KalbarOnline.com–Berdasar data yang dilansir dari bnpb.go.id pada 22 Desember, ada 2.894 kejadian bencana sepanjang 2020. Dari musibah itu, sebanyak 369 meninggal dunia, 533 luka-luka, dan 39 hilang. Selain itu, jutaan orang mengungsi akibat berbagai bencana di tanah air. Tidak itu saja, ribuan rumah rusak akibat sejumlah bencana itu. Mulai kerusakan berat, sedang, dan ringan. Begitu pun dengan fasilitas umum dan sosial seperti rumah sekolah, tempat ibadah, dan lainnya, juga rusak.
Pada umumnya bencana alam yang terjadi di Indonesia adalah peristiwa yang berulang. Contoh bencana yang rutin terjadi adalah bencana hidrometeorologi. Banjir, tanah longsor, dan lainnya. Tercatat seribu lebih musibah banjir dan 500 kejadian tanah longsor.
Apalagi, pada 2020 terdapat beberapa gunung api yang sedang erupsi. Di antaranya Gunung Sinabung (Sumut), Lewotolok (NTT), Semeru (Jatim), dan Gunung Merapi (Jogjakarta).
Di luar itu, satu bencana non alam yang bikin pusing seluruh negeri. Pandemi Covid-19.
Nah, di tengah-tengah itu semua datang kabar menggemparkan. Hasil riset dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyebutkan bahwa sepanjang daerah di pantai selatan Pulau Jawa berpotensi mengalami gempa megathrust yang disusul dengan tsunami besar. Bahkan disebut hingga mencapai ketinggian 20 meter.
Terkait hal itu, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, belum ada metode atau teori yang dapat memprediksi kapan suatu gempa akan terjadi. Adapun, hasil riset tersebut merupakan bentuk mitigasi jika suatu saat hal itu benar terjadi.
”Jadi memang dampak itu belum bisa diprediksi di awal. Sehingga, riset yang dilakukan ITB itu untuk kita lebih waspada dan antisipatif terhadap kemungkinan bencana tersebut,” terang Bambang dalam telekonferensi pers Risiko Tsunami di Selatan Jawa, pada Rabu (30/9).
Dia mengatakan, pihaknya bersama pemangku kepentingan terakhir akan terus berupaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan kewaspadaan di kalangan masyarakat. Di mana mitigasi tersebut diharapkan dapat meredam bencana itu sendiri.
”Tulisan penelitian ini lebih mengedepankan kita harus antisipatif, siap siaga, dan harus mengupayakan mitigasi bencana itu sendiri untuk menghindari lebih banyak korban dan kerugian. Kita ada di ring of fire, berarti memang daerah yang rentan terhadap gempa bumi, tsunami, gunung berapi,” terang Bambang.
Upaya yang dilakukan untuk mengedepankan mitigasi bencana, pertama pihaknya akan memberikan informasi pengetahuan dan tentunya segala macam sejarah mengenai potensi gempa yang bisa terjadi seiring dengan periode pengulangan gempa.
Bambang menambahkan, pengabaian informasi pada potensi bencana merupakan suatu kelalaian. Jika itu terjadi, otomatis bencana yang berpotensi terjadi akan memberikan dampak besar pada kehidupan masyarakat. Untuk itu, saat ini teknologi tengah dikembangkan dan telah menjadi bagian dari knowledge untuk bisa memitigasi bencana. Salah satu yang dilakukan adalah membuat sistem yang disebut sebagai INA-TEWS (Indonesian tsunami early warning system).
”Di sinilah pentingnya early warning system karena kita tidak tahu tidak bisa memprediksi di mana dan kapan terjadinya gempa dan tsunami, terutama tsunaminya,” tutur Bambang.
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment