KalbarOnline, Nasional – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik argumentasi Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif (caleg) terpilih dalam pemilu 2024 tidak wajib mengundurkan diri bila mengikuti pilkada serentak 2024.
“Tidak wajib mundur dari jabatan. Kan belum dilantik dan menjabat, mundur dari jabatan apa?” kata Hasyim dikutip dari sejumlah media massa, Jumat (10/05/2024).
Menurut Hasyim pula, caleg terpilih yang wajib mundur dari jabatannya adalah anggota DPR/DPD/DPRD untuk jajaran provinsi/kabupaten/kota pemilu 2019 dan kembali terpilih dalam pemilu 2024.
Melalui keterangan persnya, Perludem menilai, kalau argumentasi tersebut keliru dan cenderung membangkang dari perintah Putusan Mahkamah Konstitusi.
Jika dirunut, caleg DPR RI terpilih dalam pemilu 2024 akan dilantik dan berubah statusnya menjadi anggota legislatif pada 1 Oktober 2024. Lalu, waktu pelantikan anggota DPRD berbeda-beda karena akan disesuaikan dengan akhir masa jabatan masing-masing anggota DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Sedangkan, Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 menyebutkan bahwa pendaftaran pasangan calon kepala daerah akan digelar pada 27 – 29 Agustus 2024. Lalu, penetapan pasangan calon kepala daerah dilakukan pada 22 September 2024. Terakhir, beleid tersebut mengatur bahwa pelaksanaan kampanye dimulai pada 25 September hingga 23 November 2024.
Oleh karena itu, argumen Ketua KPU untuk tidak mengatur pengunduran diri caleg terpilih, menunjukan sikap yang tidak adil sesuai dengan asas penyelenggaraan pilkada dan bertentangan dengan konstitusi.
“Pasalnya, perbedaan waktu antara tahapan pilkada dan pelantikan caleg terpilih di pemilu 2024 tentu berbeda dan dibutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif. Khususnya pada tahapan pilkada yang mana, ketentuan caleg terpilih harus mengundurkan diri,” terang Perludem dalam keterangan persnya, Jumat (10/05/2024).
Perludem menyadari bahwa Ketua KPU menyandarkan argumennya pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024. Putusan MK tersebut memang menegaskan bahwa caleg DPR, DPD dan DPRD yang terpilih belum terikat pada hak dan kewajiban konstitusional.
Meski demikian, Putusan MK yang sama juga memerintahkan KPU untuk mempersyaratkan caleg DPR, DPD dan DPRD terpilih untuk membuat surat pernyataan “bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi” saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
“Aturan ini penting untuk menghindari penyelenggaraan pilkada yang diikuti oleh anggota legislatif terpilih yang dilekatkan hak-hak konstitusional pada dirinya yang berpotensi melekat adanya penyalahgunaan kewenangan, serta gangguan kinerja jabatan,” terang Perludem.
Surat pernyataan “bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi” itu akan efektif pada tanggal caleg secara resmi dilantik sebagai anggota legilatif—yakni 1 Oktober untuk DPR dan DPD, serta di waktu pelantikan DPRD.
Muaranya, Perludem mendorong KPU untuk menjamin penyelenggaraan pilkada yang adil. Karenanya, KPU harus melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024 tersebut. Lain itu, Perludem juga mendorong Bawaslu berperan lebih aktif mengawasi KPU.
“Bawaslu harus melakukan pengawasan terhadap tahapan pencalonan dan memastikan KPU untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024 dengan memasukan syarat membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” tutup Perludem.
Sejalan dengan itu, pemohon dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024, Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan menilai, bahwa pernyataan Ketua KPU RI sebagai desain baru untuk mengamankan kedudukan calon legislatif atau caleg terpilih dalam pemilu yang menjadi peserta pilkada 2024.
Diketahui, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa caleg terpilih yang menjadi peserta pilkada tidak wajib mundur dari jabatannya. Dia juga menyatakan bahwa akan dilakukan pelantikan susulan bagi caleg terpilih yang gagal dalam pilkada.
“Sebagai Pemohon Perkara di MK dengan Nomor 12/PUU-XXII/2024, kami sudah menegaskan bahwa perlunya pengaturan pengunduran diri tersebut adalah untuk menjamin agar pemilu 2024 tidak menjadi arena pragmatis saja untuk mengamankan jabatan legislatif,” kata Ahmad dalam keterangan resmi, Jumat, 10 Mei 2024.
Sebelumnya, pemohon mengklaim bahwa salah satu agenda memajukan pilkada ke bulan September adalah untuk mengamankan posisi caleg terpilih yang menjadi peserta pilkada agar tidak perlu mundur dari jabatannya.
“Dengan dalil tersebut, mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan 12/PUU-XXII/2024 paragraf 3.13.3 mengakomodasi dengan melarang pemajuan jadwal Pilkada ke bulan September,” tuturnya.
Namun, MK juga menegaskan bahwa KPU perlu mempersyaratkan surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik kepada caleg terpilih yang menjadi peserta pilkada. “Ketentuan tersebut tentu tidak lahir begitu saja. Kami sebagai pemohon perkara tersebut memahami betul suasana kebatinan dan alur berpikir Mahkamah terkait hal ini,” kata dia.
Akal-akalan Ketua KPU
Mirisnya, lanjut pemohon, Hasyim Asy’ari malah mempreteli frasa “jika telah dilantik”, dengan cara mengundur waktu pelantikan dan menunggu hasil pilkada. Hal ini seakan membuat plan b atau rencana cadangan, untuk caleg terpilih yang gagal dalam pilkada.
Adapun Hasyim mendasarkan hal tersebut dengan menyatakan tidak adanya ketentuan kewajiban pelantikan secara serentak. Hasyim juga mempertegas bahwa tidak ada larangan untuk dilantik belakangan atau usai kalah dalam pilkada.
“Hal ini tentu menunjukkan bahwa Ketua KPU terkesan memaksa untuk mengafirmasi kepentingan para caleg terpilih agar tidak perlu mundur dan bisa ikut dilantik ketika kalah dalam kontestasi pilkada, bahkan dengan jalan mengundur atau menunda pelantikannya,” kata dia.
Padahal, justru KPU sendiri yang sudah menetapkan jadwal pelantikan caleg terpilih berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022, di mana pelantikan anggota DPR dan DPD hasil Pemilu 2024 akan dilakukan secara serentak pada 1 Oktober 2024.
“Melantik caleg terpilih setelah kalah dalam Pilkada jelas adalah bentuk KPU mempermainkan aturan yang mereka buat sendiri, membangkangi perintah MK, bahkan mengindikasikan ‘pesanan’ yang sejak awal sudah didesain karena gagalnya rencana pemajuan jadwal pilkada,” ujar Ahmad.
Menurut dia, Hasyim yang telah berulang kali disanksi DKPP itu seakan mengakali parpol untuk menghindari jadwal pelantikan. “Perlu diingat bahwa hal ini menjadi kali kesekian sikap Ketua KPU yang menjadi simbol penyelenggara Pemilu menunjukkan gelagat mengafirmasi kepentingan dari peserta Pemilu/Pilkada,” ucapnya.
Berpotensi Inkonstitusional
Pelantikan anggota legislatif mesti serentak. Pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari terkait caleg terpilih dapat dilantik menyusul jika ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dikritik.
“Kalau sampai caleg terpilih DPR dan DPD bisa dilantik menyusul karena alasan maju pilkada, maka hal itu inkonstitusional,” tegas pengajar hukum pemilu Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, Sabtu, (11/05/2024), seperti dikutip dari Medcom.id.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024, kata Titi, memerintahkan KPU mewajibkan caleg terpilih mengundurkan diri jika maju di pilkada. Agar, tidak ada irisan antara status anggota dewan dengan status calon kepala daerah.
“Anggota DPR dan DPD hasil pileg 2024 yang dilantik 1 Oktober 2024 harus dilakukan pergantian antar waktu (PAW) sebagai anggota DPR dan DPD akibat konsekuensi Pertimbangan Hukum Putusan MK,” terangnya.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) secara jelas turut mengatur pelantikan legislatif secara bersama.
Bahkan, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2024 juga secara jelas mengatur bahwa pelantikan susulan tidak dapat dilakukan oleh semua caleg. Melainkan hanya caleg yang berstatus tersangka dan tersangkut kasus pidana korupsi.
“Kalau ada pelantikan susulan anggota DPR dan DPD bagi mereka yang maju pilkada, maka hal itu adalah bentuk akal-akalan untuk memuluskan kepentingan segelintir orang,” tandasnya.
Jangan Cederai Demokrasi
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini meminta, bagi mereka yang sudah terpilih menjadi anggota DPR, DPD, DPRD namun ingin maju ke pilkada untuk jadi kepala daerah, hendaknya dapat bersikap bijaksana. Tidak menggunakan cara-cara yang dinilai berpotensi mencederai demokrasi, hak serta harapan pemilih yang telah memilihnya.
Guna mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan, Titi Anggraini pun mendorong agar KPU tetap harus menindaklanjuti putusan MK nomor 12/PUU-XXII/2024, supaya tidak ada lagi kebingungan dan kekosongan hukum.
“Ini soal pilihan. Mau memilih jadi wakil rakyat atau calon kepala daerah atau wakil kepala daerah? Partai itukan punya banyak kader. Dalam pemilu saja, sistem pemilu kita proporsional terbuka. Dalam satu dapil itu partai mengajukan banyak calon, sehingga ketika yang bersangkutan memilih bergeser atau berpindah perahu menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, partai itu masih punya banyak orang untuk menggantikan,” urainya.
“Jadi ini bagian dari kerja pengabdian untuk partai. Jadi pilihan-pilihan ini untuk partai juga harus dilakukan. Jangan ‘aji mumpung’, mau semuanya, seolah-olah yang layak, yang berhak untuk mengisi rekrutmen politik di partai itu hanya dia-dia saja,” lanjut Titi.
Di sisi lain, pada tahap ini, Perludem pun cukup bisa menangkap sinyal tentang dugaan “niatan terselubung” dari Ketua KPU itu dengan baik, bagaimana cara mengetengahkan tafsir berbeda terhadap Putusan MK, guna keuntungan pihak-pihak yang berkepentingan.
“Sebenarnya strategi untuk mengakali aturan ini sudah bisa kita tangkap upaya itu ketika ada usulan RUU inisiatif DPR yang sudah sempat disahkan di rapat paripurna untuk memajukan pilkada 2024 dari November ke September,” katanya.
Menurut Titi, kalau September, artinya caleg terpilih tidak terikat pada ketentuan irisan status sebagai anggota DPR/DPD/DPRD dengan sebagai calon kepala daerah, tapi upaya itu gagal memajukan pilkada ke September, karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024 mengenai pilkada tidak boleh digeser, dimajukan maupun diundur.
“Termasuk tidak boleh dimajukan ke bulan September. Jadi yang paling bijak adalah hormati suara pemilih, pilih mau jadi wakil rakyat atau maju di pilkada,” jelasnya.
Pelanggaran Hak Konstitusional Pemilih
Kritikan mengenai statemen Ketua KPU, Hasyim Asy’ari yang menyatakan bahwa calon caleg terpilih dalam pemilu 2024 tidak wajib mengundurkan diri bila mengikuti pilkada serentak 2024 turut disuarakan oleh mantan Ketua KPU, Arief Budiman. Karena menurutnya, desain dari tahapan pemilu itu sendiri sudah terbit sebelumnya.
“Jadi prosedurnya itu sudah diatur, tahapan-tahapannya jelas. jadi kapan pemungutan suara, kapan dinyatakan terpilih, kapan dilantik. Begitu juga untuk tahapan pemilihan kepala daerah, kapan pendaftaran kandidatnya, kapan ditetapkan sebagai pasangan calon, kapan pemungutan suaranya, sampai ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih,” jelas dia.
Dan lagi, menurut ketentuan juga sudah diatur, kalau ada seseorang ingin mengikuti kompetisi dalam pemilihan kepala daerah, maka siapa saja yang harus mengundurkan diri itu sudah ditentukan.
“Salah satunya termasuk anggota dewan yang sudah terpilih itu. Memang sudah diberikan klausul di dalam putusan MK, setelah dilantik dia harus mengundurkan diri. Bahkan dalam pembahasan ketika saya dulu masih di KPU, pengunduran diri yang diajukan oleh siapapun itu tidak dapat ditarik kembali,” ujarnya.
Jadi, misalkan yang bersangkutan memutuskan running dalam pemilihan kepala daerah, yang bersangkutan sudah membuat surat pengunduran diri.
“Misalnya belum diproses, sehingga belum dinyatakan mundur secara resmi, ternyata dalam pemilihan kepala daerah dia gagal, terus dia balik lagi, itu tidak boleh. Jadi pengunduran diri yang sudah diajukan itu tidak dapat ditarik kembali,” tekan Arief Budiman.
Disinggung soal kaitan dengan statement Ketua KPU RI Hasyim Asyari yang menyatakan bahwa tidak ada ketentuan pelantikan serentak, atau bisa disusul pelantikannya dengan alasan maju pilkada sebagai bagian dari “berhalangan”—dalam artian katakanlah pelantikan serentak dilakukan pada 1 Oktober, tapi ada hal yang membuat caleg yang bersangkutan tidak mengikuti pelantikan dengan alasan maju di pilkada—sehingga itu akan membuka celah tersendiri?
“Itu bagi saya pelanggaran hak konstitusional pemilih. Pemilih itu ketika memberikan suaranya kepada seseorang, itu artinya dia mempercayakan tugas konstitusi kepada yang bersangkutan dengan durasi 5 tahun dimulai sejak tanggal pelantikan. Artinya kalau yang bersangkutan tidak dilantik pada tanggal yang ditentukan, maka tugas dia, kewenangan yang dia punya untuk dijalankan itu tidak utuh 5 tahun,” terang Arief Budiman.
“Lalu siapa yang dirugikan? yang paling dirugikan adalah pemilih. Karena ketika dia memilih seseorang dan kemudian orang itu terpilih, maka dia diberi kepercayaan untuk menjalankan tugas, hak dan kewajiban, kewenangannya secara penuh 5 tahun sejak dia dilantik sampai masa berakhir jabatan,” lugasnya.
Arief Budiman juga menambahkan, jika pertanyaannya kemudian, lalu kapan tanggal pelantikan yang tepat? Boleh diundur atau tidak? Sesungguhnya tanggal pelantikan itu dimulai atau dilaksanakan bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota dewan terpilih di periode sebelumnya (2019 – 2024). Artinya, ketika jabatan mereka berakhir, maka sejak saat itu kemudian dilantik yang baru.
“Nah kalau dia pelantikannya diundur, apalagi atas permintaan yang tidak bisa diberikan undang-undang dengan alasan maju pilkada itu tidak bisa diberikan undangan-undang, kemudian mundur, maka tugas kewenangan, kewajiban yang diberikan konstitusi kepada dia untuk dijalankan secara penuh 5 tahun itu tidak bisa dijalankan oleh dia, dan itu merugikan hak konstitusional yang sudah memilih dia,” pungkasnya. (Jau)
Comment