KalbarOnline, Pontianak – Merespon tantangan yang dihadapi oleh petani perempuan di Kalimantan, perkumpulan Gemawan merancang program dengan kerangka kerja perubahan sistem.
Sebagai langkah konkretnya, Gemawan pun mengajak organisasi masyarakat sipil dari berbagai wilayah di Kalimantan untuk merumuskan skenario dan strategi bersama dalam mewujudkan sistem masa depan yang diinginkan, pada Kamis (29/08/2024), di Rumah Gerakan Gemawan.
Kegiatan ini meliputi penggalian ide dari peserta terkait skenario dan strategi, serta inisiasi kerjasama untuk menentukan peran dan tanggung jawab dalam merealisasikan sistem masa depan yang diinginkan.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Gemawan, Laili Khairnur, kerangka kerja ini bertujuan untuk mendorong terciptanya sistem yang adil, inklusif, dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
“Dalam 10 – 30 tahun ke depan, diharapkan akan terwujud sistem pertanian yang mendukung dan menghargai hak-hak petani perempuan, serta melindungi sumber daya alam yang menjadi tumpuan hidup mereka. Petani perempuan disini meliputi mereka yang bergerak di sektor pangan, hortikultura, maupun kehutanan,” ungkapnya.
Dalam program ini, Gemawan mengadopsi strategi 3R, yaitu Recognition (Pengakuan), Representation (Representasi), dan Redistribution (Redistribusi), untuk memperkuat posisi dan pemenuhan hak-hak petani perempuan. Strategi ini bertujuan untuk memastikan perempuan diakui dalam peran mereka, diwakili dalam pengambilan keputusan, dan memperoleh akses yang setara terhadap sumber daya.
Strategi 3R ini tidak hanya berfungsi untuk menguatkan posisi petani perempuan, tetapi juga untuk mendorong keterlibatan negara, pasar, dan masyarakat dalam menjamin akses serta kontrol sumber daya bagi mereka.
“Ini penting, terutama dalam menghadapi tantangan seperti perubahan iklim yang semakin berdampak pada ketahanan komunitas petani,” lanjutnya.
Menurut Laili, meski peran petani perempuan cukup besar, pengakuan yang diberikan kepada petani perempuan masih jauh dari memadai.
“Peran mereka sangat besar, tapi rekognisi (pengakuan, red) yang mereka dapatkan tidak sebanding. Mereka sering tersingkirkan dalam akses legalitas, misalnya dalam kepemilikan kartu petani atau program pertanian. Pemerintah masih melihat petani itu sebagai laki-laki, padahal dalam prakteknya banyak petani yang perempuan,” ujar Laili.
Ia menekankan perlunya perubahan mindset dalam melihat petani perempuan, terutama terkait akses terhadap pelatihan dan program-program yang selama ini tidak menjangkau mereka.
“Petani perempuan jadi tidak bisa mendapatkan akses pelatihan dan program, sehingga mereka menjadi miskin karena tidak memiliki akses tersebut,” tambahnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Laili Khainur menegaskan bahwa rekognisi terhadap petani perempuan sangat penting. Salah satunya melalui pendaftaran mereka di Kelompok Wanita Tani (KWT) atau mendapatkan kartu petani.
“Negara harus mempermudah proses ini,” katanya.
Selain itu, Laili juga menyoroti pentingnya kepemimpinan petani perempuan yang terintegrasi dengan program-program desa. Misalnya, melalui alokasi anggaran khusus atau melalui pelatihan kader di tingkat desa, universitas, atau lembaga yang fokus pada petani perempuan.
“Selanjutnya, diperlukannya sistem informasi iklim juga penting agar petani tahu kapan musim hujan, kapan waktu tanam, dan perhitungan panen. Selain itu, harus ada anggaran khusus berbasis gender untuk isu pertanian, karena jika masih netral, petani perempuan akan semakin tersingkirkan,” jelasnya.
Dengan strategi-strategi tersebut, Laili berharap, petani perempuan di Kalimantan bisa mendapatkan pengakuan dan akses yang setara, serta mampu meningkatkan kesejahteraan mereka secara signifikan.
Ditambahkan Konsultan Peneliti dari Visi Integritas, Adnan Topan Husodo, ada dua aspek besar yang memulai penelitian ke petani perempuan, yaitu aspek ekonomi dan politik.
“Dua aspek besar ini yg memulai penelitian kita ke petani perempuan karena banyak konteks yang mengelilingi,” jelasnya saat memaparkan temuan terkait petani perempuan.
Berawal dari analisis situasi terkini yang menunjukkan kerentanan dan ketahanan perempuan di berbagai peran, baik sebagai petani, pelaku ekonomi, maupun warga negara. Kemudian mengungkap bahwa petani perempuan di Kalimantan masih menghadapi masalah struktural yang menghalangi akses mereka terhadap sumber daya dan partisipasi dalam sistem ekonomi, sosial, dan politik.
“Identitas ganda yang mereka emban, sebagai perempuan, petani, dan ibu rumah tangga, menambah beban yang tidak seimbang dengan peran strategis mereka di masyarakat,” kata Adnan. (Lid)
Comment