Pontianak    

Gubernur Kalbar Harap Generasi Milenial Paham Reposisi Hukum

Oleh : Jauhari Fatria
Jumat, 15 Februari 2019
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

KalbarOnline,

Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji mengaku prihatin dengan

maraknya pelanggaran terhadap aturan hukum yang terjadi saat ini. Menurut dia,

hal tersebut terjadi lantaran banyak pembiaran terhadap pelanggaran tanpa ada

sanksi yang konkret.

Hal itu disampaikan Midji saat menjadi pembicara diskusi

publik pendidikan Pancasila demi terciptanya moralitas generasi milenial di

Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Kamis (14/2).

Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura ini mengatakan bahwa kebiasaan

terhadap pelanggaran tersebut kemudian mempengaruhi moral masyarakat secara

umum, khususnya generasi muda. Seperti yang baru-baru ini terjadi kasus

perusakan kendaraan oleh seorang pemuda yang tak terima ditilang oleh polisi.

“Pelanggaran aturan hukum yang dibiarkan akhirnya membuat

aturan hukum itu tidak lagi dianggap sebagai aturan. Itu penyebabnya,” ujarnya.

Jika sudah demikian, lanjut dia, ketika aturan harus

ditegakkan maka masyarakat yang sudah terbiasa dengan pelanggaran justru

menganggap itu membelenggu kebebasan. Karena memang, awalnya sudah terbiasa

melanggar dan tidak pernah mendapat teguran dan sanksi.

“Nah jangan sekali-kali membiarkan pelanggaran hukum terjadi

terus-menerus apalagi kalau sampai sistematis, maka ketika akan ditegakkan

aturan hukum itu munculah istilah kriminalisasi dan banyak alasan untuk dicari

pembenarannya,” tukasnya.

Sebagai pimpinan daerah, mantan Wali Kota Pontianak ini berkomitmen

untuk selalu menegakkan aturan yang ada. Itulah mengapa ketika saat masih

menjabat sebagai Wali Kota, dalam satu tahun ia bisa memberikan sanksi kepada

sekitar 1.400 pelanggar peraturan daerah (perda).

“Bahkan Kepala Dinas saya tilang, karena saya tidak mau

pelanggaran aturan dibiarkan, sehingga suatu waktu orang anggap itu bukan

pelanggaran lagi. Itulah yang terjadi,” ucapnya.

Ia juga menyoroti fenomena pelajar yang tak segan melakukan

kekerasan terhadap tenaga pendidik di sekolah. Kasus-kasus seperti ini

menurutnya baru mencuat di era pasca reformasi.

Jika banyak yang menganggap itu karena maraknya media

sosial, Midji beranggapan justru tidak. Hal tersebut terjadi memang karena

adanya pembiaran terhadap pelanggaran yang seperti itu.

“Ketika ada anak di bawah umur melakukan tindakan sampai

menghilangkan nyawa orang, lalu biasanya KPAI beralasan masih di bawah umur dan

lain sebagainya. Tidak ada aturan ini itu dan sebagainya,” paparnya.

Padahal di negara maju, lanjut dia, ketika hak asasi orang

dihilangkan oleh siapapun, tanpa memandang umur, sanksi tetap diberikan. Di

Indonesia, kata dia, justru sebaliknya. Sanksinya sangat ringan hingga akhirnya

anak menganggap hal itu sepele.

“Hukum tanpa sanksi itulah akibatnya. Aturan banyak tapi tak

pernah diimplementasikan dengan baik. Tidak untuk menyalahkan generasi

milenial, tapi harus ada reposisi dalam memberikan pemahaman aturan hukum pada

mereka,” tandasnya. (*/Fai)

Artikel Selanjutnya
Sertijab Kepala Kanwil Kemenkumham Kalbar, Ini Harapan Pemprov
Jumat, 15 Februari 2019
Artikel Sebelumnya
Karolin Sebut 2019 Pemkab Landak Sudah Siapkan Anggaran Pencegahan Karhutla
Jumat, 15 Februari 2019

Berita terkait