KalbarOnline.com – Hubungan AS-Tiongkok memburuk tajam pada 2020, setelah tiga tahun terus menurun saat AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Beijing dan Washington saling menyalahkan atas pandemi virus Korona, perang dagang, perang teknologi bersaing memperebutkan jaringan 5G dan teknologi lainnya, dan bentrok mengenai pelanggaran hak di Xinjiang dan Hongkong, hingga perebutan kekuasaan di Laut China Selatan.
Mulai 2021, presiden terpilih AS Joe Biden harus bergulat dengan semua tantangan ini sejak hari pertama menjabat. Sebab dilansir dari Council On Foreign Relations (CFR), Selasa (22/12), peneliti dari China Studies Elizabeth C. Economy, mengatakan pemerintahan Biden akan memiliki kemewahan untuk memutuskan berapa banyak yang harus dipertahankan dari apa yang telah dibangun oleh tim Trump.
Beberapa keputusan, seperti apakah akan mempertahankan tarif atas barang-barang Tiongkok senilai USD 370 miliar, akan menjadi tantangan. Tarif tersebut telah merugikan ekonomi AS, tetapi juga memberikan pengaruh ekonomi Amerika Serikat. Pemerintahan Biden dinilai dapat merealisasikan beberapa kemenangan cepat dengan mengisi lubang menganga yang telah dibuat oleh tim Trump dengan meninggalkan sumber-sumber tradisional pengaruh dan pengaruh AS.
Bergabung kembali dengan institusi dan perjanjian internasional, bermitra dengan sekutu Eropa, memperkuat Amerika Serikat, dan merekonstruksi kerangka diplomatik AS-Tiongkok kemungkinan besar semuanya ada dalam agenda Biden.
Perang Dagang
Kondisi perang dagang antara Tiongkok dan AS juga membuat perusahaan asal AS yang berada di Tiongkok dilema. Iklim usaha di sana mengalami dampak atas ketegangan kedua negara. Perusahaan AS di Tiongkok merasa semakin pesimis dengan ketegangan perdagangan antara Washington dan Beijing.
Dilansir dari CNN, sekitar 92 persen responden dalam survei yang dirilis Rabu oleh Kamar Dagang Amerika di Shanghai mengatakan mereka berkomitmen untuk tetap berada di negara itu bahkan ketika hubungan AS-Tiongkok terus retak. Menurut temuan tersebut, lebih dari seperempat perusahaan AS yang disurvei mengatakan bahwa mereka memperkirakan ketegangan perdagangan AS-Tiongkok akan berlangsung tanpa batas waktu dibandingkan dengan sekitar 17 persen tahun lalu.
Sementara itu, sekitar seperlima responden mengatakan mereka memperkirakan ketegangan akan berlangsung selama 3 hingga 5 tahun dibandingkan dengan 13 persen pada 2019. Hanya sekitar 14 persen perusahaan yang mengatakan bahwa masalah tersebut akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Survei antara Juni dan Juli ini, hanya beberapa bulan setelah negara-negara tersebut mengumumkan perjanjian perdagangan awal. Survei tahunan dilakukan di antara 1.400 perusahaan yang menjadi anggota Kamar Dagang Amerika di Shanghai, sebuah organisasi nirlaba yang mengadvokasi perdagangan bebas dan bertujuan untuk mempromosikan hubungan komersial AS-Tiongkok.
Selama beberapa bulan terakhir, hubungan AS-Tiongkok telah tenggelam ke titik terendah dalam sejarah ketika negara-negara tersebut memperdebatkan serangkaian masalah yang berkembang. Dari asal-usul pandemi virus Korona hingga masalah hak asasi manusia di Hongkong dan Xinjiang hingga kendali atas teknologi.
Pada Juli, Trump mengakhiri hubungan perdagangan khusus Amerika Serikat dengan Hongkong, yang di masa lalu telah membebaskan kota itu dari tarif tertentu, di antara hak istimewa lainnya. Bulan itu, kedua negara juga memerintahkan penutupan konsulat mereka di Houston dan Chengdu. Washington juga memberi sanksi kepada pejabat pemerintah yang dituduhnya merusak otonomi Hongkong, termasuk pemimpin Carrie Lam. Sementara itu, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang mengancam akan melarang dua aplikasi populer milik Tiongkok, TikTok dan WeChat, untuk beroperasi di Amerika Serikat.
Sekitar 32 persen responden mengatakan bahwa hubungan AS-Tiongkok yang memburuk memengaruhi kemampuan mereka untuk mempertahankan staf. Beberapa bisnis juga mengatakan mereka akan menurunkan investasi di Tiongkok karena ketidakpastian tentang masalah perdagangan. Tetapi untuk meninggalkan negara itu, sebagian besar perusahaan masih merasa hal mustahil dilakukan. Meskipun Trump memerintahkan mereka untuk melakukannya tahun lalu.
Saling Tuduh Pandemi Covid-19
Asal mula munculnya virus Korona masih menjadi polemik. Virus jenis baru itu memang pertama kali muncul terdeteksi di Wuhan, Tiongkok, pada Desember 2019. Karena itu Amerika Serikat pun menyebutnya sebagai ‘Virus Wuhan’. Seorang pejabat Wuhan membantah bahwa Coronavirus sengaja dibuat di laboratorium seperti dilansir dari Mirror.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan tidak ada tanda Covid-19 yang dimanipulasi dari laboratorium. Mereka menambahkan semua bukti yang ada menunjukkan bahwa Coronavirus baru berasal dari kelelawar di Tiongkok akhir tahun lalu dan tidak dimanipulasi atau dibuat di laboratorium. Penegasan itu membantah tudingan AS.
Trump mengatakan pemerintahnya berusaha untuk menyelidiki apakah virus tersebut berasal dari laboratorium di Wuhan. “Semua bukti yang ada menunjukkan bahwa virus tersebut berasal dari hewan dan bukan merupakan virus yang dimanipulasi atau dikonstruksi di laboratorium atau di tempat lain,” kata Juru bicara WHO Fadela Chaib dalam jumpa pers di Jenewa saat itu.
“Mungkin saja, kemungkinan virusnya berasal dari hewan,” katanya. “Tidak jelas bagaimana virus itu melompati penghalang spesies pada manusia, tetapi pasti ada hewan inang perantara,” tambahnya.
Dalam laman The Guardian, Donald Trump pernah menggunakan bahasa rasis untuk menggambarkan pandemi virus Korona pada rapat umum kampanye di Tulsa, Oklahoma, dengan menyebut virus itu sebagai ‘kung flu’. Wabah Covid-19 dimulai di Wuhan.
Trump juga telah berulang kali mencoba menyebut Covid-19 sebagai ‘virus Wuhan’ yang telah memicu kemarahan. Sejumlah kelompok memperingatkan bahwa bahasa seperti itu dapat menginspirasi rasisme dan kekerasan terhadap Asia-Amerika.
“Saya bisa menyebutkan kung flu. Saya bisa menyebutkan 19 versi nama yang berbeda,” katanya disambut sorak-sorai pendukungnya saat itu.
WHO juga menyarankan agar ketentuan yang menghubungkan virus dengan Tiongkok untuk menghindari stigmatisasi. Trump bahkan sempat menangguhkan anggaran untuk WHO dan menyebutnya sebagai ‘boneka Tiongkok’.
Menurut Trump, WHO telah melakukan pekerjaan yang sangat menyedihkan dalam menangani virus Korona dan ida mengevaluasi tentang pendanaan AS untuk badan tersebut.
“Amerika Serikat membayar mereka USD 450 juta per tahun. Tiongkok membayar mereka USD 38 juta per tahun. Dan mereka (WHO) adalah boneka Tiongkok. Mereka (WHO) Tiongkok-sentris,” tukas Trump saat itu di Gedung Putih seperti dilansir dari AsiaOne.
Trump telah menangguhkan dana AS untuk WHO setelah menuduhnya terlalu Tiongkok-sentris. Dan pada saat yang sama mengkritik internasional terhadap Beijing yang dirasakan kurangnya transparansi pada tahap awal krisis.
Comment