Orang tua selalu khawatir saat bayinya kurus dan sulit naik berat badannya. Bagaimana saat mulai besar dan memasuki usia remaja? Ternyata remaja tidak selalu identik dengan tubuh gemuk dan segar, layaknya masa pertumbuhan. Banyak juga remaja yang kurus, apakah penyebab dan dampaknya buat masa depannya?
Hasil Riset Dasar Rumah Tangga (Riskesdas 2018) menunjukkan, 8,7% remaja usia 13-15 berada dalam kondisi kurus dan sangat kurus. Mereka ini adalah anak-anak yang duduk di bangkus SMP. Namun bagi yang sudah duduk di SMA angkanya sama saja. Sekitar 8,1% remaja usia 16-18 tahun juga memiliki badan kurus bahkan sangat kurus.
Remaja adalah calon orang tua dan seharusnya mulai sadar akan pentingnya gizi sebagai persiapannya menjadi orang tua. Saat ini stunting masih menjadi isu besar bagi bangsa Indonesia. Upaya menurunkan angka stunting terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak, pemerintah maupun swasta. Remaja adalah kelompok usia potensial yang bisa dilibatkan dalam berbagai program pencegahan stunting sejak dini.
Baca juga: Menciptakan Ruang yang Aman untuk Remaja
Penyebab Remaja Kurus dan Kurang Gizi
Hasil Global School Health Survey 2015 mengungkap alasan remaja memiliki masalah pada gizi. Salah satunya ditandai dengan angka anemia pada remaja yang tinggi dan tubuh yang sangat kurus. Sebanyak 62,2% ternyata tidak selalu sarapan, 93,6% kurang mengonsumsi serat dari sayur dan buah, 75,2% sering mengonsumsi makanan tidak sehat dan gurih (berpenyedap).
Dijelaskan Indiana Basitha, Program Advocacy and Communications Manager Tanoto Foundation, banyak yang menyangka isu stunting hanya untuk orangtua dan pasangan yang sudah menikah. Padahal sebenarnya stunting adalah sebuah siklus.
“Jika calon ibu punya asupan gizi kurang sejak remaja, maka ia berisiko punya anak kurang gizi dan si anak akan mencontoh pola makan ibunya dan terus berputar. Siklus (stunting) dimulai sejak remaja putri. Maka masalah stunting harus jadi awarenes sejak remaja,” jelas Basitha dalam seri webinar oleh Tanoto Foundation, “Saatnya Remaja Cegah Stunting”, Rabu (26/8).
Pengamat kesehatan dr. Reisa Broto Asmoro dalam kesempatan yang sama menjelaskan, anemia pada remaja tinggi karena asupan makanan yang tidak tepat. Misalnya karena tidak suka sayuran hijau sebagai salah satu sumber zat besi.
Menurut dr. Reisa, jika di masa remaja belum dapat ilmu tentang gizi, akan menyulitkan masa depannya saat harus membentuk keluarga. “Saat ini tidak ada ilmu parenting di sekolah. Paling hanya kesehatan reproduksi. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah memasukan ilmu ini di masa remaja yang sedang ingin tahu segala sesuatu, apalagi di masa pubertas. Kalau tidak punya pengetahuan, mereka tidak akan siap saat harus merawat anak.”
Edukasi di usia remaja, sejak usia 10-19 tahun adalah masa krusial. “Harus tepat informasinya. Apalagi Indonesia kebanyakan mitosnya yang belum tentu benar tapi lebih dipercaya. Takutnya info yang kurang tepat akan mereka bawa terus sampai nanti punya anak,” tambah dr. Reisa.
Baca juga: Pengetahuan Gizi Ibu Kurang, Memicu Kasus Malnutrisi
Melibatkan Remaja dalam Pencegahan Stunting
Melinda Mastan, salah satu penerima Tanoto Scholars angkatan 2017 menambahkan, penting untuk melibatkan remaja dalam penanggulangan stunting karena beberapa alasan. Pertama, remaja berada di garis depan dalam inovasi dan agen perubahan.
“Saat ini eranya diambil alih oleh anak muda. Banyak inovasi dikembangkan anak muda yang sudah memulainya sejak remaja. Dari merekalah inovasi lahir karena mereka masih memiliki semangat, idealisme, dan kreativitas tinggi,” jelas sarjana Gizi dari FKUI ini.
Oleh karena itu, remaja bisa menjadi pintu masuk untuk pengembangan program. “Remaja juga calon orang tua masa depan. Penelitian menyebutkan, status gizi ibu akan berpengaruh pada anaknya. Status gizi ibu ini sudah dibangun sejak mereka remaja, sehingga perilaku dan kebiasaan hidup yang sehat sudah harus dibangun sejak remaja,” tambahnya.
Edukasi juga perlu diberikan untuk mencegah pernikahan usia muda. Pernikahan usia muda adalah cikal bakal stunting karena orang tua tidak memiliki bekal ilmu pengasuhan anak dan gizi yang cukup. Menurut Riskesdas 2018, remaja yang menikah di bawah usia 16 tahun di Indonesia mencapai 15,66%, atau terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2017.
Basitha menambahkan, Tanoto Foundation sedang menjajaki program pencegahan stunting yang melibatkan remaja. Misalnya dengan kampanye dan edukasi stunting oleh remaja melalui sosial media.
Dr. Reisa berpesan, bahwa remaja yang tengah mencari identitas diri kadang memiliki panutan para idol yang sangat kurus. “Kita bisa mengajarkan pada mereka tentang berat badan dan tinggi badan ideal. Jangan mengikuti idolanya yang memang dituntut untuk kurus. Orangtua bisa menyediakan makanan sehat di rumah, mengatur porsi makan dan membatasi konsumsi gula garam lemak, dan menghindari junkfood. Jangan lupa aktivitas fisik rutin. Untuk remaja, berlatih gerakan Tik-Tok saja sudah bisa membakar kalori,” pungkasnya.
Baca juga: Perilaku Salah Berikut ini Memicu Kejadian Stunting Cukup Besar!
Sumber:
Seminar webinar Tanoto Foundation, “Saatnya Remaja Cegah Stunting”, Rabu (26/8).
Comment