Pengamat Nilai Kejaksaan Terlalu Genit Terkait Pengadaan Ambulans
KalbarOnline, Pontianak – Pengamat Hukum Herman Hofi Munawar menilai, kejaksaan terlalu ‘genit’ dalam menyikapi dugaan penyimpangan pengadaan 12 ambulans oleh Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar.
Hal ini menurutnya bisa membuat pemerintah daerah takut dalam membelanjakan anggaran, dan bisa berdampak pada serapan anggaran yang rendah.
“Kami mengapresiasi sikap Jaksa dengan cepat, tetapi dalam konteks ini terlalu genitlah,” katanya, Kamis, 14 Oktober 2021.
Soal serapan anggaran lanjut dia, beberapa kepala daerah termasuk Gubernur Kalbar, bahkan sempat ditegur oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Itu karena serapan anggaran penanganan Covid-19 yang rendah.
“Salah satu kekhawatiran kepala daerah dan kepala dinas (untuk membelanjakan anggaran) yakni terjadi hal seperti ini,” katanya.
Mengenai pengadaan ambulans di Dinas Kesehatan Kalbar itu, ia menilai prosesnya tentu sudah melalui tahapan konsultasi kepada pihak-pihak terkait.
Lalu ketika ada dugaan pengurangan spesifikasi di dalam ambulans tersebut, menurutnya bisa saja terjadi. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana melihat pengurangan tersebut berdampak negatif atau tidak terhadap keuangan negara.
“Jadi pagu yang ada berapa, nilainya (barang) berapa, kemudian dengan dikurangi spesifikasi tersebut seperti apa anggaran tersebut. Pengurangan itu bisa saja karena harga yang naik secara spontan karena kondisi ekonomi yang labil. Sehingga tidak memungkinkan sesuai dengan ketentuan,” ujar mantan Anggota DPRD Kota Pontianak itu.
Selain itu, kata dia, dalam setiap proyek pengadaan, tentu ada berita acara dan ketentuan khusus. Sementara untuk mengetahui rugi tidaknya negara, maka harus melalui auditor. Karena itu ia menyarankan kejaksaan meminta BPK melakukan audit dalam hal ini.
“Jika misalnya pagu 10 lalu karena pengurangan spesifikasi tersebut ternyata tinggal delapan atau sembilan. Lalu dicari sisanya, jika masuk kas negara maka akan selesai urusannya. Jadi, sepanjang tidak ada kerugian negara maka tidak akan menjadi persoalan. Jika hanya masalah administrasi dan prosedural masih bisa dibicarakan. Jadi dilihat faktor-faktor penyebabnya,” katanya.
Kunci terpenting dijelaskan dia adalah ada atau tidaknya kerugian negara. Karena untuk menentukan terjadinya korupsi harus ada kerugian negara atau perbuatan memperkaya pribadi dan orang lain. Jika masih di tahap klarifikasi seperti sekarang, menurutnya cukup dilakukan komunikasi yang baik.
“Kejaksaan ini kan cukup bagus komunikasi dengan pemerintah daerah, ditanyakan dululah baik-baik, kegenitan seperti ini bisa membuat kepala dinas dan kepala daerah akan lamban dalam penyerapan anggaran,” katanya.
Dalam hal ini, ia merasa bukan berarti harus mengabaikan penegakan hukum. Akan tetapi mekanisme, pola dan metodologi yang digunakan dalam penegakan hukum tersebut harus pas. Dengan demikian tidak akan menimbulkan dampak-dampak negatif lebih luas.
“Sebab ini akan menimbulkan dampak-dampak yang besar, karena semua orang akan takut untuk menggunakan anggaran. Nanti belum apa-apa sudah dinyatakan menjadi tersangka dan kerugian negara. Padahal yang memiliki kewenangan untuk menentukan kerugian negara adalah BPK. BPK menjadi pintu masuk untuk menyatakan adanya kerugian negara atau tidak,” jelasnya.
Terkait proses pengadaan yang melalui penunjukan langsung, dijelaskan Herman, sudah diatur dalam Keputusan Presiden (Kepres) bahwa ketika anggaran di atas Rp200 juta maka mesti melalui tender. Tapi hal tersebut hanya berlaku dalam kondisi normal.
Sementara dalam kondisi tidak normal di tengah pandemi dan meningginya kasus Covid-19, maka tidak mungkin dilakukan dengan pola yang sama.
Jika dilakukan masih sama dengan kondisi normal, sementara kebutuhan akan barang tersebut mendesak, tentu memerlukan waktu yang cukup lama.
“Saya pikir penunjukan langsung dibenarkan secara hukum. Dalam hukum tata negara ada yang disebut dengan freies Ermessen. Yakni kesempatan yang diberikan kepada kepala daerah, dinas terkait dan lembaga-lembaga untuk mengambil kebijakan tertentu dalam kondisi terpaksa,” jelasnya.
Jangankan undang-undang biasa, Herman lantas mengutip pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, bahwa konstitusi saja bisa dilanggar ketika memang kondisi memaksa untuk kepentingan masyarakat atau harus segera. Oleh sebab itu terkait dengan penunjukan langsung secara aturan hukum ia memastikan hal itu dibenarkan.
“Saya memberikan apresiasi kepada Gubernur yang mau pasang badan untuk mengatakan ini (penunjukkan langsung) atas perintahnya. Hal ini jarang ditemukan, kepala daerah yang berani mengatakan atas perintah kepala daerah,” tutupnya.(Fat)
Comment