KalbarOnline.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyesalkan soal tren hukuman koruptor yang masih terbilang ringan. Kondisi itu terjadi dalam periode semester I pada 2020. Berdasarkan catatan ICW pada Januari-Juni 2020, terdakwa korupsi rata-rata hanya dihukum tiga tahun pidana penjara.
“Tentu ini ironis sekali karena masuk dalam kategori hukuman ringan berdasarkan penilaian kami,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam diskusi daring, Minggu (11/10).
Kurnia menjelaskan, kategori hukuman ringan berkisar pada 0 tahun pidana hingga 4 tahun pidana penajara. Sementara itu, hukuman sedang berkisar antara 4 tahun hingga 10 tahun dan hukuman berat di atas 10 tahun penjara.
ICW mencatat, sepanjang semester I, periode 2020, terdapat 1.008 perkara korupsi dengan 1.043 terdakwa yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Menurutnya, pengadilan Tipikor atau pengadilan tingkat pertama menyidangkan 838 perkara korupsi dengan rata-rata hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa korupsi 2 tahun 11 bulan.
- Baca Juga: Vonis Koruptor Ringan, ICW: Ada Persoalan Serius di Pengadilan Tipikor
Pengadilan tinggi atau pengadilan tingkat banding mengadili 162 perkara dengan rata-rata hukuman 3 tahun 6 bulan, sedangkan Mahkamah Agung yang menangani kasasi dan Peninjauan Kembali mengadili delapan perkara dengan rata-rata hukuman 4 tahun 8 bulan.
Kendati demikian, Kurnia tak memungkiri rata-rata hukuman terdakwa korupsi pada semester I 2020 mengalami peningkatan dibanding rata-rata hukuman koruptor pada 2019 hanya 2 tahun 7 bulan. Namun, dengan rata-rata hukuman terdakwa korupsi pada semester I 2020 yang masih tergolong ringan, Kurnia pesimis hukuman tersebut menimbulkan efek jera terhadap pelaku korupsi
“Cita-cita untuk menciptakan Indonesia yang bebas dari korupsi pemberian efek jera yang maksimal rasanya masih sangat jauh akan bisa terealisasi kalau kita melihat data seperti ini,” ujar Kurnia.
Sementara itu, ICW juga mencatat pada semester I pada 2020, total kerugian negara sebesar Rp 39,2 triliun, sedangkan pidana tambahan uang pengganti hanya Rp 2,3 triliun. Jumlah uang pengganti tersebut, dinilai tidak sebanding dengan kerugian keuangan negara.
Oleh karena itu, Kurnia menyebut majelis hakim belum mempunyai visi yang sama dengan aparat penegak hukum dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku korupsi.
“Hal ini menunjukkan, majelis hakim belum memaknai bahwa kejahatan korupsi juga mencakup sebagai financial crime, yang mana penjatuhan hukuman pun mesti juga berorientasi pada nilai ekonomi,” pungkasnya.
Comment