Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Redaksi KalbarOnline |
| Jumat, 04 September 2020 |
KalbarOnline.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyesalkan tidak transparannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada Selasa (1/9). ICW pun menilai tidak logis syarat usia Hakim Konstitusi dinaikan menjadi 55 tahun.
“Sejak awal ICW serta Koalisi Masyarakat Sipil lainnya tidak mengerti apa argumentasi logis yang dapat diterima akal sehat publik ketika pembentuk UU menaikkan syarat usia Hakim MK menjadi 55 tahun,” kata prneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada KalbarOnline.com, Jumat (4/9).
Kurnia menyatakan, dalih yang dikemukakan terkait dengan kualitas serta kematangan ilmu tidak bisa sepenuhnya diterima. Malah preseden sebelumnya menunjukkan hal yang sebaliknya.
“Mantan Hakim MK, Patrialis Akbar, terjaring praktik korupsi saat berusia 59 tahun, Jadi soal umur itu tak logis,” cetus Kurnia.
Menurut Kurnia, kenaikan syarat usia sebagaimana problematika di dalam RUU MK ini terasa seperti pengalaman yang telah berulang dan tidak memiliki nilai manfaat. Sebab, sebelumnya dalam RUU KPK juga terjadi hal serupa.
“Contohnya dalam UU KPK lama juga disebutkan syarat menjadi Pimpinan KPK adalah 40 tahun, namun dengan berlakunya UU KPK baru dinaikkan menjadi 50 tahun,” cetus Kurnia.
ICW meyakini, UU MK yang baru akan ‘dibanjiri’ permohonan uji formil maupun uji materiil dari masyarakat luas.
“Sebab, jika ditelisik lebih jauh, baik formil maupun materiil sama sekali tidak ditujukan untuk memperkuat MK,” tegasnya.
Sebelumnya, DPR RI telah mengesahkan RUU MK dalam rapat paripurna pada Senin (1/9). RUU ini tetap disahkan meski menuai polemik di tengah masyarakat.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly pun menyampaikan ucapan terima kasih pemerintah atas persetujuan DPR untuk mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang.
“Kami mewakili Presiden menyampaikan ucapan terima kasih kepada pimpinan dan anggota Komisi III DPR RI yang terhormat, tenaga ahli Komisi III DPR RI, serta Sekretariat Komisi III DPR RI yang dengan penuh dedikasi dan kerja keras dapat menyelesaikan pembahasan RUU ini,” kata Yasonna dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/9).
Yasonna menyebut, pengesahan RUU MK menjadi UU akan menjadi dasar yuridis dalam menetapkan syarat untuk menjadi hakim konstitusi.
“Sehingga menjadi landasan yuridis mengenai syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi, syarat dan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi yang lebih baik secara proporsional, namun tetap konstitusional,” cetus Yasonna.
Adapun sebelumnya pemerintah telah menyampaikan lima usulan terkait pembahasan RUU MK. Usulan tersebut adalah tentang batas usia minimum dan usia maksimum hakim konstitusi, persyaratan Hakim Konstitusi yang berasal dari lingkungan peradilan Mahkamah Agung, dan batas waktu pemberhentian Hakim Konstitusi karena berakhir masa jabatannya.
Selain itu, pemerintah juga memberikan usulan tentang anggota Majelis Kehormatan MK yang berasal dari akademisi dengan latar belakang di bidang hukum serta legitimasi Hakim Konstitusi yang sedang menjabat terkait dengan perubahan UU tersebut.
KalbarOnline.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyesalkan tidak transparannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disahkan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada Selasa (1/9). ICW pun menilai tidak logis syarat usia Hakim Konstitusi dinaikan menjadi 55 tahun.
“Sejak awal ICW serta Koalisi Masyarakat Sipil lainnya tidak mengerti apa argumentasi logis yang dapat diterima akal sehat publik ketika pembentuk UU menaikkan syarat usia Hakim MK menjadi 55 tahun,” kata prneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada KalbarOnline.com, Jumat (4/9).
Kurnia menyatakan, dalih yang dikemukakan terkait dengan kualitas serta kematangan ilmu tidak bisa sepenuhnya diterima. Malah preseden sebelumnya menunjukkan hal yang sebaliknya.
“Mantan Hakim MK, Patrialis Akbar, terjaring praktik korupsi saat berusia 59 tahun, Jadi soal umur itu tak logis,” cetus Kurnia.
Menurut Kurnia, kenaikan syarat usia sebagaimana problematika di dalam RUU MK ini terasa seperti pengalaman yang telah berulang dan tidak memiliki nilai manfaat. Sebab, sebelumnya dalam RUU KPK juga terjadi hal serupa.
“Contohnya dalam UU KPK lama juga disebutkan syarat menjadi Pimpinan KPK adalah 40 tahun, namun dengan berlakunya UU KPK baru dinaikkan menjadi 50 tahun,” cetus Kurnia.
ICW meyakini, UU MK yang baru akan ‘dibanjiri’ permohonan uji formil maupun uji materiil dari masyarakat luas.
“Sebab, jika ditelisik lebih jauh, baik formil maupun materiil sama sekali tidak ditujukan untuk memperkuat MK,” tegasnya.
Sebelumnya, DPR RI telah mengesahkan RUU MK dalam rapat paripurna pada Senin (1/9). RUU ini tetap disahkan meski menuai polemik di tengah masyarakat.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly pun menyampaikan ucapan terima kasih pemerintah atas persetujuan DPR untuk mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang.
“Kami mewakili Presiden menyampaikan ucapan terima kasih kepada pimpinan dan anggota Komisi III DPR RI yang terhormat, tenaga ahli Komisi III DPR RI, serta Sekretariat Komisi III DPR RI yang dengan penuh dedikasi dan kerja keras dapat menyelesaikan pembahasan RUU ini,” kata Yasonna dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (1/9).
Yasonna menyebut, pengesahan RUU MK menjadi UU akan menjadi dasar yuridis dalam menetapkan syarat untuk menjadi hakim konstitusi.
“Sehingga menjadi landasan yuridis mengenai syarat untuk menjadi Hakim Konstitusi, syarat dan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi yang lebih baik secara proporsional, namun tetap konstitusional,” cetus Yasonna.
Adapun sebelumnya pemerintah telah menyampaikan lima usulan terkait pembahasan RUU MK. Usulan tersebut adalah tentang batas usia minimum dan usia maksimum hakim konstitusi, persyaratan Hakim Konstitusi yang berasal dari lingkungan peradilan Mahkamah Agung, dan batas waktu pemberhentian Hakim Konstitusi karena berakhir masa jabatannya.
Selain itu, pemerintah juga memberikan usulan tentang anggota Majelis Kehormatan MK yang berasal dari akademisi dengan latar belakang di bidang hukum serta legitimasi Hakim Konstitusi yang sedang menjabat terkait dengan perubahan UU tersebut.
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini