Kota Pontianak dapat jadi contoh baik kolaborasi pemerintah dan komunitas dalam pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus. Keduanya saling isi hingga menjadikan terapi dan pendidikan sebagai sebuah gerakan bersama. Jauhari dari Kalbar Online merekam aktivitas Rumah Sayang Anak Pontianak, dalam sebuah reportase berikut ini :
Tangan Delvia Tjhai (12) sedang sibuk memindahkan balok susun ketika saya datang ke UPTD Layanan Anak Disabilitas dan Asesmen Center (LDAC) Pontianak, Senin (6/12/2021). Pandangannya mengedar kanan-kiri. Mencoba mencari lubang yang pas untuk balok-balok kayu berbentuk beragam yang ada di hadapan.
“Di sini, ayo dipasin,” kata Twinna, sang terapis sembari mengarahkan tangan Delvia Tjhai ke lubang yang benar.
Setelah lolos balok kubus dan segitiga, balok berbentuk lingkaran kerap lepas dari tangannya. Ibunya, Liu Jan Kian (53), menyemangati dengan suara. Bicara perlahan, tepat di sisi kanan.
“Yang kuning, Sayang, pinter,” ucapnya.
Delvia Tjhai divonis cerebral palsy atau lumpuh otak di usia tujuh tahun. Dia sempat mengenyam pendidikan hingga kelas dua sekolah dasar. Namun lantaran penyakitnya itu, kini aktivitas kesehariannya terganggu.
Dalam seminggu, Delvia Tjhai empat kali berkunjung ke UPTD LDAC Pontianak di Jalan Tabrani Ahmad, Pontianak Barat yang berjarak lima kilometer dari rumahnya di Pontinak Kota. Kurang lebih 20 menit berkendara motor. Setiap kali terapi, makan waktu satu jam dengan layanan terapi terpadu–satu anak satu terapis di satu ruangan–dengan tambahan terapi di hari Selasa.
Semua layanan yang dirasakan Delvia Tjhai gratis. Dibiayai setahun penuh lewat APBD Pemkot Pontianak. Namun, setelahnya, Delvia harus gantian dengan 70 anak lain yang masuk daftar tunggu. Jumlah terapis dan panjangnya daftar antrean memang menjadi kendala pemenuhan hak kesehatan dan pendidikan anak berkebutuhan khusus milik pemerintah di Pontianak.
Terapi dan pendidikan lanjutan, kembali berada di tangan orang tua, meski UPT LDAC Pontianak tetap memantau perkembangan mereka lewat program terapi di rumah. Jika harus terapi mandiri, tentu berbiaya mahal. Sulit bagi keluarga Liu Jan Kian yang hanya mengandalkan bengkel di depan rumah sebagai sumber pendapatan.
Hal itulah yang mendorong lahirnya Rumah Autis Sayang Pontianak, 11 Januari 2019 lalu. Anak-anak yang telah menjalani terapi di UPT LDAC Pontianak, dapat melanjutkan pendidikannya di ruang bersama berbasis komunitas tersebut.
Salah satunya sudah dirasakan Fadil Sapta Pamungkas (8). Fadil melanjutkan terapinya di Rumah Autis Sayang Pontianak (RASP) sejak dua tahun terakhir. Kemajuan pesat yang dirasakan di UPT LDAC makin terasah.
“Anak saya ini down syndrome. Anak saya ini tenang, mengerti, kalau di foto itu sudah mengertilah, tidak lari sana-sini. Saya ibu rumah tangga, bapaknya Fadil ini sopir, karena pandemi sudah jarang panggilan bawa mobil untuk ke luar kota,” cerita ibu Fadil, Desi Rahmawati (47) beberapa waktu lalu.
Desi tahu keberadaan RASP dari istri Budiman Very. Sesama orang tua yang anaknya mendapatkan layanan terapi di UPT LDAC Pontianak. Budiman Very sendiri merupakan salah satu motor pendiri RASP.
“Anak saya juga pernah terapi di Pak Benceng, itu bayarnya sekitar Rp450 ribu per bulan, itu pertemuannya seminggu tiga kali. Sekali pertemuan satu jam,” kisahnya.
Fadil kian mandiri. Mulai dari minum, sikat gigi hingga buang air besar, semua dilakukan sendiri. Banyak perubahan yang dirasakan lewat terapi berkelanjutan tersebut. Tentu didukung dengan pelatihan di rumah oleh orang tua.
“Anak-anak berkebutuhan khusus ini kan tidak bisa kita targetkan perkembangannya sampai kapan. Harapan untuk pendidikan anak saya sendiri, ya minimal dia bisa baca tulis walaupun tidak pintar benar, setidaknya dia mengerti dan mandiri,” katanya.
Richie Oceano (9), anak berkebutuhan khusus selain Fadil juga merasakan hal sama. Sejak dua bulan terakhir, Richie yang didiagnosa autis dan hyperaktif terapi rutin di RASP.
“Adik saya ini kalau disuruh belajar mau, tapi ada waktunya bosan, jadi mau melakukan hal lain lagi,” cerita Kartono, abang Richie.
Awalnya, Richie menjalani terapi di salah satu apotek swasta. Harus keluar biaya tiap pertemuan. Namun dalam suatu acara, mereka mendengar tentang Rumah Autis Sayang Pontianak. Setelah mempelajari dan coba daftar, ternyata diterima.
“Pelayanan di Rumah Autis Sayang Pontianak ini memang bagus, menerima semuanya, tidak ada sekat-sekat. Selain gratis, terapinya juga sesuai,” katanya.
Siti Gusliza (37) pun merasakan anaknya mendapat terapi tanpa diskriminasi. Karena selalu menemani anaknya terapi, dia punya banyak teman dari beragam etnis dan agama. Saling tukar cerita dan pengalaman membesarkan anak berkebutuhan khusus.
“Dua tahun anak menjalani terapi di sini, sepengetahuan saya tidak ada yang dibedakan. Karena fokus utama RASP ini kan melakukan terapi pada anak-anak berkebutuhan,” kata ibu dari Muhammad Dharil Almutazam (7) ini.
Muhammad Dharil Almutazam sendiri mengalami speak delay. Setelah asesmen dan terapi di UPT LDAC, dia disarankan melanjutkan terapi di RASP.
“Jujur, selama terapi di RASP ini banyak perubahan yang dialami anak saya. Bersyukur juga kita sebagai orang tua, dia bisa mandiri,” sebutnya.
Siti berharap, RASP memperpanjang jam pertemuan. Lebih dari dua kali dalam seminggu. Namun dia sadar, ada kendala kekurangan tenaga terapis di ruang komunitas tersebut.
Untuk Semua Golongan
Sebagaimana UPT Layanan Disabilitas dan Asesmen Center (LDAC), kehadiran Rumah Autis Sayang Pontianak juga untuk semua golongan. Siapa saja bisa masuk, namun memang pertimbangan utama bagi keluarga kurang mampu. Semuanya diberikan gratis.
“Gratis dan untuk semua golongan, baik dia muslim ataupun non muslim, terapi yang kita berikan tetap sama, tidak beda perlakuan. Kan tujuan utama kita itu memberikan terapi pada anak tidak mampu,” kata terapis RASP, Lola Prianti (24).
Di Kota Pontianak, rata-rata biaya terapi Rp100 ribu per jam. Sedang terapi anak berkebutuhanan harus berkelanjutan. Tak bisa sekali langsung dapat hasil.
“Kalau orang tidak berkecukupan tentu berat kalau terapi berbayar,” katanya.
Lola Prianti bercerita, seperti di UPT LDAC, RASP juga menerapkan sistem terpadu; satu anak satu terapis dalam satu kelas dengan waktu terapi satu jam. Dalam seminggu, tiap anak dapat jatah dua kali pertemuan. Kondisi belajar juga menyesuaikan tipe anak. Apa yang harus diberikan berdasarkan hasil asesmen.
“Saya bergabung di RASP ini sekitar tahun 2019. Pertama itu tertarik karena RASP mencari relawan, kebetulan saya memang aktif di kegiatan kerelawanan,” katanya.
Alumni keperawatan Universitas Tanjungpura Pontianak ini pun jatuh hati dengan anak-anak. Apalagi setelah dua tahun di RASP. Banyak hal yang tak terlupakan. Di antaranya ketika bisa melihat perkembangan anak. Dari yang selalu mengamuk, jadi anteng ketika belajar. Mengikuti terapi dan komunikasi yang makin baik.
“Di masa kuliah itu ada diajarkan juga terapi bermain pada anak-anak, kemudian belajar juga dengan terapis senior di RASP ini, belajar dari jurnal dan Youtube juga,” katanya.
Kendala Pemerintah
UPT Layanan Disabilitas dan Asesmen Center (LDAC) Pontianak diresmikan 23 November 2014. Mulai beroperasi tahun 2015, gedung berlantai dua ini, memiliki 12 ruang terapi. Di antaranya ruang terapi bermain, fisioterapi, sensory integritas, audio visual, ruang baca dan bercerita, terapi bina diri, ruang screening, terapi emosi, terapi wicara, terapi okupasi dan terapi perilaku.
“Sebelum menjalani terapi, terlebih dahulu dilakukan screaning terhadap anak. Tujuannya menentukan apakah anak tersebut menyandang autis atau gangguan lainnya,” jelas Kepala UPT LDAC Pontianak, Ismi Ardhini.
Sejak mulai beroperasi, sudah 400 anak dilayani. Tahun ini, jumlahnya 50 anak. Mereka menjalani terapi terpadu atau satu anak satu terapis di setiap kelas. Sepuluh anak yang dianggap menunjukan perkembangan yang signifikan, akan dimasukan ke dalam kelas transisi atau persiapan sebelum anak masuk ke sekolah di tingkat yang lebih tinggi.
“Di kelas transisi itu ada dua kelas. Terdiri dari lima anak dengan dua orang tenaga pendidikan di dalam satu kelas,” katanya.
Selain layanan terapi, anak-anak juga disiapkan untuk masuk ke sekolah inklusi. Jenjang yang lebih tinggi dan mendapat pendidikan formal. Namun hingga kini, UPT LDAC Pontianak hanya memiliki 11 terapis. Sedang daftar tunggu sudah mencapai 70 anak di tahun 2022.
“PR kami adalah anak-anak yang sudah berkembang. Karena setelah menjalani terapi di UPT LDAC selama kurang lebih 10 bulan, setelahnya mereka bagaimana? Karena kadang ada juga anak yang perkembangannya tidak terlalu pesat selama terapi, itu PR kami juga,” ungkapnya.
Jadi kembali lagi ke orang tua, makanya kami berikan home program atau program untuk di rumah, baik anak itu dilatih di rumah atau diterapi di tempat lain, namun tetap dalam pantauan kami melihat bagaimana perkembangan anak,” sambungnya.
Di sisi lain, Ismi melihat, tingginya animo masyarakat mendaftarkan anak berkebutuhan khusus sebagai berkah. Mereka sudah tak menutup diri. Akan tetapi, tidak sedikit orang tua yang belum bisa menerima kondisi anaknya. Mengubah pemikiran ini juga butuh waktu. Hal in penting karena berpengaruh ke tumbuh kembang anak.
“Kadang ada orang tua yang belum bisa menerima kondisi anaknya, ya sudah yang penting diterapi saja, tidak ada urusan lain. Padahal di tempat kami itu selain fokus pada anak, juga pada orang tua. Mereka juga harus melatih anaknya juga di rumah,” terangnya.
Selain edukasi langsung ketika terapi anak, orang tua juga mendapat kelas parenting. Mereka diberi pemahaman dan pengetahuan untuk ambil bagian mendukung tumbuh kembang anak. Tidak sedikit yang justru malah berkontribusi nyata bagi anak lainnya. Misalnya, Rumah Autis Sayang Pontianak yang didirikan oleh para orang tua yang sebagian besar anaknya merupakan alumni UPT LDAC Pontianak.
Lahirnya Rumah Autis Sayang Pontianak
Selain berasal dari para orang tua alumni UPT LDAC Pontianak, para pendiri Rumah Autis Sayang Pontianak adalah mereka yang konsen dengan aktivisme sosial. Bergiat di komunitas ASN Kalbar Peduli dan Peduli Kasih Anak Kalimantan, mereka membuat gerakan Sayang Pontianak yang berfokus ke anak yatim piatu yang tidak tinggal di panti asuhan. Namun diasuh keluarga terdekat mereka.
“Ada beberapa anak binaan kami yang berkebutuhan khusus, dan rata-rata tidak menjalani terapi. Utamanya karena masalah biaya, kemudian jauhnya jarak lokasi rumah mereka ke tempat terapi gratis milik pemerintah (UPT LDAC), dan keterbatasan lainnya,” cerita salah satu pendiri Rumah Autis Sayang Pontianak (RASP), Rita Hastarita.
RASP pertama kali berdiri di Gang Agung, Pontianak Barat, 11 Januari 2019 dan melayani enam anak berkebutuhan khusus. Belakangan, jumlahnya bertambah menjadi empat lokasi; di Jalan Ampera, Pontianak Kota; di Terentang, Kubu Raya, dan; di Jalan Parit Haji Muksin, Kubu Raya. Alasannya karena banyaknya peminat, dan usaha mendekatkan jarak ke rumah anak.
Berbeda dari UPT LDAC yang memberikan terapi paling lama setahun karena ramainya antrean, RASP tidak memberikan batasan waktu, selama operasional mendukung. Mereka yang dilayani pun, sebagian besar merupakan alumni UPT LDAC Pontianak.
Dari total empat lokasi RASP, setidaknya sudah 30 anak mendapatkan layanan. Jumlah terapis mereka pun terus meningkat dari yang awalnya hanya enam orang. Mereka berasal dari mahasiswa keperawatan yang sudah dilatih dan memiliki sertifikat. Beberapa malah pernah magang di UPT LDAC Pontianak.
“Jujur, kami hampir bangkrut. 2020 awal kami sudah mau tutup, karena tidak ada anggaran. 2019 itu murni donasi dari masyarakat, 2020 selain masyarakat itu akhirnya ada bantuan dari Bank Kalbar, ASN, dan sebagainya, makanya kami bisa terima banyak anak,” jelas Rita.
“Di 2022 ini kami harap peran pemerintah, kita sudah ajukan ke Wali Kota dan Gubernur, alhamdulillah dapat dukungan positif. Jadi kami ingin semua pihak terlibat, supaya RASP ini dimiliki semua orang,” tambahnya.
Perkara bangkrut itu bukan tanpa sebab. Meski relawan, pengurus berupaya memberi upah layak bagi para terapis. Mereka dibayar sesuai pertemuan, yang bila ditotal per bulan, angkanya di atas UMR Provinsi Kalimantan Barat. RSAP paham betapa sulitnya mempelajari ilmu tersebut.
“Jujur upah itu menurut kami masih murah, harusnya memang di atas itu. Walau dari awal sudah kami bilang minta kerelawanan mereka. Tapi hak kami penuhi, misalnya cuti. Tetap kami berikan upah walaupun tidak penuh,” jelasnya.
Selain upah para terapis, setiap bulan anak-anak di RASP mendapat bantuan gizi dari Rumah Zakat. Pasalnya, sebagian besar berasal dari keluarga kurang mampu.
Kebutuhan operasional RASP berasal dari donasi masyarakat, ASN, korporasi dan sebagainya. Sarana dan prasarana untuk terapi, kadang berasal dari kocek pribadi. Tak jarang ada pula donasi buku, mainan, dan alat penunjang lain dari masyarakat.
“Setiap bulan operasional kami itu sekitar Rp10 juta lebih. Biaya terbesar kami di terapis, karena tidak mungkin gratis. Mereka ini perawat terlatih. Kami tidak mau sembarangan juga. Mentang-mentang gratis, terapisnya tidak terlatih. Karena harapannya anak-anak berkebutuhan ini minimal bisa mandiri, bisa pakai pakaian sendiri, bisa buang air di toilet sendiri, bisa baca tulis, sebagian anak sudah bisa baca tulis,” jelasnnya.
Kolaborasi UPT LDAC dan RASP pun berjalan baik. Biasanya, anak-anak yang melanjutkan terapi di RASP mendapat rekomendasi dari UPT LDAC. Terapis di RASP pun binaan dari UPT LDAC. Mereka diberi pengembangan kemampuan lewat pelatihan. Pelibatan di agenda-agenda pemerintah juga dilakukan.
Rita berharap, RASP bisa hadir di banyak tempat dan anggaran terus tercukupi. Keinginan mereka menambah terapis memang terkendala hal tersebut. Jika terpenuhi, akan lebih banyak anak yang diterapi.
“Ada juga cita-cita kami itu bukan hanya anak-anak yang diedukasi, tapi juga orang tuanya. Minimal dalam satu tahun itu ada dua kegiatan rutin. Seperti penataran atau seminar parenting. Karena biayanya di swasta itu mahal,” jelasnya.
Apalagi ada banyak hal yang perlu diperhatikan orang tua terkait tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus. Salah satunya urusan asupan. Tidak sembarang sayuran boleh dimakan.
“Karena anak-anak berkebutuhan ini tidak bisa sekali terapi, harus berkelanjutan. Itulah yang mendasari kami. Karena punya pemerintah itu kan terbatas juga. Di luar pemerintah itu mungkin hanya kami yang gratis,” katanya. (*)
Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.
Comment