KalbarOnline, Nasional – Anggota Komisi V DPR RI, Bambang Haryo Soekartono mengkritisi ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan meningkatnya polusi udara di Ibu Kota.
Dia menganggap pemerintah gagal menjalankan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menugaskan pemerintah merawat dan melindungi hutan.
Berdasarkan data Walhi, terdapat lebih dari 4.258 titik panas (hotspot) yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama Sumatera dan Kalimantan, selama Januari-Juli tahun ini. Dari jumlah itu, 2.087 hotspot berada di kawasan konsesi dan lahan gambut.
Akibat karhutla, kata Bambang Haryo, masyarakat terpapar polusi asap sehingga kesehatan mereka terganggu dan menjadi tidak produktif. Kerugian lain, rusaknya ekosistem flora dan fauna hutan tropis Indonesia yang khas.
“Kerugian karhutla sangat besar, baik dari ekonomi, pariwisata, kesehatan, hingga pendidikan. Dampaknya juga dirasakan warga DKI Jakarta karena polusi di Ibu Kota diduga berasal dari karhutla, terutama di Sumatera dan Kalimantan,” ungkapnya, Sabtu (17/8/2019).
Dia tidak sependapat jika dikatakan polusi udara di DKI terutama diakibatkan oleh sektor transportasi dan industri. Pasalnya, kasus polusi asap seperti ini pernah dialami Ibu Kota pada musim kemarau tahun 2015.
“Ketika itu DKI dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Polusi asap hilang sendiri karena karhutla padam saat tiba musim hujan,” ujar politisi Partai Gerindra ini.
Dia mengingatkan agar pemerintah pusat dan DKI lebih cermat membuat kebijakan dalam merespons polusi di Ibu Kota. Salah satu kebijakan yang dianggapnya kurang tepat, yakni pembatasan usia kendaraan bermotor di DKI.
“Jangan tergesa-gesa membuat kebijakan. Tolong dianalisis dulu, sebab musim hujan nanti karhutla akan padam sendiri dan polusi asap di DKI otomatis berkurang,” kata Bambang Haryo.
Menurutnya, pembatasan usia kendaraan bermotor akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan menaikkan impor. Sebab kebijakan ini akan mendorong masyarakat membeli mobil baru, yang produsennya masih didominasi asing.
Meskipun demikian, dia mengapresiasi Pemprov DKI yang semakin terbuka dan cepat menyajikan data polusi udara, sehingga masyarakat memperoleh informasi secara transparan.
Selain akibat karhutla, Bambang Haryo juga menyoroti polusi akibat kembali masifnya penggunaan batu bara untuk pembangkit tenaga listrik dalam proyek listrik 35.000 Megawatt.
Kebijakan pemerintah ini dinilai tidak konsisten dengan upaya mengurangi polusi, termasuk rencana pengembangan mobil listrik.
“Percuma kembangkan mobil listrik, tetapi polusi dari pembangkit batu bara justru makin besar,” tegasnya.
Dia mendorong masyarakat melakukan class action terhadap pemerintah karena dianggap tidak mampu menjaga lingkungan hidup sehingga merugikan masyarakat. (Fai)
Comment