukan dengan skema angsuran.
Dengan keputusan itu, maka PT Palapa Wahyu Group yang merupakan perusahaan pengelola kawasan wisata Taman Pasir Panjang Indah tersebut hanya diwajibkan membayar Rp 2.095.200.000, dengan cicilan selama 120 bulan (10 tahun), senilai Rp 17.460.000 per bulan.
Perjanjian angsuran itu tertuang dalam Surat Perjanjian Nomor 973/3297/SPA/WASDAL-B/2021, dan berlaku mulai 29 Desember 2021 hingga 29 November 2031.
Dari situ, kejaksaan menilai, bahwa kebijakan ini diduga sarat dengan unsur perbuatan melawan hukum dan memperkaya orang lain.
“Terdapat penyalahgunaan wewenang yang memperkaya korporasi, dalam hal ini PT Palapa Wahyu Group,” tegas Ambo Rizal.
Tjhai Chui Mie Diperiksa Sebagai Saksi
Meski surat keputusan keringanan diteken oleh Wali Kota Tjhai Chui Mie, namun kenapa Sumastro yang justru ditetapkan sebagai tersangka. Kejari Singkawang berdalih, hal itu lantaran Sumastro dianggap bertanggung jawab secara administratif karena menjabat sebagai pengelola barang milik daerah.
“Sekda selaku pengelola barang milik daerah, sebagaimana telah kami jelaskan dalam press release. Proses masih terus berlanjut. Kami tidak menutup kemungkinan keterlibatan pihak lain,” kata Ambo Rizal.
KalbarOnline pun telah menghubungi Tjhai Chui Mie untuk dimintai tanggapan atas penetapan sekdanya sebagai tersangka. Sejumlah pertanyaan terkait pun telah disodorkan. Sayangnya hingga berita ini ditayangkan, ia belum memberikan jawaban.
Menyoal keterlibatan pihak lain, Ambo mengaku, kalau Kejaksaan Negeri Kota Singkawang sebenarnya sudah pernah memanggil Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie—termasuk pihak-pihak terkait lainnya. Namun ia tidak menjelaskan secara rinci seperti apa hasilnya.
“Sudah pernah diperiksa (Tjhai Chui Mie) sebagai saksi. Saksi-saksi lainnya juga sudah kami BAP,” ujar Ambo.
Hingga saat ini, status hukum Tjhai Chui Mie masih tetap bergeming. Sementara Sumastro, dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pakar Hukum: Sekda Tak Bisa Bertindak Sendiri Tanpa Wali Kota
Pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Pontianak, Denie Amiruddin turut menyoroti kasus pemberian keringanan retribusi yang kini menyeret Sumastro ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Singkawang.
Namun begitu ia menegaskan, bahwa secara prinsip tata pemerintahan, sekretariat daerah (sekda) bukanlah pengambil kebijakan strategis, melainkan hanya menjalankan fungsi administratif di bawah koordinasi kepala daerah.
Dengan demikian, menurutnya, dalam sistem pemerintahan daerah, kebijakan strategis seperti pengurangan atau penghapusan retribusi harus melalui persetujuan kepala daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan 158 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Maka secara legal reasoning, tidak masuk akal apabila seorang sekda mengambil keputusan strategis terkait retribusi miliaran rupiah tanpa sepengetahuan atau persetujuan wali kota, karena secara hierarki kewenangan, sekda bukan pejabat pengambil kebijakan fiskal. Selain itu tindakan tersebut bisa dikualifikasi sebagai ultra vires, yaitu bertindak di luar kewenangannya,” jelas Denie.
Selain itu, di dalam prinsip umum administrasi negara, menuntut adanya chain of command dan internal check and balance. Sehingga dalam sistem pemerintahan daerah, kewenangan pengambilan kebijakan strategis—sekali lagi—tetap berada di tangan kepala daerah, bukan pejabat birokrasi.
Lebih lanjut, Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak itu menjelaskan mengenai Surat Keputusan (SK) yang memuat keringanan retribusi yang ditandatangani oleh Wali Kota Singkawang, di mana menurutnya, tanggung jawab hukum tentu tidak bisa dilepaskan dari yang bersangkutan. SK tersebut merupakan dokumen resmi (acta publica) yang dapat menjadi bukti permulaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
“SK tersebut dapat menjadi bukti permulaan yang cukup untuk memeriksa apakah wali kota juga terlibat dalam tindak pidana korupsi secara jabatan sesuai dengan Pasal 3 UU Tipikor,” jelasnya.
“Tindak pidana oleh penguasa yang menyalahgunakan kewenangannya tidak hanya dinilai dari akibat formal semata, tetapi juga dari intensi dan kontribusinya terhadap kerugian negara,” tambah Denie.
Menjawab pertanyaan apakah sekda bisa mengabaikan arahan dari dirjen kemendagri dan gubernur? Denie menyatakan sangat kecil kemungkinannya. Jika benar terjadi, maka hanya ada dua kemungkinannya: sekda mendapat restu tersirat dari kepala daerah, atau yang bersangkutan memang telah melakukan pelanggaran berat (gross misconduct) yang lazimnya disertai dengan penonaktifan jabatan.
“Dalam praktik birokrasi, sangat kecil kemungkinan seorang Sekda berani bertindak menyimpang tanpa 'dukungan politik' atau persetujuan kepala daerah, terutama dalam konteks pengelolaan keuangan miliaran rupiah,” jelas pria yang menjabat Sekretaris Asosiasi Pengajar HTN/HAN itu.
Terkait adanya indikasi kolusi dalam pemberian keringanan kepada perusahaan tanpa mekanisme lelang atau seleksi terbuka, Denie menyatakan, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan sistemik dan melanggar asas-asas pemerintahan yang baik (AUPB), yaitu asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, dan asas akuntabilitas.
Dalam artian, jika benar keringanan itu diberikan hanya kepada satu pihak tanpa dasar objektif dan transparansi, maka ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.
“Maka terdapat indikasi kuat telah terjadi kolusi dan abuse of power, yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor,” jelasnya.
Lebih jauh, Denie turut mempertanyakan mengapa hanya sekda yang dijadikan tersangka? Karena, jika kepala daerah ikut menandatangani atau memberikan arahan, maka membiarkan sekda sendiri yang diproses hukum adalah bentuk selective prosecution yang mencederai prinsip equality before the law.
Selain itu, praktik tersebut juga berpotensi memperkuat persepsi bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan legitimasi demokrasi lokal bisa merosot drastis.
“Hal ini bisa dikategorikan demikian, jika SK ditandatangani kepala daerah, dan sekda hanya pelaksana teknis atau administratif, namun hanya sekda yang diproses hukum,” katanya.
Kesimpulan Denie, kepala daerah juga harus dimintai pertanggungjawaban sejak ditemukan bukti awal berupa dokumen yang ditandatangani atau adanya perintah langsung kepada bawahan. Apalagi bila terdapat relasi sebab-akibat antara keputusan tersebut dan kerugian negara.
“Mahkamah Agung dalam berbagai putusan korupsi, pertanggungjawaban pidana bisa ditelusuri melalui rantai kewenangan (chain of command) dan bukti administratif,” katanya.
Selain itu, Denie juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan internal, baik dari Inspektorat, BPKAD, hingga pengawasan anggaran oleh DPRD. Ia menyebut ini sebagai cermin kegagalan implementasi prinsip good governance, khususnya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan supremasi hukum.
“Kasus ini penting untuk dijadikan refleksi kolektif tentang prinsip-prinsip itu semua. Pengawasan internal yang lemah membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan membuat sistem pengendalian pemerintahan menjadi sekadar formalitas,” ujarnya.
“Kita berharap penegakan hukum atas perkara ini dilakukan secara adil, komprehensif, dan proporsional sesuai dengan asas keadilan substantif,” tutup Denie yang juga merupakan Direktur di LBH UM Pontianak tersebut. (**)
SINGKAWANG, kota wisata yang dikenal sebagai “Kota Seribu Kelenteng” kini tengah terusik ketenangannya. Penahanan Sumastro sebagai orang nomor satu di birokrasi kota ini menjadi pemicunya.
Penetapan tersangka yang dirangkai dengan penahanan Sumastro dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kota Singkawang pada 10 Juli 2025.
Dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Daerah Kota Singkawang, Sumastro diduga menjadi aktor kunci dalam skandal keringanan retribusi miliaran rupiah. Ia dituding menyalahgunakan kewenangannya dengan memberi potongan senilai Rp 3,1 miliar kepada PT Palapa Wahyu Group, atas pemanfaatan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik pemerintah kota di Kelurahan Sedau, Singkawang Selatan.
Kebijakan yang diambil tanpa dasar yang kuat itu kini disorot sebagai bentuk penyimpangan yang merugikan keuangan daerah.
Namun Sumastro bukanlah pejabat yang menandatangani surat keputusan pemberian keringanan tersebut. Tentu saja, ia hanya simpul ketat yang akan mengurai keterlibatan oknum lain atau pejabat di atasnya. "Di atas langit masih ada langit".
Karena faktanya, tangan yang meneken surat keputusan itu milik Tjhai Chui Mie, Wali Kota Singkawang saat itu—yang kini kembali menjabat di periode keduanya. Sehingga aneh, jika hanya Sumastro yang diborgol dan dikirim ke Lapas Kelas IIB Singkawang.
Kejaksaan Negeri Singkawang sendiri mengklaim, kalau penetapan Sumastro telah melalui proses panjang dan berlandaskan dua alat bukti yang cukup. Dalam keterangan tertulisnya, Kepala Seksi Intelijen Kejari Singkawang, Ambo Rizal Cahyadi menyebut, bahwa Sumastro bertindak sebagai pengelola barang milik daerah yang tidak menjalankan arahan pemerintah pusat dan provinsi.
“Ia tidak melaksanakan arahan hasil konsultasi dari Dirjen Perimbangan Keuangan, Kemendagri, maupun Gubernur Kalbar,” kata Ambo pada Sabtu, 12 Juli 2025.
Ambo menegaskan, keringanan retribusi yang diberikan Sumastro tidak merujuk pada Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 dan melanggar ketentuan dalam PP Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Sehingga, tindakan Sumastro dinilai bukan hanya kelalaian administratif, melainkan telah memenuhi unsur "mens rea" atau niat jahat.
Sumastro pun disebut sengaja tidak mengikuti mekanisme pelelangan sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 19 Tahun 2016, dan justru mengarahkan kebijakan demi mengakomodir PT Palapa Wahyu Group secara langsung. Hasil audit BPKP turut memperkuat temuan ini, dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp 3,1 miliar.
Dugaan Korupsi Berjamaah
Ambo pun tak menampik adanya keterlibatan pihak lain. Namun saat ditanya lebih lanjut, ia enggan mengungkap siapa saja yang terlibat.
“Ada keterlibatan pihak lain. Tapi soal siapa, kita tunggu proses selanjutnya,” katanya.
Kejaksaan menyebut, kalau proses penyidikan masih terus berjalan. Ketika ditanya apakah tindakan Sumastro dilakukan atas perintah atau intervensi dari pimpinannya, Ambo menjawab singkat. “Masih perlu pendalaman dan proses lebih lanjut,” ujarnya.
Ia juga menyatakan bahwa pengembangan perkara sangat mungkin dilakukan. “Masih dimungkinkan akan ada pengembangan perkara,” ucapnya.
Hingga kini, satu-satunya tersangka yang diumumkan ke publik baru Sumastro. Namun kembali, Ambo tak menutup kemungkinan munculnya tersangka baru.
“Masih ada kemungkinan, saat ini sedang dalam proses pendalaman,” katanya.
Kronologis Penerbitan SK Pemangkasan Retribusi
Kasus ini bermula dari terbitnya Surat Ketetapan Retribusi Daerah Nomor 21.07.0001 pada 26 Juli 2021, dengan nilai sebesar Rp 5.238.000.000.
Kemudian, pada 3 Agustus 2021, PT Palapa Wahyu Group mengajukan permohonan keberatan atas jumlah retribusi tersebut kepada Wali Kota Singkawang. Atas permohonan itu, Wali Kota mengeluarkan Keputusan Nomor 973/469/BKD.WASDAL Tahun 2021 yang memberikan keringanan retribusi sebesar 60 persen atau senilai Rp 3.142.800.000, serta penghapusan denda administrasi yang mencapai Rp 2.535.192.000 bila dilakukan dengan skema angsuran.
Dengan keputusan itu, maka PT Palapa Wahyu Group yang merupakan perusahaan pengelola kawasan wisata Taman Pasir Panjang Indah tersebut hanya diwajibkan membayar Rp 2.095.200.000, dengan cicilan selama 120 bulan (10 tahun), senilai Rp 17.460.000 per bulan.
Perjanjian angsuran itu tertuang dalam Surat Perjanjian Nomor 973/3297/SPA/WASDAL-B/2021, dan berlaku mulai 29 Desember 2021 hingga 29 November 2031.
Dari situ, kejaksaan menilai, bahwa kebijakan ini diduga sarat dengan unsur perbuatan melawan hukum dan memperkaya orang lain.
“Terdapat penyalahgunaan wewenang yang memperkaya korporasi, dalam hal ini PT Palapa Wahyu Group,” tegas Ambo Rizal.
Tjhai Chui Mie Diperiksa Sebagai Saksi
Meski surat keputusan keringanan diteken oleh Wali Kota Tjhai Chui Mie, namun kenapa Sumastro yang justru ditetapkan sebagai tersangka. Kejari Singkawang berdalih, hal itu lantaran Sumastro dianggap bertanggung jawab secara administratif karena menjabat sebagai pengelola barang milik daerah.
“Sekda selaku pengelola barang milik daerah, sebagaimana telah kami jelaskan dalam press release. Proses masih terus berlanjut. Kami tidak menutup kemungkinan keterlibatan pihak lain,” kata Ambo Rizal.
KalbarOnline pun telah menghubungi Tjhai Chui Mie untuk dimintai tanggapan atas penetapan sekdanya sebagai tersangka. Sejumlah pertanyaan terkait pun telah disodorkan. Sayangnya hingga berita ini ditayangkan, ia belum memberikan jawaban.
Menyoal keterlibatan pihak lain, Ambo mengaku, kalau Kejaksaan Negeri Kota Singkawang sebenarnya sudah pernah memanggil Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie—termasuk pihak-pihak terkait lainnya. Namun ia tidak menjelaskan secara rinci seperti apa hasilnya.
“Sudah pernah diperiksa (Tjhai Chui Mie) sebagai saksi. Saksi-saksi lainnya juga sudah kami BAP,” ujar Ambo.
Hingga saat ini, status hukum Tjhai Chui Mie masih tetap bergeming. Sementara Sumastro, dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pakar Hukum: Sekda Tak Bisa Bertindak Sendiri Tanpa Wali Kota
Pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Pontianak, Denie Amiruddin turut menyoroti kasus pemberian keringanan retribusi yang kini menyeret Sumastro ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Singkawang.
Namun begitu ia menegaskan, bahwa secara prinsip tata pemerintahan, sekretariat daerah (sekda) bukanlah pengambil kebijakan strategis, melainkan hanya menjalankan fungsi administratif di bawah koordinasi kepala daerah.
Dengan demikian, menurutnya, dalam sistem pemerintahan daerah, kebijakan strategis seperti pengurangan atau penghapusan retribusi harus melalui persetujuan kepala daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan 158 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Maka secara legal reasoning, tidak masuk akal apabila seorang sekda mengambil keputusan strategis terkait retribusi miliaran rupiah tanpa sepengetahuan atau persetujuan wali kota, karena secara hierarki kewenangan, sekda bukan pejabat pengambil kebijakan fiskal. Selain itu tindakan tersebut bisa dikualifikasi sebagai ultra vires, yaitu bertindak di luar kewenangannya,” jelas Denie.
Selain itu, di dalam prinsip umum administrasi negara, menuntut adanya chain of command dan internal check and balance. Sehingga dalam sistem pemerintahan daerah, kewenangan pengambilan kebijakan strategis—sekali lagi—tetap berada di tangan kepala daerah, bukan pejabat birokrasi.
Lebih lanjut, Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak itu menjelaskan mengenai Surat Keputusan (SK) yang memuat keringanan retribusi yang ditandatangani oleh Wali Kota Singkawang, di mana menurutnya, tanggung jawab hukum tentu tidak bisa dilepaskan dari yang bersangkutan. SK tersebut merupakan dokumen resmi (acta publica) yang dapat menjadi bukti permulaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
“SK tersebut dapat menjadi bukti permulaan yang cukup untuk memeriksa apakah wali kota juga terlibat dalam tindak pidana korupsi secara jabatan sesuai dengan Pasal 3 UU Tipikor,” jelasnya.
“Tindak pidana oleh penguasa yang menyalahgunakan kewenangannya tidak hanya dinilai dari akibat formal semata, tetapi juga dari intensi dan kontribusinya terhadap kerugian negara,” tambah Denie.
Menjawab pertanyaan apakah sekda bisa mengabaikan arahan dari dirjen kemendagri dan gubernur? Denie menyatakan sangat kecil kemungkinannya. Jika benar terjadi, maka hanya ada dua kemungkinannya: sekda mendapat restu tersirat dari kepala daerah, atau yang bersangkutan memang telah melakukan pelanggaran berat (gross misconduct) yang lazimnya disertai dengan penonaktifan jabatan.
“Dalam praktik birokrasi, sangat kecil kemungkinan seorang Sekda berani bertindak menyimpang tanpa 'dukungan politik' atau persetujuan kepala daerah, terutama dalam konteks pengelolaan keuangan miliaran rupiah,” jelas pria yang menjabat Sekretaris Asosiasi Pengajar HTN/HAN itu.
Terkait adanya indikasi kolusi dalam pemberian keringanan kepada perusahaan tanpa mekanisme lelang atau seleksi terbuka, Denie menyatakan, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan sistemik dan melanggar asas-asas pemerintahan yang baik (AUPB), yaitu asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, dan asas akuntabilitas.
Dalam artian, jika benar keringanan itu diberikan hanya kepada satu pihak tanpa dasar objektif dan transparansi, maka ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.
“Maka terdapat indikasi kuat telah terjadi kolusi dan abuse of power, yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor,” jelasnya.
Lebih jauh, Denie turut mempertanyakan mengapa hanya sekda yang dijadikan tersangka? Karena, jika kepala daerah ikut menandatangani atau memberikan arahan, maka membiarkan sekda sendiri yang diproses hukum adalah bentuk selective prosecution yang mencederai prinsip equality before the law.
Selain itu, praktik tersebut juga berpotensi memperkuat persepsi bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan legitimasi demokrasi lokal bisa merosot drastis.
“Hal ini bisa dikategorikan demikian, jika SK ditandatangani kepala daerah, dan sekda hanya pelaksana teknis atau administratif, namun hanya sekda yang diproses hukum,” katanya.
Kesimpulan Denie, kepala daerah juga harus dimintai pertanggungjawaban sejak ditemukan bukti awal berupa dokumen yang ditandatangani atau adanya perintah langsung kepada bawahan. Apalagi bila terdapat relasi sebab-akibat antara keputusan tersebut dan kerugian negara.
“Mahkamah Agung dalam berbagai putusan korupsi, pertanggungjawaban pidana bisa ditelusuri melalui rantai kewenangan (chain of command) dan bukti administratif,” katanya.
Selain itu, Denie juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan internal, baik dari Inspektorat, BPKAD, hingga pengawasan anggaran oleh DPRD. Ia menyebut ini sebagai cermin kegagalan implementasi prinsip good governance, khususnya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan supremasi hukum.
“Kasus ini penting untuk dijadikan refleksi kolektif tentang prinsip-prinsip itu semua. Pengawasan internal yang lemah membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan membuat sistem pengendalian pemerintahan menjadi sekadar formalitas,” ujarnya.
“Kita berharap penegakan hukum atas perkara ini dilakukan secara adil, komprehensif, dan proporsional sesuai dengan asas keadilan substantif,” tutup Denie yang juga merupakan Direktur di LBH UM Pontianak tersebut. (**)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini