Pontianak    

Sutarmidji Dorong Kepala Daerah Berani Kelola Aset untuk Dongkrak PAD

Oleh : Jauhari Fatria
Senin, 08 September 2025
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

KALBARONLINE.com – Gubernur Kalimantan Barat periode 2018-2023, Sutarmidji, mengingatkan pemerintah daerah (pemda) agar berani mengelola aset secara produktif. Di sisi lain, ia juga menekankan kepada aparat penegak hukum (APH) dan auditor untuk tidak melihat persoalan hanya secara hitam putih, karena hal itu justru bisa membuat kepala daerah takut berinovasi.

Menurut Sutarmidji, penting bagi APH untuk melihat dampak komprehensif dari sebuah kebijakan atau keputusan administrasi negara. Penegakan hukum, kata dia, tidak bisa semata-mata dipandang hitam putih, karena aturan seringkali multitafsir dan harus dipahami dari tiga sisi, yuridis, sosiologis, dan filosofis.

“Ketiga hal ini harus jadi pijakan agar penegakan hukum jadi humanis dan berkeadilan. Agar jangan sampai kepala daerah takut berinovasi hanya karena terbelenggu aturan yang multitafsir,” tegas Sutarmidji, Senin (8/9/2025).

Sutarmidji mencontohkan banyak aset pemerintah daerah maupun pusat yang terbengkalai, mulai dari eks rumah jabatan hingga kantor lama, yang justru membuat kota terlihat kumuh. Padahal, jika aset tersebut dikerjasamakan lewat penyewaan atau pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL), manfaatnya bisa luas.

Ia menyebut ketika dirinya menjabat Gubernur Kalbar, sejumlah aset “tidur” diberdayakan lewat skema HGB di atas HPL untuk masa tertentu. Hasilnya, daerah mendapat banyak keuntungan, di antaranya, pendapatan retribusi untuk pemerintah daerah, masuknya investasi baru, terciptanya lapangan kerja, adanya pajak tambahan, pengurangan biaya pengamanan aset, nilai aset yang meningkat, hingga penataan kota yang lebih baik.

“Kalau semua dilihat hitam putih, aset akan terus terbengkalai. Negara maju mengatur negaranya seperti itu. Bahkan banyak negara berkembang berani kasih lahan murah bahkan gratis ke investor yang bisa ciptakan lapangan kerja dan mendongkrak pertumbuhan. Kenapa kita masih takut?” tegasnya.

Sutarmidji menekankan pentingnya mengubah pola pikir dalam mengelola sumber daya, baik secara personal maupun oleh negara. Menurutnya, di negara maju, bukan manusia yang dipaksa bekerja keras, melainkan aset yang “bekerja” menghasilkan nilai tambah.

“Jadi harus dibalik. Bukan manusianya yang bekerja keras, tapi asetnya yang dimaksimalkan. Itulah manajemen aset mereka yang luar biasa,” jelasnya.

Sebagai perbandingan, Sutarmidji menyinggung fenomena anak-anak muda di kota-kota besar. Dengan gaya sederhana—kaos oblong, sandal jepit, kopi dan laptop di meja—mereka fokus memantau pergerakan saham dan harga emas.

“Mereka pantau pergerakan saham atau harga emas, bukan main game,” ujarnya.

Sutarmidji pun kembali mengingatkan bahwa daerah harus berani dan pandai dalam mengelola aset agar memberikan dampak luas bagi masyarakat. Ia menegaskan, jangan sampai aparat penegak hukum maupun auditor hanya melihat persoalan secara hitam putih.

“Artinya, daerah harus pandai mengelola aset agar punya dampak ikutan yang luas. Dan sekali lagi, jangan ada rasa takut, serta APH dan auditor jangan selalu hitam putih. Kecuali kalau memang ada niat untuk tujuan menguntungkan diri sendiri,” tegasnya.

Menurut Sutarmidji, suatu daerah tidak akan pernah maju kalau hanya mengandalkan sumber pendapatan yang terbatas tanpa berani menggali potensi lain yang lebih produktif.

“Banyak daerah yang hanya mengandalkan sumber pendapatan itu-itu aja. Akibatnya, masyarakat yang dipaksa menanggung beban, misalnya lewat kenaikan PBB-P2 sampai ribuan persen, tanpa melihat kemampuan daya beli atau pertumbuhan ekonomi mereka,” tegas Sutarmidji.

Ia menekankan, kunci kemajuan daerah ada pada kemampuan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika tidak, jangan berharap ada lompatan pembangunan.

“Intinya, kalau tak mampu meningkatkan PAD, jangan harap daerah itu bisa maju,” sambungnya.

Ditambah lagi kemampuan fiskal kabupaten/kota di Kalbar rata-rata masih rendah, di bawah 30 persen. Artinya, lebih dari 70 persen masih sangat tergantung pada transfer dari pusat.

“Kalau pusat mengurangi transfer ke daerah, maka daerah akan stagnan,” kata dia.

Namun demikian, Midji menegaskan, sumber pendapatan daerah sejatinya sangat banyak. Hanya saja, banyak kepala daerah yang terbelenggu aturan yang tidak jelas dan akhirnya takut mengambil langkah strategis. Ditambah lagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dinilainya jarang mengikuti dinamika di lapangan. Bahkan tidak berbuat suatu hal yang konkret jika daerah mengalami persoalan.

“Contoh soal kenaikan PBB-P2. Itu hal sepele, harusnya Kemendagri bisa bikin formulasi yang gampang. Bahkan saya bilang, tak lebih 15 detik sudah beres tanpa ribut, sekalipun NJOP naik 10 kali lipat,” katanya.

Sutarmidji juga menekankan perlunya regulasi yang jelas terkait pedoman penentuan NJOP. Menurutnya, harus ada kepastian apakah akan menggunakan Zona Nilai Tanah (ZNT) yang dikeluarkan Kementerian ATR/BPN, atau mengacu pada DJKN, atau ditentukan Pemda melalui kerja sama dengan appraisal.

“Idealnya pedomani BPN aja. Daerah lebih baik maksimalkan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) karena ini tidak membebani masyarakat,” tegasnya.

Ia mencontohkan, jika seseorang membeli tanah seharga Rp109 juta lalu pemerintah membangun jalan besar di depan tanah tersebut, maka nilai tanah itu bisa naik tiga hingga empat kali lipat saat dijual kembali. Dalam kondisi itu, kata Midji, wajar jika dikenakan BPHTB. Namun berbeda jika aset berupa rumah tinggal tiba-tiba pajaknya naik hingga 1000 persen.

“Kalau rumah tinggal tiba-tiba pajaknya naik 1000 persen, itu yang bikin kaget masyarakat,” tutupnya. (Red)

Artikel Selanjutnya
Program BSPS Hadir di Pontianak, Puluhan Rumah Warga Siap Direhab
Senin, 08 September 2025
Artikel Sebelumnya
DPRD Ketapang Ungkap Investasi Bermasalah, Banyak Perusahaan Beroperasi Tanpa HGU
Senin, 08 September 2025

Berita terkait