KalbarOnline, Jakarta – Publik tanah air kembali diguncang kasus korupsi besar-besaran dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 300 triliun. Angka fantastis ini menyeret nama pengusaha Harvey Moeis dalam dugaan skandal tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung periode 2015 – 2022.
Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan, bahwa kerugian awal ditaksir sebesar Rp 271 triliun, sebelum akhirnya melonjak menjadi Rp 300 triliun berdasarkan audit BPKP. Namun, perhitungan ini memicu kritik dan perdebatan di kalangan ahli.
“Angka Rp 300 triliun itu lebih menyerupai potensi kerugian, bukan kerugian riil,” ujar Sudarsono Soedomo, profesor dari IPB, yang juga mempertanyakan validitas data Kejagung.
Vonis Ringan dan Polemik Keadilan
Setelah menjalani proses hukum, Harvey Moeis dijatuhi vonis 6 tahun 6 bulan penjara, jauh lebih ringan dibanding tuntutan 12 tahun dari Kejagung. Publik pun mempertanyakan hukuman tersebut mengingat besarnya kerugian negara yang disebutkan.
Ahli hukum pidana, Romli Atmasasmita, turut mempertanyakan dasar perhitungan kerugian negara. “Jika data awal sudah bermasalah, bagaimana membuktikan kerugian sebesar Rp 300 triliun?” ungkapnya.
Romli juga mengkritik disparitas hukuman yang berpotensi mencederai rasa keadilan. “Jangan sampai ada yang didenda triliunan, sementara yang lain hanya ratusan juta. Ini menimbulkan masalah keadilan,” tambahnya.
Actual Loss atau Potential Loss?
Polemik ini semakin rumit setelah Mahkamah Agung (MA) melalui juru bicara Yanto menyatakan, bahwa kerugian negara dalam kasus korupsi harus berupa actual loss atau kerugian nyata, bukan potensi kerugian (potential loss).
“Korupsi itu harus mengacu pada kerugian nyata, bukan sekadar potensi kerugian,” tegas Yanto.
Program penegakan hukum terkait kasus ini kini dihadapkan pada tantangan besar, yaitu membuktikan data kerugian yang valid dan memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. (Jau)
Comment