Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Sabtu, 18 Januari 2020 |
KalbarOnline,
Pontianak – Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018,
angka stunting atau masalah gizi kronis di Kalimantan Barat
masih terbilang tinggi. Setidaknya tercatat angka rata-rata 33,3 persen.
Angka ini lantas menempatkan Kalbar di urutan ke-27 se-nasional. Dari 14 kabupaten/kota
se-Kalbar setidaknya terdapat tiga daerah dengan catatan angka stunting paling
tinggi. Urutan pertama ditempati Kabupaten Ketapang dengan angka 42,7 persen,
disusul Landak sebesar 42,0 persen dan Melawi 40,8 persen.
“Jadi kita itu berpatokan pada Riskesdas. Di tahun 2018
berdasarkan Riskesdas, stunting Kalbar itu sebesar 33,3 persen. Yang paling
tinggi itu Ketapang, kemudian Landak selanjutnya Melawi,” ujar Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Kalbar, Harisson saat diwawancarai awak media baru-baru ini.
Lain halnya dengan data e-PPGBM atau aplikasi pencatatan dan
pelaporan gizi berbasis masyarakat yang merupakan bagian dari Sigizi Terpadu
yang dapat digunakan untuk mencatat data sasaran individu dan penimbangan atau
pengukurannya yang dapat memberikan feedback (timbal balik) secara langsung
status gizi sasaran tersebut. Berdasarkan data ini, kata Harisson, angka
stunting di Kalbar justru terbilang rendah dari rerata nasional versi Riskesdas
2018. Hanya di angka 18,03 persen.
Namun data ini disebut dia, tak dapat disandingkan dengan
data Riskesdas, pasalnya data dari e-PPGBM hanya berdasarkan pencatatan dan
pelaporan kader posyandu. Sementara data Riskesdas yang digunakan Kementerian,
dalam risetnya menerjunkan langsung tim dari Kementerian maupun ahli untuk
melakukan riset dan survei ke daerah-daerah. Tentu dalam riset maupun survei,
keduanya memiliki cara ukur yang berbeda.
“Intinya data e-PPGBM tak bisa disandingkan dengan Riskesdas.
Kalau e-PPGBM ini diinput oleh kader posyandu yang ada di kecamatan-kecamatan.
Kalau Riskesdas berdasarkan tim dari kementerian dan ahli yang turun langsung
ke lapangan. Tentu ada perbedaan dalam cara mengukurnya. Kementerian juga
berpatokan pada Riskesdas,” tegasnya.
Beberapa terobosan, kata Harisson, terus dilakukan pihaknya
untuk menekan angka stunting, termasuk melakukan koordinasi dengan Dinas
Kesehatan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Kalbar. Namun, kata dia, sektor
kesehatan itu hanya pada lingkup intervensi spesifik yang meliputi 1000 hari
pertama kehidupan, memantau masa kehamilan mulai K1-K4, memantau gizi ibu hamil
dan sebagainya.
“Jadi intervensi spesifik itu meliputi 1000 hari pertama
kehidupan, mulai dari ibu hamil K1-K4-nya harus baik, ibu hamil gizinya harus baik,
harus minum obat tambah darah, melahirkan harus di fasilitas kesehatan,
didorong tenaga yang punya kompetensi persalinan yang baik, bayi harus
diberikan ASI ekslusif (6 bulan), harus diimunisasi dasar lengkap, memberikan
makanan yang bergizi pada anak-anak sampai umur dua tahun. Karena stunting ini
sampai umur dua tahun saja, setelah itu tidak. Ini yang dilakukan Dinas Kesehatan.
Tapi dari intervensi spesifik itu hanya mempengaruhi 30 persen terhadap stunting,”
tukasnya.
Sementara 70 persen lainnya, kata dia, masuk dalam intervensi
sensitif. Hal ini, ungkap Harisson, yang dilakukan sektor lain di luar Dinas
Kesehatan.
“Intervensi sensitif ini meliputi air bersih, lingkungan
yang sehat, ketahanan pangan, pertanian, peternakan dan lainnya. Penanganan
stunting di daerah, sebenarnya leadernya adalah Bappeda. Kesehatan hanya di sektor
intervensi spesifik (30 persen), sementara intervensi sensitif (70 persen)
berdasarkan yang dilakukan OPD lain di luar kesehatan,” ungkapnya.
Dalam wawancarai itu, Harisson berpesan kepada para orang
tua di Kalbar untuk benar-benar peduli terhadap tumbuh kembang anak termasuk
1000 hari kehidupan anak. Hal lain yang menjadi perhatian Harisson adalah
posyandu. Di mana saat ini, posyandu hanya diisi dengan kegiatan imunisasi dan
penyuluhan. Menurut dia, posyandu juga berperan penting untuk melatih ibu-ibu
menyiapkan makanan bergizi untuk anak di rumah.
“Sekarang ini benar-benar harus peduli terhadap tumbuh
kembang anak termasuk 1000 hari kehidupan anak. Sekarang untuk makanan bergizi,
sebenarnya ibu-ibu di posyandu harus dilatih bagaimana memasak dan menyiapkan
makanan bergizi untuk anak di rumah. Jadi posyandu bukan hanya diisi kegiatan
imunisasi dan penyuluhan saja, tapi juga dilatih untuk menyiapkan makanan
bergizi pada anak atau bayi, ini yang sekarang posyandu tak lakukan lagi. Ini akan
kita gencarkan, harus demo memasak makanan bergizi. Saya sudah pesan ke semua
petugas kesehatan. Selain itu kita juga butuh peran organisasi wanita, wanita
harus benar-benar terlibat dalam rangka menurunkan angka stunting,” tandasnya.
Gubernur instruksikan
Dinkes Kalbar libatkan organisasi wanita tekan angka stunting
Sementara Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji menegaskan
bahwa dalam rangka mensukseskan program-program kesehatan guna menciptakan
generasi penerus yang cerdas dan sehat di Kalimantan Barat, pelibatan peran
masyarakat khususnya organisasi wanita dinilai penting.
Oleh karenanya, Gubernur Sutarmidji menginstruksikan agar
jajaran Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tak hanya bersinergi dengan
OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait melainkan juga menjalin sinergitas
dengan organisasi-organisasi wanita di Kalbar.
“Menjalankan program kesehatan ini harus sinergi dengan
organisasi perempuan atau organisasi yang peduli tentang kesehatan, itu harus
dilibatkan terus. Saya yakin, capaiannya akan cepat jika ada sinergitas,”
ujarnya saat diwawancarai usai membuka seminar ‘pentingnya pemantauan tumbuh
kembang menuju generasi sehat Indonesia unggul’ yang digelar Dinas Kesehatan
Provinsi Kalbar di Hotel Mahkota Pontianak, Senin (25/11/2019).
Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura ini mengaku pesimis
jika program-program kesehatan dalam pelaksanaannya hanya melibatkan lintas OPD
antar provinsi dan kabupaten/kota tanpa bersinergi dengan organisasi wanita
seperti Persit, Bhayangkari, Tim Penggerak PKK, Gabungan Organisasi Wanita dan
sebagainya.
“Kalau hanya pemda dari provinsi dan kabupaten/kota tanpa
melibatkan ibu-ibu Persit, Bhayangkari dan sebagainya, itu jadi penghambat juga
untuk suatu percepatan, karena sinergitasnya tak jelas, sehingga capaiannya
juga tak jelas,” tukasnya.
Selain itu, dirinya juga menegaskan agar jajaran Dinas
Kesehatan membiasakan bekerja berdasarkan data dan mampu menganalisis data
sehingga kebijakan yang diambil dapat menyelesaikan suatu masalah.
“Ketika tidak tahu masalah dan tak mempunyai data, maka kita
tidak akan bisa mencapai progres yang baik di setiap kebijakan, akibatnya
kebijakan kadang dibuat secara asal,” tegasnya.
Berkaitan dengan pentingnya pemantauan tumbuh kembang anak,
Midji menegaskan bahwa kesehatan harus direncakan sejak usia kematangan
perwakinan, masa kehamilan, masa kelahiran anak hingga mencapai usia balita.
“Itu prosesnya harus dipantau dan diikuti. Misalnya K4
(Kontak minimal 4 kali selama masa kehamilan) ketika hamil dijalankan atau
tidak, kemudian setelah anak lahir, imunisasinya lengkap atau tidak, itu harus
terus dipantau,” tukasnya.
“Setelah balita, pendidikannya harus disiapkan, misalnya
Paud, TK dan sebagainya. Tahapannya harus seperti itu supaya tumbuh kembang
anak itu bagus dan menjadi generasi yang cerdas dan sehat,” timpalnya.
Pasalnya, kata Midji, jika banyak generasi yang tidak sehat maka akan menjadi beban bagi negara.
“Semakin banyak orang tak sehat, akan menjadi beban negara. Okelah ada BPJS, tapi itu kan subsidi pemerintah,” tandasnya. (Fai)
KalbarOnline,
Pontianak – Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018,
angka stunting atau masalah gizi kronis di Kalimantan Barat
masih terbilang tinggi. Setidaknya tercatat angka rata-rata 33,3 persen.
Angka ini lantas menempatkan Kalbar di urutan ke-27 se-nasional. Dari 14 kabupaten/kota
se-Kalbar setidaknya terdapat tiga daerah dengan catatan angka stunting paling
tinggi. Urutan pertama ditempati Kabupaten Ketapang dengan angka 42,7 persen,
disusul Landak sebesar 42,0 persen dan Melawi 40,8 persen.
“Jadi kita itu berpatokan pada Riskesdas. Di tahun 2018
berdasarkan Riskesdas, stunting Kalbar itu sebesar 33,3 persen. Yang paling
tinggi itu Ketapang, kemudian Landak selanjutnya Melawi,” ujar Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Kalbar, Harisson saat diwawancarai awak media baru-baru ini.
Lain halnya dengan data e-PPGBM atau aplikasi pencatatan dan
pelaporan gizi berbasis masyarakat yang merupakan bagian dari Sigizi Terpadu
yang dapat digunakan untuk mencatat data sasaran individu dan penimbangan atau
pengukurannya yang dapat memberikan feedback (timbal balik) secara langsung
status gizi sasaran tersebut. Berdasarkan data ini, kata Harisson, angka
stunting di Kalbar justru terbilang rendah dari rerata nasional versi Riskesdas
2018. Hanya di angka 18,03 persen.
Namun data ini disebut dia, tak dapat disandingkan dengan
data Riskesdas, pasalnya data dari e-PPGBM hanya berdasarkan pencatatan dan
pelaporan kader posyandu. Sementara data Riskesdas yang digunakan Kementerian,
dalam risetnya menerjunkan langsung tim dari Kementerian maupun ahli untuk
melakukan riset dan survei ke daerah-daerah. Tentu dalam riset maupun survei,
keduanya memiliki cara ukur yang berbeda.
“Intinya data e-PPGBM tak bisa disandingkan dengan Riskesdas.
Kalau e-PPGBM ini diinput oleh kader posyandu yang ada di kecamatan-kecamatan.
Kalau Riskesdas berdasarkan tim dari kementerian dan ahli yang turun langsung
ke lapangan. Tentu ada perbedaan dalam cara mengukurnya. Kementerian juga
berpatokan pada Riskesdas,” tegasnya.
Beberapa terobosan, kata Harisson, terus dilakukan pihaknya
untuk menekan angka stunting, termasuk melakukan koordinasi dengan Dinas
Kesehatan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Kalbar. Namun, kata dia, sektor
kesehatan itu hanya pada lingkup intervensi spesifik yang meliputi 1000 hari
pertama kehidupan, memantau masa kehamilan mulai K1-K4, memantau gizi ibu hamil
dan sebagainya.
“Jadi intervensi spesifik itu meliputi 1000 hari pertama
kehidupan, mulai dari ibu hamil K1-K4-nya harus baik, ibu hamil gizinya harus baik,
harus minum obat tambah darah, melahirkan harus di fasilitas kesehatan,
didorong tenaga yang punya kompetensi persalinan yang baik, bayi harus
diberikan ASI ekslusif (6 bulan), harus diimunisasi dasar lengkap, memberikan
makanan yang bergizi pada anak-anak sampai umur dua tahun. Karena stunting ini
sampai umur dua tahun saja, setelah itu tidak. Ini yang dilakukan Dinas Kesehatan.
Tapi dari intervensi spesifik itu hanya mempengaruhi 30 persen terhadap stunting,”
tukasnya.
Sementara 70 persen lainnya, kata dia, masuk dalam intervensi
sensitif. Hal ini, ungkap Harisson, yang dilakukan sektor lain di luar Dinas
Kesehatan.
“Intervensi sensitif ini meliputi air bersih, lingkungan
yang sehat, ketahanan pangan, pertanian, peternakan dan lainnya. Penanganan
stunting di daerah, sebenarnya leadernya adalah Bappeda. Kesehatan hanya di sektor
intervensi spesifik (30 persen), sementara intervensi sensitif (70 persen)
berdasarkan yang dilakukan OPD lain di luar kesehatan,” ungkapnya.
Dalam wawancarai itu, Harisson berpesan kepada para orang
tua di Kalbar untuk benar-benar peduli terhadap tumbuh kembang anak termasuk
1000 hari kehidupan anak. Hal lain yang menjadi perhatian Harisson adalah
posyandu. Di mana saat ini, posyandu hanya diisi dengan kegiatan imunisasi dan
penyuluhan. Menurut dia, posyandu juga berperan penting untuk melatih ibu-ibu
menyiapkan makanan bergizi untuk anak di rumah.
“Sekarang ini benar-benar harus peduli terhadap tumbuh
kembang anak termasuk 1000 hari kehidupan anak. Sekarang untuk makanan bergizi,
sebenarnya ibu-ibu di posyandu harus dilatih bagaimana memasak dan menyiapkan
makanan bergizi untuk anak di rumah. Jadi posyandu bukan hanya diisi kegiatan
imunisasi dan penyuluhan saja, tapi juga dilatih untuk menyiapkan makanan
bergizi pada anak atau bayi, ini yang sekarang posyandu tak lakukan lagi. Ini akan
kita gencarkan, harus demo memasak makanan bergizi. Saya sudah pesan ke semua
petugas kesehatan. Selain itu kita juga butuh peran organisasi wanita, wanita
harus benar-benar terlibat dalam rangka menurunkan angka stunting,” tandasnya.
Gubernur instruksikan
Dinkes Kalbar libatkan organisasi wanita tekan angka stunting
Sementara Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji menegaskan
bahwa dalam rangka mensukseskan program-program kesehatan guna menciptakan
generasi penerus yang cerdas dan sehat di Kalimantan Barat, pelibatan peran
masyarakat khususnya organisasi wanita dinilai penting.
Oleh karenanya, Gubernur Sutarmidji menginstruksikan agar
jajaran Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tak hanya bersinergi dengan
OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait melainkan juga menjalin sinergitas
dengan organisasi-organisasi wanita di Kalbar.
“Menjalankan program kesehatan ini harus sinergi dengan
organisasi perempuan atau organisasi yang peduli tentang kesehatan, itu harus
dilibatkan terus. Saya yakin, capaiannya akan cepat jika ada sinergitas,”
ujarnya saat diwawancarai usai membuka seminar ‘pentingnya pemantauan tumbuh
kembang menuju generasi sehat Indonesia unggul’ yang digelar Dinas Kesehatan
Provinsi Kalbar di Hotel Mahkota Pontianak, Senin (25/11/2019).
Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura ini mengaku pesimis
jika program-program kesehatan dalam pelaksanaannya hanya melibatkan lintas OPD
antar provinsi dan kabupaten/kota tanpa bersinergi dengan organisasi wanita
seperti Persit, Bhayangkari, Tim Penggerak PKK, Gabungan Organisasi Wanita dan
sebagainya.
“Kalau hanya pemda dari provinsi dan kabupaten/kota tanpa
melibatkan ibu-ibu Persit, Bhayangkari dan sebagainya, itu jadi penghambat juga
untuk suatu percepatan, karena sinergitasnya tak jelas, sehingga capaiannya
juga tak jelas,” tukasnya.
Selain itu, dirinya juga menegaskan agar jajaran Dinas
Kesehatan membiasakan bekerja berdasarkan data dan mampu menganalisis data
sehingga kebijakan yang diambil dapat menyelesaikan suatu masalah.
“Ketika tidak tahu masalah dan tak mempunyai data, maka kita
tidak akan bisa mencapai progres yang baik di setiap kebijakan, akibatnya
kebijakan kadang dibuat secara asal,” tegasnya.
Berkaitan dengan pentingnya pemantauan tumbuh kembang anak,
Midji menegaskan bahwa kesehatan harus direncakan sejak usia kematangan
perwakinan, masa kehamilan, masa kelahiran anak hingga mencapai usia balita.
“Itu prosesnya harus dipantau dan diikuti. Misalnya K4
(Kontak minimal 4 kali selama masa kehamilan) ketika hamil dijalankan atau
tidak, kemudian setelah anak lahir, imunisasinya lengkap atau tidak, itu harus
terus dipantau,” tukasnya.
“Setelah balita, pendidikannya harus disiapkan, misalnya
Paud, TK dan sebagainya. Tahapannya harus seperti itu supaya tumbuh kembang
anak itu bagus dan menjadi generasi yang cerdas dan sehat,” timpalnya.
Pasalnya, kata Midji, jika banyak generasi yang tidak sehat maka akan menjadi beban bagi negara.
“Semakin banyak orang tak sehat, akan menjadi beban negara. Okelah ada BPJS, tapi itu kan subsidi pemerintah,” tandasnya. (Fai)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini