Pontianak    

Riskesdas 2018 : Tiga Kabupaten Ini Tempati Urutan Tertinggi Kasus Stunting di Kalbar

Oleh : Jauhari Fatria
Sabtu, 18 Januari 2020
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

KalbarOnline,

Pontianak – Berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018,

angka stunting atau masalah gizi kronis di Kalimantan Barat

masih terbilang tinggi. Setidaknya tercatat angka rata-rata 33,3 persen.

Angka ini lantas menempatkan Kalbar di urutan ke-27 se-nasional. Dari 14 kabupaten/kota

se-Kalbar setidaknya terdapat tiga daerah dengan catatan angka stunting paling

tinggi. Urutan pertama ditempati Kabupaten Ketapang dengan angka 42,7 persen,

disusul Landak sebesar 42,0 persen dan Melawi 40,8 persen.

“Jadi kita itu berpatokan pada Riskesdas. Di tahun 2018

berdasarkan Riskesdas, stunting Kalbar itu sebesar 33,3 persen. Yang paling

tinggi itu Ketapang, kemudian Landak selanjutnya Melawi,” ujar Kepala Dinas

Kesehatan Provinsi Kalbar, Harisson saat diwawancarai awak media baru-baru ini.

Lain halnya dengan data e-PPGBM atau aplikasi pencatatan dan

pelaporan gizi berbasis masyarakat yang merupakan bagian dari Sigizi Terpadu

yang dapat digunakan untuk mencatat data sasaran individu dan penimbangan atau

pengukurannya yang dapat memberikan feedback (timbal balik) secara langsung

status gizi sasaran tersebut. Berdasarkan data ini, kata Harisson, angka

stunting di Kalbar justru terbilang rendah dari rerata nasional versi Riskesdas

2018. Hanya di angka 18,03 persen.

Namun data ini disebut dia, tak dapat disandingkan dengan

data Riskesdas, pasalnya data dari e-PPGBM hanya berdasarkan pencatatan dan

pelaporan kader posyandu. Sementara data Riskesdas yang digunakan Kementerian,

dalam risetnya menerjunkan langsung tim dari Kementerian maupun ahli untuk

melakukan riset dan survei ke daerah-daerah. Tentu dalam riset maupun survei,

keduanya memiliki cara ukur yang berbeda.

“Intinya data e-PPGBM tak bisa disandingkan dengan Riskesdas.

Kalau e-PPGBM ini diinput oleh kader posyandu yang ada di kecamatan-kecamatan.

Kalau Riskesdas berdasarkan tim dari kementerian dan ahli yang turun langsung

ke lapangan. Tentu ada perbedaan dalam cara mengukurnya. Kementerian juga

berpatokan pada Riskesdas,” tegasnya.

Beberapa terobosan, kata Harisson, terus dilakukan pihaknya

untuk menekan angka stunting, termasuk melakukan koordinasi dengan Dinas

Kesehatan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Kalbar. Namun, kata dia, sektor

kesehatan itu hanya pada lingkup intervensi spesifik yang meliputi 1000 hari

pertama kehidupan, memantau masa kehamilan mulai K1-K4, memantau gizi ibu hamil

dan sebagainya.

“Jadi intervensi spesifik itu meliputi 1000 hari pertama

kehidupan, mulai dari ibu hamil K1-K4-nya harus baik, ibu hamil gizinya harus baik,

harus minum obat tambah darah, melahirkan harus di fasilitas kesehatan,

didorong tenaga yang punya kompetensi persalinan yang baik, bayi harus

diberikan ASI ekslusif (6 bulan), harus diimunisasi dasar lengkap, memberikan

makanan yang bergizi pada anak-anak sampai umur dua tahun. Karena stunting ini

sampai umur dua tahun saja, setelah itu tidak. Ini yang dilakukan Dinas Kesehatan.

Tapi dari intervensi spesifik itu hanya mempengaruhi 30 persen terhadap stunting,”

tukasnya.

Sementara 70 persen lainnya, kata dia, masuk dalam intervensi

sensitif. Hal ini, ungkap Harisson, yang dilakukan sektor lain di luar Dinas

Kesehatan.

“Intervensi sensitif ini meliputi air bersih, lingkungan

yang sehat, ketahanan pangan, pertanian, peternakan dan lainnya. Penanganan

stunting di daerah, sebenarnya leadernya adalah Bappeda. Kesehatan hanya di sektor

intervensi spesifik (30 persen), sementara intervensi sensitif (70 persen)

berdasarkan yang dilakukan OPD lain di luar kesehatan,” ungkapnya.

Dalam wawancarai itu, Harisson berpesan kepada para orang

tua di Kalbar untuk benar-benar peduli terhadap tumbuh kembang anak termasuk

1000 hari kehidupan anak. Hal lain yang menjadi perhatian Harisson adalah

posyandu. Di mana saat ini, posyandu hanya diisi dengan kegiatan imunisasi dan

penyuluhan. Menurut dia, posyandu juga berperan penting untuk melatih ibu-ibu

menyiapkan makanan bergizi untuk anak di rumah.

“Sekarang ini benar-benar harus peduli terhadap tumbuh

kembang anak termasuk 1000 hari kehidupan anak. Sekarang untuk makanan bergizi,

sebenarnya ibu-ibu di posyandu harus dilatih bagaimana memasak dan menyiapkan

makanan bergizi untuk anak di rumah. Jadi posyandu bukan hanya diisi kegiatan

imunisasi dan penyuluhan saja, tapi juga dilatih untuk menyiapkan makanan

bergizi pada anak atau bayi, ini yang sekarang posyandu tak lakukan lagi. Ini akan

kita gencarkan, harus demo memasak makanan bergizi. Saya sudah pesan ke semua

petugas kesehatan. Selain itu kita juga butuh peran organisasi wanita, wanita

harus benar-benar terlibat dalam rangka menurunkan angka stunting,” tandasnya.

Gubernur instruksikan

Dinkes Kalbar libatkan organisasi wanita tekan angka stunting

Sementara Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji menegaskan

bahwa dalam rangka mensukseskan program-program kesehatan guna menciptakan

generasi penerus yang cerdas dan sehat di Kalimantan Barat, pelibatan peran

masyarakat khususnya organisasi wanita dinilai penting.

Oleh karenanya, Gubernur Sutarmidji menginstruksikan agar

jajaran Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tak hanya bersinergi dengan

OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait melainkan juga menjalin sinergitas

dengan organisasi-organisasi wanita di Kalbar.

“Menjalankan program kesehatan ini harus sinergi dengan

organisasi perempuan atau organisasi yang peduli tentang kesehatan, itu harus

dilibatkan terus. Saya yakin, capaiannya akan cepat jika ada sinergitas,”

ujarnya saat diwawancarai usai membuka seminar ‘pentingnya pemantauan tumbuh

kembang menuju generasi sehat Indonesia unggul’ yang digelar Dinas Kesehatan

Provinsi Kalbar di Hotel Mahkota Pontianak, Senin (25/11/2019).

Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura ini mengaku pesimis

jika program-program kesehatan dalam pelaksanaannya hanya melibatkan lintas OPD

antar provinsi dan kabupaten/kota tanpa bersinergi dengan organisasi wanita

seperti Persit, Bhayangkari, Tim Penggerak PKK, Gabungan Organisasi Wanita dan

sebagainya.

“Kalau hanya pemda dari provinsi dan kabupaten/kota tanpa

melibatkan ibu-ibu Persit, Bhayangkari dan sebagainya, itu jadi penghambat juga

untuk suatu percepatan, karena sinergitasnya tak jelas, sehingga capaiannya

juga tak jelas,” tukasnya.

Selain itu, dirinya juga menegaskan agar jajaran Dinas

Kesehatan membiasakan bekerja berdasarkan data dan mampu menganalisis data

sehingga kebijakan yang diambil dapat menyelesaikan suatu masalah.

“Ketika tidak tahu masalah dan tak mempunyai data, maka kita

tidak akan bisa mencapai progres yang baik di setiap kebijakan, akibatnya

kebijakan kadang dibuat secara asal,” tegasnya.

Berkaitan dengan pentingnya pemantauan tumbuh kembang anak,

Midji menegaskan bahwa kesehatan harus direncakan sejak usia kematangan

perwakinan, masa kehamilan, masa kelahiran anak hingga mencapai usia balita.

“Itu prosesnya harus dipantau dan diikuti. Misalnya K4

(Kontak minimal 4 kali selama masa kehamilan) ketika hamil dijalankan atau

tidak, kemudian setelah anak lahir, imunisasinya lengkap atau tidak, itu harus

terus dipantau,” tukasnya.

“Setelah balita, pendidikannya harus disiapkan, misalnya

Paud, TK dan sebagainya. Tahapannya harus seperti itu supaya tumbuh kembang

anak itu bagus dan menjadi generasi yang cerdas dan sehat,” timpalnya.

Pasalnya, kata Midji, jika banyak generasi yang tidak sehat maka akan menjadi beban bagi negara.

“Semakin banyak orang tak sehat, akan menjadi beban negara. Okelah ada BPJS, tapi itu kan subsidi pemerintah,” tandasnya. (Fai)

Artikel Selanjutnya
Polisi Ungkap Kasus Ilegal Loging
Sabtu, 18 Januari 2020
Artikel Sebelumnya
Usung Jargon #AbangDesa, Mulyadi Siap Maju di Pilkada Sambas 2020
Sabtu, 18 Januari 2020

Berita terkait