KalbarOnline.com – Universitas Al Azhar Mesir melarang tegas keanggotaan persaudaraan Ikwanul Muslimin diikuti seluruh elemen Azhar. Untuk mendukung keengganan itu, pihak Al Azhar mengeluarkan fatwa melarang adanya keanggotaan kelompok yang disebut-sebut terlarang itu.
Fatwa tersebut mengikuti langkah dewan fatwa Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang menunjuk kelompok Islam itu sebagai kelompok diduga “organisasi teror”. Al Azhar, yang dianggap sebagai tempat belajar Islam Sunni tertua, menggambarkan kelompok itu sebagai “ekstremis”.
“Jelas bagi publik apa yang telah dilakukan kelompok-kelompok ini dalam mendistorsi beberapa teks, memotongnya dari konteks mereka, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan atau kepentingan pribadi dan merusak,” kata pusat fatwa Al Azhar dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari alaraby.co.uk, Kamis (24/12/2020).
“Keanggotaan dalam kelompok ekstremis ini dianggap dilarang oleh Syariah,” tambahnya.
Didirikan pada tahun 1928, Persaudaraan Ikhwanul Muslimin memantapkan dirinya pada pertengahan abad ke-20 sebagai gerakan oposisi utama di Mesir, serta di negara-negara lain di kawasan itu. Tetapi gerakan itu dihapuskan dari lanskap politik Mesir pada 2013, setelah masa jabatan singkat satu tahun oleh salah satu anggotanya Mohamed Morsi – presiden pertama yang dipilih secara demokratis dalam sejarah Mesir.
Morsi kemudian digulingkan dalam kudeta oleh tentara pada 2013, dan sejak itu ratusan anggota Ikhwan telah menghadapi persidangan massal terkait dengan dugaan kekerasan atau penghasutan. Morsi, yang ditahan sejak kudeta, meninggal dalam sidang pengadilan pada Juni 2019. Menurut kelompok hak asasi, lebih dari 800 pendukung Ikhwanul Muslimin tewas dalam satu hari pada Agustus 2013 selama demonstrasi di ibu kota.
Kairo memasukkan Ikhwan ke dalam daftar hitam sebagai organisasi “teroris” pada 2013, tetapi kelompok Islam itu secara konsisten menyangkal kaitannya dengan kekerasan.
Fatwa Al Azhar tentang Ikhwanul muncul di tengah apa yang digambarkan oleh para pengamat sebagai serangan berkelanjutan terhadap kemerdekaan lembaga keagamaan oleh pemerintah Mesir.
Serangan terkoordinasi terhadap Ikhwanul Muslimin telah dikecam secara luas, termasuk dalam sebuah pernyataan oleh para cendekiawan Islam global yang meminta Riyadh untuk mempertimbangkan kembali penunjukannya.
Kelompok yang terdiri dari 18 asosiasi sarjana Muslim menyerukan persatuan di antara umat Islam dan mengatakan wacana ulama tidak boleh dipolitisasi, Arabi21 melaporkan pada November.
Dalam pernyataan bersama, asosiasi ulama dari Sudan, Libya, Lebanon, Palestina dan negara lain mendukung Ikhwanul Muslimin sebagai “pembela” Islam.
“Ikhwanul Muslimin adalah kelompok misionaris … termasuk sejumlah besar ulama, penceramah dan mujahidin telah bergabung dalam upaya untuk membela doktrin Islam dan Syariahnya,” kata asosiasi tersebut.
Talat Fehmi, juru bicara Ikhwanul Muslimin, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa organisasi tersebut menyangkal semua tuduhan yang dibuat oleh dewan tersebut.
Arab Saudi Pecat 100 Imam
Sebelumnya, Menteri Urusan Islam Arab Saudi pada Selasa mengkonfirmasi bahwa para imam baru-baru ini dipecat oleh pihak berwenang karena mengabaikan arahan untuk memperingatkan warga terhadap Ikhwanul Muslimin.
Berbicara kepada penyiar milik negara Al Arabiya, Abdullatif bin Abdulaziz al-Sheikh mengatakan tindakan hukuman itu menyoroti pentingnya mengikuti arahan pemerintah.
“Laporan tentang beberapa imam yang dipecat itu benar. Ini karena kegagalan mereka dalam melaksanakan arahan kementerian dalam menerbitkan pernyataan dari Dewan Cendekiawan Agama Senior yang berkomentar dan menjelaskan kepada orang-orang tentang bahaya dari kelompok teroris Ikhwanul Muslimin,” kata al-Sheikh.
“Tidak diragukan lagi bahwa pemberhentian mereka bukan berarti mereka berasal dari Ikhwanul Muslimin atau pendukung ideologi ini, melainkan merupakan prosedur peraturan kementerian bagi mereka yang tidak melaksanakan arahan atau lambat dalam melaksanakannya akan ditiadakan. dan digantikan oleh yang siap dan yang memenuhi syarat, ” imbuhnya. [ind]
Comment