Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Jumat, 15 Februari 2019 |
KalbarOnline,
Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji mengaku prihatin dengan
maraknya pelanggaran terhadap aturan hukum yang terjadi saat ini. Menurut dia,
hal tersebut terjadi lantaran banyak pembiaran terhadap pelanggaran tanpa ada
sanksi yang konkret.
Hal itu disampaikan Midji saat menjadi pembicara diskusi
publik pendidikan Pancasila demi terciptanya moralitas generasi milenial di
Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Kamis (14/2).
Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura ini mengatakan bahwa kebiasaan
terhadap pelanggaran tersebut kemudian mempengaruhi moral masyarakat secara
umum, khususnya generasi muda. Seperti yang baru-baru ini terjadi kasus
perusakan kendaraan oleh seorang pemuda yang tak terima ditilang oleh polisi.
“Pelanggaran aturan hukum yang dibiarkan akhirnya membuat
aturan hukum itu tidak lagi dianggap sebagai aturan. Itu penyebabnya,” ujarnya.
Jika sudah demikian, lanjut dia, ketika aturan harus
ditegakkan maka masyarakat yang sudah terbiasa dengan pelanggaran justru
menganggap itu membelenggu kebebasan. Karena memang, awalnya sudah terbiasa
melanggar dan tidak pernah mendapat teguran dan sanksi.
“Nah jangan sekali-kali membiarkan pelanggaran hukum terjadi
terus-menerus apalagi kalau sampai sistematis, maka ketika akan ditegakkan
aturan hukum itu munculah istilah kriminalisasi dan banyak alasan untuk dicari
pembenarannya,” tukasnya.
Sebagai pimpinan daerah, mantan Wali Kota Pontianak ini berkomitmen
untuk selalu menegakkan aturan yang ada. Itulah mengapa ketika saat masih
menjabat sebagai Wali Kota, dalam satu tahun ia bisa memberikan sanksi kepada
sekitar 1.400 pelanggar peraturan daerah (perda).
“Bahkan Kepala Dinas saya tilang, karena saya tidak mau
pelanggaran aturan dibiarkan, sehingga suatu waktu orang anggap itu bukan
pelanggaran lagi. Itulah yang terjadi,” ucapnya.
Ia juga menyoroti fenomena pelajar yang tak segan melakukan
kekerasan terhadap tenaga pendidik di sekolah. Kasus-kasus seperti ini
menurutnya baru mencuat di era pasca reformasi.
Jika banyak yang menganggap itu karena maraknya media
sosial, Midji beranggapan justru tidak. Hal tersebut terjadi memang karena
adanya pembiaran terhadap pelanggaran yang seperti itu.
“Ketika ada anak di bawah umur melakukan tindakan sampai
menghilangkan nyawa orang, lalu biasanya KPAI beralasan masih di bawah umur dan
lain sebagainya. Tidak ada aturan ini itu dan sebagainya,” paparnya.
Padahal di negara maju, lanjut dia, ketika hak asasi orang
dihilangkan oleh siapapun, tanpa memandang umur, sanksi tetap diberikan. Di
Indonesia, kata dia, justru sebaliknya. Sanksinya sangat ringan hingga akhirnya
anak menganggap hal itu sepele.
“Hukum tanpa sanksi itulah akibatnya. Aturan banyak tapi tak
pernah diimplementasikan dengan baik. Tidak untuk menyalahkan generasi
milenial, tapi harus ada reposisi dalam memberikan pemahaman aturan hukum pada
mereka,” tandasnya. (*/Fai)
KalbarOnline,
Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji mengaku prihatin dengan
maraknya pelanggaran terhadap aturan hukum yang terjadi saat ini. Menurut dia,
hal tersebut terjadi lantaran banyak pembiaran terhadap pelanggaran tanpa ada
sanksi yang konkret.
Hal itu disampaikan Midji saat menjadi pembicara diskusi
publik pendidikan Pancasila demi terciptanya moralitas generasi milenial di
Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Kamis (14/2).
Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura ini mengatakan bahwa kebiasaan
terhadap pelanggaran tersebut kemudian mempengaruhi moral masyarakat secara
umum, khususnya generasi muda. Seperti yang baru-baru ini terjadi kasus
perusakan kendaraan oleh seorang pemuda yang tak terima ditilang oleh polisi.
“Pelanggaran aturan hukum yang dibiarkan akhirnya membuat
aturan hukum itu tidak lagi dianggap sebagai aturan. Itu penyebabnya,” ujarnya.
Jika sudah demikian, lanjut dia, ketika aturan harus
ditegakkan maka masyarakat yang sudah terbiasa dengan pelanggaran justru
menganggap itu membelenggu kebebasan. Karena memang, awalnya sudah terbiasa
melanggar dan tidak pernah mendapat teguran dan sanksi.
“Nah jangan sekali-kali membiarkan pelanggaran hukum terjadi
terus-menerus apalagi kalau sampai sistematis, maka ketika akan ditegakkan
aturan hukum itu munculah istilah kriminalisasi dan banyak alasan untuk dicari
pembenarannya,” tukasnya.
Sebagai pimpinan daerah, mantan Wali Kota Pontianak ini berkomitmen
untuk selalu menegakkan aturan yang ada. Itulah mengapa ketika saat masih
menjabat sebagai Wali Kota, dalam satu tahun ia bisa memberikan sanksi kepada
sekitar 1.400 pelanggar peraturan daerah (perda).
“Bahkan Kepala Dinas saya tilang, karena saya tidak mau
pelanggaran aturan dibiarkan, sehingga suatu waktu orang anggap itu bukan
pelanggaran lagi. Itulah yang terjadi,” ucapnya.
Ia juga menyoroti fenomena pelajar yang tak segan melakukan
kekerasan terhadap tenaga pendidik di sekolah. Kasus-kasus seperti ini
menurutnya baru mencuat di era pasca reformasi.
Jika banyak yang menganggap itu karena maraknya media
sosial, Midji beranggapan justru tidak. Hal tersebut terjadi memang karena
adanya pembiaran terhadap pelanggaran yang seperti itu.
“Ketika ada anak di bawah umur melakukan tindakan sampai
menghilangkan nyawa orang, lalu biasanya KPAI beralasan masih di bawah umur dan
lain sebagainya. Tidak ada aturan ini itu dan sebagainya,” paparnya.
Padahal di negara maju, lanjut dia, ketika hak asasi orang
dihilangkan oleh siapapun, tanpa memandang umur, sanksi tetap diberikan. Di
Indonesia, kata dia, justru sebaliknya. Sanksinya sangat ringan hingga akhirnya
anak menganggap hal itu sepele.
“Hukum tanpa sanksi itulah akibatnya. Aturan banyak tapi tak
pernah diimplementasikan dengan baik. Tidak untuk menyalahkan generasi
milenial, tapi harus ada reposisi dalam memberikan pemahaman aturan hukum pada
mereka,” tandasnya. (*/Fai)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini