KalbarOnline.com – Sejarah mencatat, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri, baik pendatang dari India, Tiongkok, Portugis, Arab, dan Belanda. Setiap keyakinan dan agama yang hadir di Nusantara disambut secara harmonis, termasuk ketika para saudagar Muslim menjelajahi dan bersinggah di Nusantara.
Sebelum Islam masuk di Nusantara, Hindu dan Buddha telah dibawa ke Indonesia sekitar abad ke-2 dan ke-4 Masehi ketika pedagang dari India datang ke Sumatra, Jawa, dan Sulawesi. Hindu mulai berkembang di pulau Jawa pada abad ke-5 Masehi dengan Kasta Brahmana yang memuja Dewa Siwa.
Kaum pedagang juga mengembangkan ajaran Buddha pada abad berikutnya. Lebih lanjut, sejumlah ajaran Buddha dan Hindu telah memengaruhi kerajaan-kerajaan besar, seperti Kutai, Sriwijaya, Majapahit, dan Syailendra.
Sebuah candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah telah dibangun oleh Kerajaan Syailendra. Pada waktu yang bersamaan dibangun pula candi Hindu, Prambanan di Yogyakarta. Puncak kejayaan Hindu-Jawa, Kerajaan Majapahit, terjadi pada abad ke-14 Masehi yang juga menjadi zaman keemasan dalam sejarah Indonesia.
Sejurus dengan zaman keemasan Majapahit, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Salah satu teori menyebut, berawal dari Gujarat-India, Islam menyebar sampai pantai barat Sumatra kemudian berkembang ke timur pulau Jawa.
Pada periode tersebut terdapat beberapa kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, dan Banten. Pada akhir abad ke-15 Masehi, sebanyak 20 kerajaan Islam telah dibentuk. Setidaknya ada lima versi terkait teori-teori tentang masuknya ajaran Islam ke Nusantara beserta para pembawanya dan asalnya dari mana, yakni teori Arab (Timur Tengah), teori Cina, teori Gujarat (India), teori Persia (Iran), dan teori Maritim.
Dari teori-teori tersebut, teori Maritim merupakan satu-satunya teori yang menjelaskan bahwa Islam disebarkan oleh orang-orang Nusantara sendiri melalui aktivitas pelayaran. Mereka kemudian memperkenalkan Islam di jalur perniagaan yang disinggahi.
Ini terjadi pada sekitar abad ke-7 M dan dimulai dari pesisir Aceh, seterusnya hingga tersebar luas. Teori Maritim meyakini bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotori oleh orang lokal sendiri yang ulung dalam bidang pelayaran dan perdagangan.
Mereka berlayar ke negeri-negeri yang jauh, termasuk ke wilayah asal Islam atau negeri yang sudah menganut Islam, berinteraksi dengan orang-orang di sana, dan kembali ke tanah air dengan membawa ajaran Islam yang kemudian disebarkan.
Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragam suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya. Suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman.
Jika dilihat dari sudut antropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan budaya dari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa. Struktur sosial, ekonomi, dan budayanya agak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir.
Mereka yang berdiam di pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri fisik dan sosial budaya yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan budaya dari luar. Teori lain tentang masuknya Islam di Indonesia ialah berasal dari Tiongkok.
Dalam hal ini, Sejarawan Agus Sunyoto (2015) menjelaskan, jika menelusuri proses islamisasi di Nusantara, maka akan ditemukan satu fakta bahwa pada rentang waktu 800 tahun, Islam belum bisa diterima pribumi secara massal. Islam hanya dipeluk oleh orang-orang non-pribumi.
Agus Sunyoto berpijak pada catatan utusan Dinasti Tang di Kerajaan Kalingga pada 674 Masehi bahwa sudah ada saudagar dari Timur Tengah yang datang ke Jawa. Setelah itu, tidak pernah ada satu sumber pun yang menyatakan bahwa Islam diterima pribumi secara massal sampai tahun 1292 sebelum ada Kerajaan Majapahit.
Agus Sunyoto juga mengungkapkan bahwa Marcopolo ketika pulang dari Tiongkok lewat laut, singgah di Pelabuhan Perlak, Aceh. Marcopolo mencatat penduduk di kota itu, persisnya di sekitar Selat Malaka, Aceh Timur, dihuni oleh sebagian etnis Tionghoa.
Semuanya beragama Islam. Tepatnya, 100 tahun kemudian, Cheng Ho datang ke Nusantara saat perpindahan dari Dinasti Yuan ke Dinasti Ming. Pada 1405, Cheng Ho mencatat Raja Mahapahit saat itu Wikramawardhana.
Dia singgah di pelabuhan Tuban, yaitu pelabuhan besar milik Majapahit. Di situ dia menemukan etnis Tionghoa tinggal di sekitar pelabuhan. Mereka semuanya Muslim. Cheng Ho kemudian singgah di pelabuhan Gresik.
Ternyata di Gresik ada 1.000 keluarga Tionghoa yang semuanya Muslim. Kemudian, di Surabaya juga ada seribuan keluarga Tionghoa beragama Islam. Itu terjadi pada 1405 M ketika Cheng Ho pertama kali datang ke Nusantara. Dia sendiri bolak-balik ke Jawa hingga tujuh kali. Kunjungan terakhirnya pada 1433 M. Saat itu, Cheng Ho mengajak juru tulis bernama Ma Huan.
Dalam catatan Ma Huan, di kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa dihuni tiga kelompok masyarakat. Pertama, etnis Tionghoa semua beragama Islam. Kedua, dari Barat, yaitu Arab dan Persia yang juga beragama Islam. Ketiga, pribumi. Masih menurut catatan Ma Huan, semua penduduk pribumi di sepanjang pantai utara Jawa masih belum mengenal agama Islam. [sam]
Sumber: nu.or.id
Comment