KalbarOnline, Pontianak – Walhi mendesak kepada Kapolri, Jenderal Sigit Prasetyo, Komnas HAM maupun Ombudsman RI untuk mengusut tuntas kasus penembakan warga sipil oleh personel Brimob di Dusun Mambuk, Desa Segar Wangi, Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Sabtu (28/05/2020) kemarin.
Walhi Kalbar menilai, langkah pendekatan penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi itu telah melukai rasa kemanusiaan dan keadilan. Warga yang seharusnya dilindungi dan diayomi, justru menjadi korban tindak kekerasan aparat.
“Karenanya, kami mengecam tindak kekerasan yang dialami warga tersebut, juga minta agar Kapolri dan lembaga negara lainnya seperti Komnas HAM maupun Ombudsman RI dapat melakukan langkah segera sesuai kewenangannya untuk pengungkapan kasus ini” tegas Kadiv Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, melalui keterangan persnya yang diterima redaksi, Minggu (29/05/2022).
Adam menyebut, pendekatan hukum dengan cara-cara kekerasan, apalagi sampai berujung pada penembakan warga sipil oleh aparatur negara, sangat tidak dibenarkan dan diinginkan.
Karena dengan kejadin ini, menurutnya, pihak kepolisian justru terkesan bukan malah melayani, mengayomi dan melindungi sebagaimana Peraturan Kapolri (Perkap) 22 Tahun 2010, tapi sebaliknya. Sementara, Satuan Brigade Mobil (Satbrimob) adalah unsur pelaksana tugas pokok pada tingkat Polda yang berada di bawah Kapolda.
“Langkah pendekatan keamanan yang dilakukan pihak perusahaan ini jelas menjadi ancaman dan berpotensi merenggut hak hidup maupun hak rasa aman warga, hak yang seharusnya menjadi kewajiban asasi negara melalui aparatur untuk pemenuhannya,” jelas Adam.
Adapun terkait tindak pengamanan perkebunan sawit PT Arthu Plantation, anak perusahaan group PT Eagle High Plantation oleh personel brimob mestinya tidak terjadi, karena hal ini aneh dan tidak lazim menurut aturan. Berdasarkan Perkap 24 tahun 2007 tentang manajemen sistem pengamanan organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah jelas telah ada, yaitu satuan pengamanan (Satpam). Jika pengamanan kebun sawit perusahaan justru dilakukan oleh personel brimob, maka hal ini malah tidak sejalan dengan peraturan Kapolri dimaksud.
“Kami meminta agar pihak kepolisian Kalimantan Barat juga dapat memberikan klarifikasi secara terbuka kepada publik atas tindak pengamanan perusahaan sawit oleh personil brimob dan bertanggungjawab memastikan keselamatan warga Desa Segar Wangi, kabupaten Ketapang yang menjadi korban tindak kekerasan,” pinta Adam.
Jika dicermati, kejadian tersebut hanyalah bagian permukaan yang tampak dari sengkarut agraria yang terjadi sekitar operasional perusahaan dalam relasinya dengan hak-hak warga sekitar.
“Sebab jika benar bahwa pemanenan dilakukan warga atas dasar sertifikat yang dimiliki sebagaimana berita dan juga informasi yang kami peroleh namun perusahaan mengklaim sebagai GHU-nya, maka berarti ada yang salah terkait dengan proses operasional perusahaan sawit dari sisi administrasi maupun terkait proses sosialnya selama ini,” katanya.
“Sehingga kasus yang terjadi patut diduga sebagai dampak dari masalah sebelumnya yang belum terselesaikan. Karena itu, apa yang terjadi tidak dapat dianggap remeh dan harus segera diungkap, ditindak dan diselesaikan permasalahannya,” jelasnya.
Hal serupa juga disampaikan Agapitus, Anggota Dewan Daerah Walhi Kalimantan Barat.
“Kami meminta segera tarik aparat kepolisian (personell brimob) yang berada di perusahaan sawit PT Arthu Plantation maupun pada konsesi lainnya di Kalimantan Barat. Jangan ada dan hentikan intimidasi terhadap warga” pungkasnya.
Lebih lanjut, Agapitus meminta agar pihak kepolisian yang seharusnya menjadi milik semua warga, tidak justru menjadi beking perusahaan.
“Polri itu milik semua dan jangan malah menjadi beking pihak perusahaan. Kami meminta kepada pemerintah daerah dan Pemkab Ketapang beserta jajarannya untuk melakukan evaluasi serius terhadap perizinan perusahaan dengan memastikan menyelesaikan permasalahan yang ada dan tidak membiarkannya berlarut,” pinta Agapitus. (Rilis/Jau)
Comment