KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) periode 2018 – 2023, Sutarmidji mengkritisi mengenai banyaknya kebijakan pusat yang dirasa tidak sejalan dengan upaya pengembangan pendidikan vokasi di daerah.
Alhasil, pendidikan vokasi yang awalnya ditujukan sebagai solusi bagaimana mempersiapkan tenaga terampil yang siap kerja, justru menjadi pabrik yang menghasilkan para pengangguran baru.
“Banyak aturan di kementerian yang justru mempersulit kita (pemerintah daerah) untuk mengembangkan pendidikan vokasi ini,” ungkapnya saat menjadi narasumber pada Seminar Nasional Apvokasi bertajuk Arah Kebijakan Pendidikan Vokasi di Masa Pemerintahan Mendatang, yang digelar di Balai Petitih, Kantor Gubernur Gubernur Kalbar, Kamis (26/09/2024).
Sutarmidji pun mencontohkan bagaimana pengalamannya dulu saat menjabat Wali Kota Pontianak, di mana ia saat itu membangun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pelayaran. Harapannya, dengan adanya sekolah kejuruan tersebut, Pontianak bisa mencetak pelayar-pelayar andal di dunia kemaritiman nasional maupun internasional.
Namun, lantaran ketidaksesuaian aturan yang berlaku di kementerian perhubungan, bukannya mendapatkan pujian, Sutarmidji malah ingin dipenjarakan. Ia dilaporkan oleh orang tua murid ke Polda Kalbar yang komplain lantaran anaknya tidak bisa diterima masuk ke akademi pelayaran.
“Saya bangun SMK Pelayaran, SMK 9 (Pontianak) itu, begitu (pelajar) tamat, orang tuanya melaporkan saya ke Polda. Kenapa? Karena anaknya tidak bisa masuk akademi pelayaran, (untuk masuk lulusan SMK) harus memenuhi 15 approval dulu baru bisa masuk akademi pelayaran, itu sampai jenggotnya putih pun tidak bisa saya bilang,” kata dia.
Terkait masalah itu, Midji–sapaan karibnya, sempat menyampaikan protes ke kementerian perhubungan, namun tetap tidak ada solusi. Lucunya, para lulusan SMK Pelayaran itu disarankan oleh orang kementerian mengambil paket C agar setara dengan lulusan SMA, baru kemudian bisa mendaftar ke akademi pelayaran.
Dari situ, Midji merasa bingung, kenapa lulusan SMK Pelayaran yang jelas-jelas belajar dan menimba ilmu tentang pelayaran justru dipersulit, dibandingkan para lulusan SMA biasa? Aturan-aturan yang demikian, menurut Midji yang menjadi penghambat daerah dalam pengembangan pendidikan vokasi.
“Masa mereka sudah lulus (dengan ilmu) mengarah ke sana (pelayaran), malah diminta paket C, itu tidak beres,” kata dia.
Contoh lainnya soal kebijakan yang tidak sinkron, yakni mengenai keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) yang berada di bawah naungan kementerian ketenagakerjaan. Dibanding membangun fasilitas sendiri untuk BLK, Midji menilai, justru lebih baik jika kementerian membantu melengkapi sarana dan prasarana di SMK yang sudah ada. Seperti membangun workshop dan pengadaan alat-alat praktik yang mutakhir.
Keberadaan SMK yang representatif, menurut dia justru akan memiliki dampak yang lebih besar. Selain meningkatkan kemampuan para pelajar di SMK tersebut, fasilitas yang ada juga bisa dimanfaatkan untuk pendidikan non formal. Seperti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran sekolah.
“Makanya saya maunya BLK itu dihilangkan, dijadikan pusat sertifikasi keahlian, di situlah mereka disertifikasi. Ada pusat sertifikasi daerah yang sertifikatnya berlaku untuk pekerjaan di dalam negeri, lalu ada pusat sertifikasi nasional, nantinya yang untuk bekerja di luar negeri,” sarannya.
Midji juga sebelumnya menjadi salah satu gubernur yang menentang keras soal wacana lamanya sekolah di SMK yang akan ditambah menjadi 4 tahun. Menurut pemikirannya, waktu belajar di SMK justru harus dipersingkat. Semisal haya 2 tahun, dengan 1 tahun teori, lalu tahun berikutnya praktik dan magang. Atau paling maksimal 3 tahun, 2 tahun teori, dan 1 tahun praktik. Untuk tempat praktik atau magangnya juga harus langsung di dunia kerja, seperti ke pemerintahan atau perusahaan-perusahaan.
“Magang tapi harus dibayar, paksa itu perusahaan-perusahaan, jangan tidak dipaksa, apalagi di kantor-kantor pemerintahan itu kasihan anak-anak magang,” katanya.
“Bahkan seharusnya dia magang di sini (pemerintahan) dia dibayar, ini minum pun kadang susah, kenapa? Kita (pemerintah) mau bayar tapi aturannya tidak ada, kalau kita bayar nanti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) periksa suruh kembalikan. Coba dilindungi, pemerintah (pusat) buat aturan, anak magang harus dibayar sesuai UMR, ini kan tidak ada aturannya,” paparnya.
Ia juga mendorong agar dilakukan revitalisasi program-program studi di SMK, yang disesuaikan dengan kebutuhan di daerah masing-masing. Sehingga lulusan SMK harus bisa menjawab kebutuhan tenaga kerja, minimal di daerah tempat SMK tersebut berada.
“Kita (Kalbar) kan banyak perkebunan sawit, tapi adakah (SMK) yang jurusan itu? Tidak ada. Bauksit kemarin (smelter) diresmikan Presiden Jokowi, tidak ada (SMK) jurusan itu (pertambangan), jadi memang revitalisasi penting,” tegasnya.
Selama menjadi kepala daerah, Midji memang dikenal getol memperjuangkan pendidikan vokasi di daerah ini. Sampai-sampai DPW Apvokasi Kalbar sendiri menganggap Midji sebagai pemerhati pendidikan vokasi di Kalbar. Pria yang kini kembali mencalonkan diri sebagai gubernur itu, selalu berusaha sesuai dengan kewenangan dalam jabatannya, memperhatikan lulusan-lulusan sekolah vokasi.
Seperti ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Pontianak, ia membuat peraturan daerah (perda) yang memberikan diskon tarif Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk hotel-hotel yang baru dibangun, bahkan hingga sebesar 75 persen. Asal syaratnya, ketika sudah beroperasi, hotel-hotel tersebut harus menggunakan tenaga kerja lokal lulusan SMK. Minimal 85 persen dari total tenaga kerja di hotel tersebut harus lulusan SMK Perhotelan di Kota Pontianak. Kala itu kewenangan SMK memang masih berada di bawah pemerintah kabupaten/kota.
“Akhirnya semuanya (hotel) itu, mereka (pelajar SMK) kelas dua sudah dipesan. Kita juga buat hotel untuk latihan mereka. Ketika menginap di hotel bintang empat Jakarta misalnya, saya selalu tanya kepada housekeeping, satu orang bisa bersihkan kamar satu hari berapa kamar, rata-rata 17 kamar. Di SMK kita, saya minta bagaimana anak-anak bisa di atas 17 (kamar per hari), bisa 17 sampai 19, artinya kita unggul, bisa berkompetisi,” terangnya.
Tak hanya sampai di situ, untuk pendidikan vokasi, Midji berusaha membuat program studi yang sekaligus dapat mencarikan lapangan kerja yang tidak putus. Contoh ketika melihat data bahwa di Kota Pontianak bangunan yang ber-IMB jumlahnya tidak sampai 60 persen. Ia kemudian membuat SMK yang memiliki program studi desain grafis.
Sebagai wali kota, ia kembali membuat aturan yang pro lulusan program studi tersebut, yakni mengeluarkan kebijakan pemutihan IMB untuk sekitar 40 persen bangunan yang terlanjur tidak memiliki IMB. Dengan syarat tak perlu melampirkan gambar bangunan secara detail, melainkan cukup sketsa saja. Dan itu tak perlu dikerjakan arsitek, melainkan cukup dikerjakan oleh lulusan SMK program studi desain grafis.
“Tapi gambarnya harus dari anak-anak ini (SMK) tamatan (desain grafis). Kalau satu gambar itu dia dapat misalnya Rp750 ribu, sekarang orang mau usaha kalau agunkan ke bank, aset propertinya harus ada IMB. Kami (pemkot) pemutihan dibuat gratis, tapi gambarnya yang akan bayar, (dibuat) dengan mereka-mereka (lulusan SMK). Bayangkan pekerjaan mereka itu tidak (akan putus) selesai, sampai umur pensiun pun,” jelasnya.
Meski sempat ada masukan dari pejabat terkait, bahwa kebijakan pemutihan IMB itu akan mengurangi pendapatan daerah, Midji justru berpikir lebih jauh ke depan. Bahwa dengan kebijakan itu, maka dapat mengurangi angka pengangguran di Kota Pontianak.
“Coba mindset penyelenggara negara (jangan seperti) itu, kalau sudah bicara pendapatan tidak mikir, pokoknya pendapatan harus masuk. Kita harus berpikir manfaat yang lebih luas,” pungkasnya.
Seperti diketahui, seminar nasional yang ketiga kalinya diadakan DPW Apvokasi Kalbar itu melibatkan stakeholder vokasi, serta keikutsertaan peserta nasional melalui tautan Zoom. (**)
Comment