KalbarOnline, Ketapang – Belum tuntasnya penyelidikan yang dilakukan oleh Mabes Polri terhadap kasus dugaan penyerobotan wilayah tambang emas milik PT Bukit Belawan Tujuh (BBT) oleh PT Sultan Rafli Mandiri (SRM), menyebabkan ratusan karyawan PT SRM terlantar dan menganggur.
Pelaporan yang dilayangkan oleh PT BBT ke Mabes Polri terhadap PT SRM yang diduga melakukan kegiatan penambangan melampaui batas dan masuk dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT BBT itu telah dilakukan sejak tanggal 8 September 2021 lalu.
Kendati Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT BBT sendiri telah dicabut oleh Presiden RI pada tanggal 6 Januari 2022 dan telah diumumkan secara resmi dan sah oleh Kementerian ESDM dan Kementerian BKPM dan Investasi pada tanggal 05 April 2022, namun hal itu belum mendapat tindak lanjut dari pihak kepolisian.
Hingga kini, aktivitas karyawan PT SRM masih tercekat, lantaran adanya garis polisi (police line) yang terpasang di wilayah tambang mereka.
“Dampak dari PT SRM tidak operasi, sudah tiga bulan terakhir ini saya bersama karyawan lainya belum menerima upah sehingga utang menumpuk. Saya berharap kepada Pak Kapolri untuk membuka garis polisi agar PT SRM bisa kembali beroperasi,” ujar Antonius, salah seorang karyawan PT SRM, Sabtu (16/07/2022).
Hal senada juga diungkapkan oleh karyawan PT SRM lainnya, Sumiran. Ia menyebut, kalau akibat kondisi tersebut, banyak utang kredit barangnya di leasing yang gagal bayar, termasuk utang untuk kebutuhan hari-harinya di toko yang juga kian menumpuk. Oleh karenanya, Sumiran meminta kepada presiden dan Kapolri untuk membuka segera garis polisi yang ada di PT SRM.
“Pak Presiden dan Kapolri saya minta garis polisi yang ada di PT SRM agar segera dibuka, supaya perusahaan bisa kembali beroperasi dan upah segera dibayarkan oleh perusahaan,” katanya.
“Karena kalau perusahaan tidak segera beroperasi maka nasib kami semakin sulit dan terkatung-katung,” jelas Sumiran lagi.
Terpisah Kepala Teknisi Tambang PT SRM, Syaiful Situmorang mengatakan, akibat dari tidak dibukanya police line tersebut juga menyebabkan pemeliharaan terhadap tunnel (terowongan) pabrik pengolahan dan pemurnian emas yang ada menjadi terbengkalai.
Taka hanya itu, lamanya pencabutan garis polisi di area aktivitas tambang juga menyebabkan terlantarnya para pekerja dan keluarganya serta masyarakat sekitar lokasi pabrik PT SRM.
“Dan potensi hilangnya penerimaan negara atas pajak dan royalti dalam jumlah besar yang seharusnya sudah disetor oleh PT SRM kepada Negara,” kataya.
Syaiful juga menambahkan, akibat mandeknya operasional tambang dikarenakan garis polisi di lokasi akan menghambat iklim investasi pada program ekonomi pemerintah RI.
“Dapat merusak iklim investasi pada program ekonomi pemerintah RI yang dicanangkan oleh Bapak Presiden RI,” katanya.
“Dengan tidak dicantumkannya mulut tunnel (mulut terowongan tambang) pabrik pengolahan dan pemurnian emas beserta peralatannya dan gudang penyimpanan bahan peledak dalam penetapan Pengadilan Negeri Ketapang, tindakan tersebut masuk sebagai tindakan sewenang-wenang dari kepolisian,” bebernya.
Lebih lanjut Syaiful menilai, bahwa proses yang berlarut-latut ini juga bertentangan dengan KUHAP dan merusak tatanan hukum di Indonesia–dengan tidak dikabulkannya oleh polisi permohonan pembukaan atau pelepasan police line dengan berdasarkan ketentuan hukum dan surat izin kementerian ESDM Dirjen Minerba untuk melakukan permohonan pelepasan garis polisi di mulut tunnel dan pabrik pengolahan pemurnian emas PT SRM.
“PT SRM Perusahaan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) berdasarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia nomor: 40/1/IUP/PMA/2020 tanggal 23 September 2020 berlaku hingga 9 juni 2030,” ujarnya.
Status Hukum PT SMR
Sebelumnya, berdasarkan situs Mahkamah Agung (MA), Laporan Polisi tersebut masih dalam tahap penyidikan di Subdit 5 Ditipiter Bareskrim Polri dan belum P21 dan LP/A/0697/XI/2021/SPKT.Ditipiter/Bareskrim Polri, tanggal 19 November 2021 atas LP tersebut, dalam tahap putusan di Pengadilan Negeri Ketapang, Kalbar.
“Tersebut menjatuhkan sanksi pidana Pasal 231 Ayat (3) jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Dimana atas perkara tersebut pada saat tahap penyidikan telah dimohonkan sita oleh Ditipter Bareskrim Polri kepada PN Ketapang, Kalbar.” bunyi situs MA tersebut.
Kemudian telah dikeluarkan penetapan sita oleh PN Ketapang, nomor 628/Pen.Pid/2021/PN/Ktp tanggal 19 Oktober 2021 dan 667/Pen.Pid/2021/PN.Ktp tanggal 23 November 2021 dimana dari dua penetapan tersebut diatas tidak dimohonkan oleh Ditipiter Bareskrim Polri dan tidak ditetapkan sita oleh PN Ketapang atas dua mulut terowongan tambang bawah tanah atau mulut tunnel yang bernama Yu Hou dan mulut tunnel Ahin dan juga tidak dimohonkan sita dan tidak ditetapkan sita oleh PN Ketapang atas pabrik pengolahan dan pemurnian emas beserta perlengkapannya beserta gudang penyimpanan bahan peledak.
Bahwa berkenaan dengan pemasangan Police Line (garis polisi-red) oleh Subdit 5 Ditipiter Bareskrim Polri, PT SRM telah mendapatkan surat izin dari Kementerian ESDM Dirjen Mineral dan Batu Bara agar berkoordinasi kepada Polri untuk melepas garis polisi tersebut.
Hingga berita ini dirilis pihak Kadiv Humas Mabes Polri dan Hendro Wahyono sebagai pengacara dari PT SRM belum dapat dikonfirmasi. (Jau)
Comment