Dua Tahun Ekspor Bauksit, Progres Pembangunan Smelter di Kalbar ‘Nihil’

KalbarOnline, Pontianak – Dua tahun sejak pemerintah menggulirkan PP nomor 1 tahun 2017 dan Permen ESDM nomor 5 dan 6 tahun 2017 berupa kebijakan relaksasi ekspor olahan mineral (konsentrat) kepada perusahaan tambang dengan syarat wajib membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun.

Kebijakan yang mengizinkan kembali ekspor konsentrat, mineral mentah kadar rendah bauksit tersebut sempat menuai kontroversi sebab dinilai menghambat upaya hilirisasi sektor mineral dan batu bara (minerba). Aturan tersebut merupakan revisi dari PP nomor 1 tahun 2014 yang sebelumnya melarang ekspor hasil tambang tanpa melakukan proses pemurnian di dalam negeri.

IKLANSUMPAHPEMUDA

Salah satu alasan diberikannya izin ekspor tersebut dengan tujuan, guna untuk menambah arus kas perusahaan dalam membangun smelter.

Bahkan pada 12 Januari 2017 silam, Menteri ESDM, Ignasius Jonan memberi peringatan keras. Dirinya menegaskan bahwa perusahaan harus membangun smelter.

“Harus membangun smelter jika mau ekspor konsentrat, atau dalam proses dalam jangka lima tahun, hal itu juga harus dipertegas dengan pernyataan bermaterai. Kalau tidak, akan saya cabut izinnya!,” tegasnya.

Sayangnya, setelah dua tahun, proses pembangunan smelter masih teramat lambat. Di Kalimantan Barat, ada tiga perusahaan tambang bauksit yang menikmati izin ekspor bahan mentah tapi progres pembangunan smelternya masih di bawah angka 10 persen bahkan belum tampak pembangunan fisik sama sekali alias nihil.

Ketiga perusahaan penerima kuota ekspor mineral mentah bauksit tersebut adalah PT. Dinamika Sejahtera Mandiri sebesar 2,4 juta ton/tahun, PT. Kalbar Bumi Perkasa sebesar 3,5 juta ton/tahun dan PT. Laman Mining sebesar 2,85 juta ton/tahun.

Baca Juga :  Pemprov Kalbar Fasilitasi Tes Antigen Gratis Bagi Peserta CPNS dan PPPK

Untuk memantau progres pembangunan smelter, Kementerian ESDM membentuk tim verifikator yang tiap enam bulan sekali mengevaluasi kinerja pembangunan smelter berdasarkan kurva S. Hanya saja, pemerintah daerah Kalimantan Barat sama sekali belum pernah menerima laporan hasil evaluasi pembangunan smelter tersebut karena di bawah wewenang Kementerian ESDM.

Sebenarnya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dapat memantau langsung progres pembangunan smelter melalui Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) milik perusahaan yang wajib dilaporkan secara berkala ke Dinas PTSP Kalbar. Kewajiban melaporkan LKPM bertujuan untuk memantau realisasi investasi dan produksi suatu perusahaan.

Akan tetapi, berdasarkan data yang redaksi peroleh dari Dinas PTSP Kalbar, dari 3 perusahaan yang mendapat relaksasi ekspor hanya PT. Laman Mining yang secara rutin melaporkan LKPM ke Dinas PTSP.  Sedangkan dua perusahaan lainnya yaitu PT. Dinamika Sejahtera Mandiri dan PT. Kalbar Bumi Perkasa sama sekali belum pernah melaporkan LKPM-nya ke Dinas PTSP.

Dengan tidak adanya LKPM dua perusahaan pemegang kuota ekspor tersebut, pemerintah daerah tidak dapat memantau progres pembangunan smelter berdasarkan realisasi investasi yang dilakukan.

Sulit untuk mengukur komitmen perusahaan dalam membangun smelter mengingat sisa waktu relaksasi ekspor tinggal tiga tahun lagi. Besar kemungkinan ada perusahaan yang hanya mau memanfaatkan kelonggaran ekspor yang diberikan untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin sampai batas relaksasi ekspor berakhir tanpa menepati janji untuk membangun smelter.

Baca Juga :  Mulai 1 Juli 2020, Dokumen Kependudukan Bisa Cetak Sendiri

Meski wewenang pengawasan berada di pusat, pemerintah daerah perlu menagih komitmen investasi di sektor pemurnian tambang agar dapat memberi dampak ekonomi secara signifikan.

Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat di sekitar tambang yang hidup dalam kubangan kemiskinan.

“Ada 1600-an desa tertinggal dan sangat tertinggal di Kalbar ini. Padahal desa-desa itu sebagian juga berada di kawasan dekat pertambangan. Ada tambang di desa itu saja masih tertinggal, apalagi jika tidak ada,” tukas Midji.

Untuk itu, orang nomor satu di Bumi Tanjungpura itu akan menyurat ke Kementerian ESDM dalam waktu dekat, untuk bersama-sama dengan pemerintah provinsi melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan pembangunan smelter di Kalbar.

Di samping isu pembangunan smelter, yang juga menjadi perhatian Gubernur Kalimantan Barat adalah komitmen pengelolaan lingkungan atau reklamasi pasca tambang.

Bahkan Sutarmidji sempat berujar pada Seminar Reklamasi Tambang yang digelar Perhapi Kalbar pada 15 Desember 2018 lalu bahwa belum ada perusahaan di Kalimantan Barat yang melakukan reklamasi sesuai standar. Menurutnya, selama ini proses reklamasi yang dilaksanakan perusahaan masih dengan cara konvensional.

Sebagai contoh, setelah menghilangkan tanah pucuk akibat galian tambang bauksit, aktivitas reklamasi yang dilakukan hanya sekedar penataan lahan dan revegetasi dengan tingkat keberhasilan nyaris 0 persen tanpa menyentuh akar permasalahan berupa remediasi lahan pasca tambang.

Padahal lahan merupakan modal produksi masyarakat desa yang utama. Jika lahan pasca tambang tidak diremediasi kembali, maka berdampak pada hilangnya potensi penggunaan lahan untuk aktivitas produktif masyarakat di luar tambang.

Pemprov Kalimantan Barat tentu tetap berkomitmen untuk menjaga iklim investasi di Kalimantan Barat dengan syarat pelaku industri khususnya pertambangan tetap taat aturan dan memiliki niat baik untuk menata lingkungan pasca tambang. (Fai)

Comment