Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Rabu, 01 Mei 2019 |
Heboh diduga
‘Tarian LGBT’ pada perayaan Pontianak Menari
KalbarOnline,
Pontianak – Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono membantah keras
tudingan bahwa dirinya menginstruksikan pembubaran acara Pontianak Menari dalam
rangka merayakan Hari Tari Sedunia yang digelar di Bundaran Tugu Digulis Untan,
Senin (29/4/2019) malam kemarin.

“Tidak ada perintah dari saya untuk membubarkan acara itu,
apalagi sampai memukul. Itu sebenarnya miss
komunikasi. Kita izinkan ada kegiatan seni di Kota Pontianak. Hanya saja itu di
ruang publik, tentu harus menjaga norma-norma sosial, dalam berpakaian dan
sebagainya. Kalau menari biasa, tentu tidak masalah,” ujarnya saat
diwawancarai, Selasa (30/4/2019).
“Setelah kita kordinasi dengan Disporapar (Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata), ternyata ada peserta yang menari dengan seronok dan berpakaian kurang pas untuk ruang publik, harusnya kalau seni itu yang menampilkan ciri khas budaya kita,” timpalnya.
Orang nomor wahid di Kota Pontianak ini menegaskan bahwa instruksi
pembubaran acara tak mungkin dilakukannya. Sebab acara bertajuk Pontianak
Menari itu sendiri mendapat izin dari pihaknya, bahkan bekerjasama dengan Dinas
Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kota Pontianak.
Hanya saja, diakuinya ia meminta tarian yang videonya viral
di media sosial dan kurang pantas ditampilkan di ruang publik itu dihentikan.
“Ada berita ke saya, bahwa ada sekelompok orang berupaya
untuk mengamankan tarian itu, sifatnya tidak pantas untuk ditarikan di depan
trotoar, saya mendapat videonya saya bilang kalau seperti ini dan tarian itu
saya lihat memang gayanya sangat terbuka tidak pas untuk ruang publik, terus
saya bilang kalau untuk yang ini dihentikan, tapi bukan memerintahkan untuk
membubarkan kegiatan itu,” tukasnya.
Namun, lanjut Edi, karena situasi dan kondisi di lapangan
kisruh dan terjadi miss komunikasi
hingga berakhir pemukulan yang dilakukan oknum ormas terhadap para penari.
Oknum masyarakat menganggap tarian yang ditampilkan beberapa penari tersebut
sebagai bagian dari aktivitas LGBT. Keberadaan Satpol PP di lokasi itu sendiri,
tegas Edi, adalah untuk mengamankan penari dari tindakan anarkis oknum
masyarakat.
“Melihat situasi yang kurang kondusif, akhirnya panitia
Pontianak Menari mengambil keputusan untuk membubarkan acara,” terangnya.
Bahkan Edi menyarankan jika memang para penari mengalami
tindakan pemukulan oleh oknum masyarakat, untuk melaporkannya ke kepolisian.
“Silahkan laporkan ke kepolisian untuk diproses secara
hukum,” imbuhnya.
Sementara Ketua Program Studi Pendidikan Seni dan Pertunjukan
FKIP Untan, Ismunandar turut menyayangkan insiden upaya pembubaran sepihak oleh
oknum ormas tanpa berkoordinasi dengan pihaknya.
Bahkan upaya pembubaran itu berakhir dengan pemukulan
terhadap para penari dan dirinya mengaku mengalami sendiri pemukulan oleh oknum
masyarakat.
“Satpol PP tidak ada melakukan pemukulan. Panitia memutuskan
menghentikan kegiatan karena situasi saat itu tidak kondusif,” tuturnya.
Menurutnya, kegiatan ini legal dan sudah diizinkan dalam
rangka merayakan Hari Tari Sedunia. Tentunya, pihaknya menampilkan seluruh
genre tarian, mulai dari tari tradisional, kontemporer sampai tari populer yang
sedang berkembang di kalangan anak muda. Tarian yang ditampilkan pun tidak
terlepas dari etika di ruang publik.
“Tapi ini pemahaman tentang kesenian ini yang mungkin perlu
ruang untuk dikomunikasikan atau kita dialogkan, bagaimana tari tradisional,
bagaimana tari modern, bagaimana tari kontemporer,” pungkasnya.
Sebelum di warga Pontianak dihebohkan dengan ‘tarian LGBT’
yang menyuguhkan tampilan seronok oleh para penari laki-laki dengan pakaian
wanita. (Fai)
Heboh diduga
‘Tarian LGBT’ pada perayaan Pontianak Menari
KalbarOnline,
Pontianak – Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono membantah keras
tudingan bahwa dirinya menginstruksikan pembubaran acara Pontianak Menari dalam
rangka merayakan Hari Tari Sedunia yang digelar di Bundaran Tugu Digulis Untan,
Senin (29/4/2019) malam kemarin.

“Tidak ada perintah dari saya untuk membubarkan acara itu,
apalagi sampai memukul. Itu sebenarnya miss
komunikasi. Kita izinkan ada kegiatan seni di Kota Pontianak. Hanya saja itu di
ruang publik, tentu harus menjaga norma-norma sosial, dalam berpakaian dan
sebagainya. Kalau menari biasa, tentu tidak masalah,” ujarnya saat
diwawancarai, Selasa (30/4/2019).
“Setelah kita kordinasi dengan Disporapar (Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata), ternyata ada peserta yang menari dengan seronok dan berpakaian kurang pas untuk ruang publik, harusnya kalau seni itu yang menampilkan ciri khas budaya kita,” timpalnya.
Orang nomor wahid di Kota Pontianak ini menegaskan bahwa instruksi
pembubaran acara tak mungkin dilakukannya. Sebab acara bertajuk Pontianak
Menari itu sendiri mendapat izin dari pihaknya, bahkan bekerjasama dengan Dinas
Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kota Pontianak.
Hanya saja, diakuinya ia meminta tarian yang videonya viral
di media sosial dan kurang pantas ditampilkan di ruang publik itu dihentikan.
“Ada berita ke saya, bahwa ada sekelompok orang berupaya
untuk mengamankan tarian itu, sifatnya tidak pantas untuk ditarikan di depan
trotoar, saya mendapat videonya saya bilang kalau seperti ini dan tarian itu
saya lihat memang gayanya sangat terbuka tidak pas untuk ruang publik, terus
saya bilang kalau untuk yang ini dihentikan, tapi bukan memerintahkan untuk
membubarkan kegiatan itu,” tukasnya.
Namun, lanjut Edi, karena situasi dan kondisi di lapangan
kisruh dan terjadi miss komunikasi
hingga berakhir pemukulan yang dilakukan oknum ormas terhadap para penari.
Oknum masyarakat menganggap tarian yang ditampilkan beberapa penari tersebut
sebagai bagian dari aktivitas LGBT. Keberadaan Satpol PP di lokasi itu sendiri,
tegas Edi, adalah untuk mengamankan penari dari tindakan anarkis oknum
masyarakat.
“Melihat situasi yang kurang kondusif, akhirnya panitia
Pontianak Menari mengambil keputusan untuk membubarkan acara,” terangnya.
Bahkan Edi menyarankan jika memang para penari mengalami
tindakan pemukulan oleh oknum masyarakat, untuk melaporkannya ke kepolisian.
“Silahkan laporkan ke kepolisian untuk diproses secara
hukum,” imbuhnya.
Sementara Ketua Program Studi Pendidikan Seni dan Pertunjukan
FKIP Untan, Ismunandar turut menyayangkan insiden upaya pembubaran sepihak oleh
oknum ormas tanpa berkoordinasi dengan pihaknya.
Bahkan upaya pembubaran itu berakhir dengan pemukulan
terhadap para penari dan dirinya mengaku mengalami sendiri pemukulan oleh oknum
masyarakat.
“Satpol PP tidak ada melakukan pemukulan. Panitia memutuskan
menghentikan kegiatan karena situasi saat itu tidak kondusif,” tuturnya.
Menurutnya, kegiatan ini legal dan sudah diizinkan dalam
rangka merayakan Hari Tari Sedunia. Tentunya, pihaknya menampilkan seluruh
genre tarian, mulai dari tari tradisional, kontemporer sampai tari populer yang
sedang berkembang di kalangan anak muda. Tarian yang ditampilkan pun tidak
terlepas dari etika di ruang publik.
“Tapi ini pemahaman tentang kesenian ini yang mungkin perlu
ruang untuk dikomunikasikan atau kita dialogkan, bagaimana tari tradisional,
bagaimana tari modern, bagaimana tari kontemporer,” pungkasnya.
Sebelum di warga Pontianak dihebohkan dengan ‘tarian LGBT’
yang menyuguhkan tampilan seronok oleh para penari laki-laki dengan pakaian
wanita. (Fai)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini