Pontianak    

Dua Tahun Ekspor Bauksit, Progres Pembangunan Smelter di Kalbar ‘Nihil’

Oleh : Jauhari Fatria
Kamis, 24 Januari 2019
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

KalbarOnline,

Pontianak – Dua tahun sejak pemerintah menggulirkan

PP nomor 1 tahun 2017 dan Permen ESDM nomor 5 dan 6 tahun 2017 berupa kebijakan

relaksasi ekspor olahan mineral (konsentrat) kepada perusahaan tambang dengan

syarat wajib membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun.

Kebijakan yang mengizinkan kembali ekspor

konsentrat, mineral mentah kadar rendah bauksit tersebut sempat menuai

kontroversi sebab dinilai menghambat upaya hilirisasi sektor mineral dan batu

bara (minerba). Aturan tersebut merupakan revisi dari PP nomor 1 tahun 2014

yang sebelumnya melarang ekspor hasil tambang tanpa melakukan proses pemurnian

di dalam negeri.

Salah satu alasan diberikannya izin ekspor

tersebut dengan tujuan, guna untuk menambah arus kas perusahaan dalam membangun

smelter.

Bahkan pada 12 Januari 2017 silam, Menteri

ESDM, Ignasius Jonan memberi peringatan keras. Dirinya menegaskan bahwa

perusahaan harus membangun smelter.

“Harus membangun smelter jika mau ekspor

konsentrat, atau dalam proses dalam jangka lima tahun, hal itu juga harus

dipertegas dengan pernyataan bermaterai. Kalau tidak, akan saya cabut izinnya!,”

tegasnya.

Sayangnya, setelah dua tahun, proses

pembangunan smelter masih teramat lambat. Di Kalimantan Barat, ada tiga

perusahaan tambang bauksit yang menikmati izin ekspor bahan mentah tapi progres

pembangunan smelternya masih di bawah angka 10 persen bahkan belum tampak pembangunan

fisik sama sekali alias nihil.

Ketiga perusahaan penerima kuota ekspor mineral mentah bauksit tersebut adalah PT. Dinamika Sejahtera Mandiri sebesar 2,4 juta ton/tahun, PT. Kalbar Bumi Perkasa sebesar 3,5 juta ton/tahun dan PT. Laman Mining sebesar 2,85 juta ton/tahun.

Untuk memantau progres pembangunan smelter,

Kementerian ESDM membentuk tim verifikator yang tiap enam bulan sekali

mengevaluasi kinerja pembangunan smelter berdasarkan kurva S. Hanya saja,

pemerintah daerah Kalimantan Barat sama sekali belum pernah menerima laporan hasil

evaluasi pembangunan smelter tersebut karena di bawah wewenang Kementerian

ESDM.

Sebenarnya, Pemerintah Provinsi Kalimantan

Barat dapat memantau langsung progres pembangunan smelter melalui Laporan

Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) milik perusahaan yang wajib dilaporkan secara

berkala ke Dinas PTSP Kalbar. Kewajiban melaporkan LKPM bertujuan untuk

memantau realisasi investasi dan produksi suatu perusahaan.

Akan tetapi, berdasarkan data yang redaksi

peroleh dari Dinas PTSP Kalbar, dari 3 perusahaan yang mendapat relaksasi

ekspor hanya PT. Laman Mining yang secara rutin melaporkan LKPM ke Dinas

PTSP.  Sedangkan dua perusahaan lainnya

yaitu PT. Dinamika Sejahtera Mandiri dan PT. Kalbar Bumi Perkasa sama sekali

belum pernah melaporkan LKPM-nya ke Dinas PTSP.

Dengan tidak adanya LKPM dua perusahaan

pemegang kuota ekspor tersebut, pemerintah daerah tidak dapat memantau progres

pembangunan smelter berdasarkan realisasi investasi yang dilakukan.

Sulit untuk mengukur komitmen perusahaan

dalam membangun smelter mengingat sisa waktu relaksasi ekspor tinggal tiga

tahun lagi. Besar kemungkinan ada perusahaan yang hanya mau memanfaatkan

kelonggaran ekspor yang diberikan untuk mengeruk keuntungan sebanyak mungkin

sampai batas relaksasi ekspor berakhir tanpa menepati janji untuk membangun

smelter.

Meski wewenang pengawasan berada di pusat,

pemerintah daerah perlu menagih komitmen investasi di sektor pemurnian tambang

agar dapat memberi dampak ekonomi secara signifikan.

Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji

mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat di sekitar tambang yang hidup dalam

kubangan kemiskinan.

“Ada 1600-an desa tertinggal dan sangat

tertinggal di Kalbar ini. Padahal desa-desa itu sebagian juga berada di kawasan

dekat pertambangan. Ada tambang di desa itu saja masih tertinggal, apalagi jika

tidak ada,” tukas Midji.

Untuk itu, orang nomor satu di Bumi

Tanjungpura itu akan menyurat ke Kementerian ESDM dalam waktu dekat, untuk

bersama-sama dengan pemerintah provinsi melakukan evaluasi menyeluruh terhadap

kemajuan pembangunan smelter di Kalbar.

Di samping isu pembangunan smelter, yang

juga menjadi perhatian Gubernur Kalimantan Barat adalah komitmen pengelolaan

lingkungan atau reklamasi pasca tambang.

Bahkan Sutarmidji sempat berujar pada

Seminar Reklamasi Tambang yang digelar Perhapi Kalbar pada 15 Desember 2018

lalu bahwa belum ada perusahaan di Kalimantan Barat yang melakukan reklamasi

sesuai standar. Menurutnya, selama ini proses reklamasi yang dilaksanakan

perusahaan masih dengan cara konvensional.

Sebagai contoh, setelah menghilangkan tanah

pucuk akibat galian tambang bauksit, aktivitas reklamasi yang dilakukan hanya

sekedar penataan lahan dan revegetasi dengan tingkat keberhasilan nyaris 0 persen

tanpa menyentuh akar permasalahan berupa remediasi lahan pasca tambang.

Padahal lahan merupakan modal produksi

masyarakat desa yang utama. Jika lahan pasca tambang tidak diremediasi kembali,

maka berdampak pada hilangnya potensi penggunaan lahan untuk aktivitas

produktif masyarakat di luar tambang.

Pemprov Kalimantan Barat tentu tetap

berkomitmen untuk menjaga iklim investasi di Kalimantan Barat dengan syarat

pelaku industri khususnya pertambangan tetap taat aturan dan memiliki niat baik

untuk menata lingkungan pasca tambang. (Fai)

Artikel Selanjutnya
Sutarmidji Pastikan Tahun Ajaran Baru Sekolah Negeri di Kalbar Gratis
Kamis, 24 Januari 2019
Artikel Sebelumnya
Progres Pembangunan Smelter Nihil, 3 Perusahaan Tambang di Kalbar Dituding Hanya Cari Untung
Kamis, 24 Januari 2019

Berita terkait