KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Sutarmidji menyoroti perubahan Peraturan Wali Kota (Perwa) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Larangan Pembakaran Lahan–menjadi Perwa Nomor 114 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perwa Nomor 55 Tahun 2018 tentang Larangan Pembakaran Lahan.
Di mana dalam perubahan tersebut memuat sanksi yang jauh lebih enteng bagi para pelaku pembakar lahan.
Sebagai komparasi, dalam Perwa Nomor 55 Tahun 2018 disebutkan, bagi lahan yang terbakar dalam arti tidak sengaja, tidak boleh ada aktivitas pemanfaatan tersebut selama 3 (tiga) tahun sejak awal terjadi kebakaran. Sementara di Perwa Nomor 114 Tahun 2021, dinyatakan terhadap lahan terbakar yang terbukti sengaja dibakar berdasarkan hasil pemeriksaan dari kepolisian, tidak boleh ada aktivitas pemanfaatan lahan selama 1 (satu) tahun sejak awal terjadi kebakaran.
Tak hanya itu, jika di Perwa Nomor 55 Tahun 2018 disebutkan bahwa seluruh kegiatan di lahan yang dengan sengaja dibakar tidak diberikan izin untuk semua bentuk perizinan selama 5 (lima) tahun sejak awal terjadi kebakaran, namun di Perwa Nomor 114 Tahun 2021, untuk lahan yang terbukti terbakar, dalam artian disengaja, dapat kembali dimanfaatkan setelah membayar biaya paksa penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sutarmidji menilai, ketika pemerintah memberikan sanksi atau tindakan tegas bagi pelaku, maka pelanggaran hukum terhadap karhutla menjadi menurun.
“Tapi sayang perwa itu diubah oleh Pak Wali (Edi Rusdi Kamtono) dijadikan (sanksinya) tinggal setahun,” kata Sutarmidji saat memberikan sambutan pada Rakorsus Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Karhutla di Kalbar, Rabu (01/03/2023).
Sebagai informasi, bahwa Perwa Nomor 55 Tahun 2018 tentang Larangan Pembakaran Lahan tersebut ditandatangani pada tanggal 20 Agustus 2018 oleh Sutarmidji sendiri sewaktu ia menjadi Wali Kota Pontianak.
Sementara Perwa Nomor 114 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perwa Nomor 55 Tahun 2018 tentang Larangan Pembakaran Lahan ini ditandatangani oleh Wali Kota Pontianak saat ini, Edi Rusdi Kamtono, pada 23 Desember 2021.
“Tidak ada cerita hukum itu harus dilonggarkan, ketika pelanggaran semakin meningkat, tidak ada teorinya (seperti) itu, belajar dimana yang seperti itu,” sambungnya.
Sutarmidji pun tak habis pikir, kenapa ketika suatu kejahatan meningkat, sanksinya malah diturunkan. Ia menilai dengan perubahan Perwa Nomor 114 Tahun 2021 buatan Edi Kamtoko itu justru akan semakin meningkatkan jumlah kasus karhutla di Kota Pontianak.
“Saya saran kepada bupati dan wali kota untuk membuat aturan (sanksi), kecuali buka lahan untuk ladang masyarakat. Karena ada undang-undang memperbolehkan pembukaan untuk aktivitas ladang seluas dua hektare,” jelasnya.
Dengan adanya UU yang memperbolehkan masyarakat peladang melakukan pembakaran lahan maksimal seluas dua hektare, pemerintah daerah menurutnya telah mengeluarkan aturan turunan. Yakni berupa peraturan daerah (perda) yang dilengkapi dengan petunjuk teknis pelaksanaannya di lapangan. Salah satu contohnya, membolehkan masyarakat membuka ladang dua hektare dengan cara dibakar namun secara bergiliran.
“Kemudian juga harus ada izin dari kepala desa atau tumenggung, lalu peladang harus menjaganya, dan sebelum api padam, lahan tersebut tidak boleh ditinggalkan. (Kabupaten) Landak sudah melaksanakan itu, saya rutin mengecek titik panas. Sanggau juga sudah membuat (aturan pembakaran lahan) secara bergilir, itu tidak masalah,” jelasnya.
Sutarmidji kembali menekankan, bahwa solusi efektif dalam mengatasi karhutla adalah penegakan hukum. Termasuk dalam kasus yang terjadi di lahan-lahan konsesi perkebunan. Setelah ada tindakan tegas dari Pemerintah Provinsi Kalbar, dirinya melihat kasus karhutla di lahan-lahan perkebunan sudah jauh menurun.
“Perusahaan perkebunan juga sudah relatif patuh, saya yakin persoalan karhutla ini bisa ditangani, hanya tinggal ketegasan,” katanya.
“Kenal dengan pengusaha tidak masalah, tapi penegakan hukum tetap berjalan. Saya kenal orang perkebunan tapi kalau sudah melanggar harus bertanggung jawab,” tandasnya. (Jau)
Comment