KalbarOnline, Pontianak – Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018, angka stunting atau masalah gizi kronis di Kalimantan Barat masih terbilang tinggi. Setidaknya tercatat angka rata-rata 33,3 persen. Angka ini lantas menempatkan Kalbar di urutan ke-27 se-nasional. Dari 14 kabupaten/kota se-Kalbar setidaknya terdapat tiga daerah dengan catatan angka stunting paling tinggi. Urutan pertama ditempati Kabupaten Ketapang dengan angka 42,7 persen, disusul Landak sebesar 42,0 persen dan Melawi 40,8 persen.
“Jadi kita itu berpatokan pada Riskesdas. Di tahun 2018 berdasarkan Riskesdas, stunting Kalbar itu sebesar 33,3 persen. Yang paling tinggi itu Ketapang, kemudian Landak selanjutnya Melawi,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar, Harisson saat diwawancarai awak media baru-baru ini.
Lain halnya dengan data e-PPGBM atau aplikasi pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat yang merupakan bagian dari Sigizi Terpadu yang dapat digunakan untuk mencatat data sasaran individu dan penimbangan atau pengukurannya yang dapat memberikan feedback (timbal balik) secara langsung status gizi sasaran tersebut. Berdasarkan data ini, kata Harisson, angka stunting di Kalbar justru terbilang rendah dari rerata nasional versi Riskesdas 2018. Hanya di angka 18,03 persen.
Namun data ini disebut dia, tak dapat disandingkan dengan data Riskesdas, pasalnya data dari e-PPGBM hanya berdasarkan pencatatan dan pelaporan kader posyandu. Sementara data Riskesdas yang digunakan Kementerian, dalam risetnya menerjunkan langsung tim dari Kementerian maupun ahli untuk melakukan riset dan survei ke daerah-daerah. Tentu dalam riset maupun survei, keduanya memiliki cara ukur yang berbeda.
“Intinya data e-PPGBM tak bisa disandingkan dengan Riskesdas. Kalau e-PPGBM ini diinput oleh kader posyandu yang ada di kecamatan-kecamatan. Kalau Riskesdas berdasarkan tim dari kementerian dan ahli yang turun langsung ke lapangan. Tentu ada perbedaan dalam cara mengukurnya. Kementerian juga berpatokan pada Riskesdas,” tegasnya.
Beberapa terobosan, kata Harisson, terus dilakukan pihaknya untuk menekan angka stunting, termasuk melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Kalbar. Namun, kata dia, sektor kesehatan itu hanya pada lingkup intervensi spesifik yang meliputi 1000 hari pertama kehidupan, memantau masa kehamilan mulai K1-K4, memantau gizi ibu hamil dan sebagainya.
“Jadi intervensi spesifik itu meliputi 1000 hari pertama kehidupan, mulai dari ibu hamil K1-K4-nya harus baik, ibu hamil gizinya harus baik, harus minum obat tambah darah, melahirkan harus di fasilitas kesehatan, didorong tenaga yang punya kompetensi persalinan yang baik, bayi harus diberikan ASI ekslusif (6 bulan), harus diimunisasi dasar lengkap, memberikan makanan yang bergizi pada anak-anak sampai umur dua tahun. Karena stunting ini sampai umur dua tahun saja, setelah itu tidak. Ini yang dilakukan Dinas Kesehatan. Tapi dari intervensi spesifik itu hanya mempengaruhi 30 persen terhadap stunting,” tukasnya.
Sementara 70 persen lainnya, kata dia, masuk dalam intervensi sensitif. Hal ini, ungkap Harisson, yang dilakukan sektor lain di luar Dinas Kesehatan.
“Intervensi sensitif ini meliputi air bersih, lingkungan yang sehat, ketahanan pangan, pertanian, peternakan dan lainnya. Penanganan stunting di daerah, sebenarnya leadernya adalah Bappeda. Kesehatan hanya di sektor intervensi spesifik (30 persen), sementara intervensi sensitif (70 persen) berdasarkan yang dilakukan OPD lain di luar kesehatan,” ungkapnya.
Dalam wawancarai itu, Harisson berpesan kepada para orang tua di Kalbar untuk benar-benar peduli terhadap tumbuh kembang anak termasuk 1000 hari kehidupan anak. Hal lain yang menjadi perhatian Harisson adalah posyandu. Di mana saat ini, posyandu hanya diisi dengan kegiatan imunisasi dan penyuluhan. Menurut dia, posyandu juga berperan penting untuk melatih ibu-ibu menyiapkan makanan bergizi untuk anak di rumah.
“Sekarang ini benar-benar harus peduli terhadap tumbuh kembang anak termasuk 1000 hari kehidupan anak. Sekarang untuk makanan bergizi, sebenarnya ibu-ibu di posyandu harus dilatih bagaimana memasak dan menyiapkan makanan bergizi untuk anak di rumah. Jadi posyandu bukan hanya diisi kegiatan imunisasi dan penyuluhan saja, tapi juga dilatih untuk menyiapkan makanan bergizi pada anak atau bayi, ini yang sekarang posyandu tak lakukan lagi. Ini akan kita gencarkan, harus demo memasak makanan bergizi. Saya sudah pesan ke semua petugas kesehatan. Selain itu kita juga butuh peran organisasi wanita, wanita harus benar-benar terlibat dalam rangka menurunkan angka stunting,” tandasnya.
Gubernur instruksikan Dinkes Kalbar libatkan organisasi wanita tekan angka stunting
Sementara Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji menegaskan bahwa dalam rangka mensukseskan program-program kesehatan guna menciptakan generasi penerus yang cerdas dan sehat di Kalimantan Barat, pelibatan peran masyarakat khususnya organisasi wanita dinilai penting.
Oleh karenanya, Gubernur Sutarmidji menginstruksikan agar jajaran Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tak hanya bersinergi dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait melainkan juga menjalin sinergitas dengan organisasi-organisasi wanita di Kalbar.
“Menjalankan program kesehatan ini harus sinergi dengan organisasi perempuan atau organisasi yang peduli tentang kesehatan, itu harus dilibatkan terus. Saya yakin, capaiannya akan cepat jika ada sinergitas,” ujarnya saat diwawancarai usai membuka seminar ‘pentingnya pemantauan tumbuh kembang menuju generasi sehat Indonesia unggul’ yang digelar Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar di Hotel Mahkota Pontianak, Senin (25/11/2019).
Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura ini mengaku pesimis jika program-program kesehatan dalam pelaksanaannya hanya melibatkan lintas OPD antar provinsi dan kabupaten/kota tanpa bersinergi dengan organisasi wanita seperti Persit, Bhayangkari, Tim Penggerak PKK, Gabungan Organisasi Wanita dan sebagainya.
“Kalau hanya pemda dari provinsi dan kabupaten/kota tanpa melibatkan ibu-ibu Persit, Bhayangkari dan sebagainya, itu jadi penghambat juga untuk suatu percepatan, karena sinergitasnya tak jelas, sehingga capaiannya juga tak jelas,” tukasnya.
Selain itu, dirinya juga menegaskan agar jajaran Dinas Kesehatan membiasakan bekerja berdasarkan data dan mampu menganalisis data sehingga kebijakan yang diambil dapat menyelesaikan suatu masalah.
“Ketika tidak tahu masalah dan tak mempunyai data, maka kita tidak akan bisa mencapai progres yang baik di setiap kebijakan, akibatnya kebijakan kadang dibuat secara asal,” tegasnya.
Berkaitan dengan pentingnya pemantauan tumbuh kembang anak, Midji menegaskan bahwa kesehatan harus direncakan sejak usia kematangan perwakinan, masa kehamilan, masa kelahiran anak hingga mencapai usia balita.
“Itu prosesnya harus dipantau dan diikuti. Misalnya K4 (Kontak minimal 4 kali selama masa kehamilan) ketika hamil dijalankan atau tidak, kemudian setelah anak lahir, imunisasinya lengkap atau tidak, itu harus terus dipantau,” tukasnya.
“Setelah balita, pendidikannya harus disiapkan, misalnya Paud, TK dan sebagainya. Tahapannya harus seperti itu supaya tumbuh kembang anak itu bagus dan menjadi generasi yang cerdas dan sehat,” timpalnya.
Pasalnya, kata Midji, jika banyak generasi yang tidak sehat maka akan menjadi beban bagi negara.
“Semakin banyak orang tak sehat, akan menjadi beban negara. Okelah ada BPJS, tapi itu kan subsidi pemerintah,” tandasnya. (Fai)
Comment