Merekayasa Obat Lama untuk Pengobatan Covid-19

Sampai bulan September 2020, jumlah kasus COVID-19 yang terkonfirmasi di seluruh dunia mencapai lebih dari 30 juta, dengan jumlah kematian yang meningkat sekitar satu juta. Namun, hingga saat ini, obat yang ampuh dan vaskin belum tersedia.

IKLANSUMPAHPEMUDA

Kita tidak tahu kapan krisis ini akan berakhir. Kekebalan populasi (herd immunity) disebut bisa mengakhiri pandemi ini, namun syaratnya adalah minimal 70% populasi dunia sudah terinfeksi dan memiliki kekebalan alami terhadap virus penyebab Covid-19. Padahal saat ini populasi dunia yang sudah memiliki kekebalan alami hanya kurang dari 1%,” jelas Wang-Shick Ryu, PhD, selaku CEO of Institute Pasteur Korea.

Ryu berbicara dari Korea Selatan dalam sesi Daewoong Media Day (DMD), 29 September 2020, melalui konferensi pers online dengan beberapa perawakilan media massa di Jakarta. Ia melanjutkan, untuk mencapai kekebalan populasi 70%, setidaknya dibutuhkan waktu 7 tahun. Bisa dibayangkan pengorbanan yang harus dilalui, terutama dalam jumlah korban sakit dan meninggal dunia.

Oleh karena itu, penemuan vaksin dan obat yang ampuh untuk Covid-19 tidak bisa ditunda. Bagaimana strategi agar vaksin dan obat segera tersedia, mengingat normalnya dibutuhkan waktu 5-10 tahun untuk membuatnya?

Baca juga: Ini Dia Kandidat Obat untuk Mengatasi Infeksi Coronavirus COVID-19

Enam Kandidat Vaksin Masuk Uji Klinis Fase 3

Sejak pendemi Covid-19 merebak 9 bulan lalu, sudah ada beberapa kandidat vaksin Covid-19 yang dikembangkan. Beberapa bahkan sudah memasuki fase uji klinis pada manusia. Menurut Ryu, vaksin konvensional atau vaksin antigen dibuat dengan memanfaatkan virus utuh yang sudah mati atau dilemahkan, dan vaksin rekombinan (mengambil sebagian partikel virus).

Baca Juga :  Gencarkan Sosialisasi PMBA, AIMI Kalbar Gandeng Kader Posyandu Sejumlah Kecamatan

Khusus vaksin Covid-19, ada 3 kelompok vaksin rekombinan yang dikembangkan yakni vaksin adenovirus (vaksin vektor), vaksin mRNA, serta vaksin DNA. “Untuk virus baru seperti Covid-19, dibutuhkan waktu minimal 5 tahun untuk membuatnya. Namun, ada beberapa tahapan pembuatan vaksin yang dikompresi sehingga kemungkinan hanya dibutuhkan waktu 1-2 tahun,” ujar Ryu.

Menurut Ryu, kita patut berharap pada vaksin ini mengingat dalam waktu 9 bulan saja sudah ada 6 kandidat vaksin yang sudah masuk uji klinis fase 3. Diharapkan tahun depan, vaksin Covid-19 sudah tersedia dan digunakan secara massal di seluruh dunia, secara bertahap. Harapannya, pandemi bisa segera diakhiri.

Baca juga: Intip Pengembangan Vaksin Covid-19 di Lembaga Eijkman, Sudah Sejauh Mana?

Obat Lama untuk Pengobatan Covid-19

Saat pandemi tengah mencapai puncaknya di Eropa, peneliti di Inggris menemukan bahwa dexamethasone terbukti efektif mengurangi risiko kematian pada pasien Covid-19 dengan gejala berat. Sebelumnya, obat malaria klorokuin, juga sudah digunakan untuk meringankan gejala Covid-19.

Saat ini dua obat yang disetujui untuk pengobatan Covid-19 dengan gejala berat adalah dexamethasone dan remdesivir. “Remdesivir terbukti mengurangi perawatan selama 4 hari dan sedikit kematian. Sedangkan dexamethasone menurunkan kematian hingga 30%,” jelas Ryu.

Namun, tentu itu belum memuaskan. Nyatanya, kematian pasien Covid-19 dengan gejala berat tetap tinggi. Dibutuhkan obat-obatan yang lebih superior. Padahal, sama dengan vaksin, untuk membuat obat baru pun dibutuhkan waktu 5-10 tahun. Maka, menurut Ryu, salah satu strategi yang digunakan adalah mereposisi obat lama yang sudah ada. Artinya, obat lama diteliti kembali untuk melihat aktivitas antivirusnya untuk melawan Covid-19, sehingga didapatkan indikasi baru sebagai obat Covid-19.

Baca Juga :  Cegah Coronavirus, Ini Tips Aman Pesan Makanan Lewat Ojek Online

Perusahaan farmasi asal Korea Selatan, Daewoong Pharmaceutical, saat ini tengah meneliti dua jenis kandidat obat untuk perawatan COVID-19, yaitu Camostat dan Niclosamide. Keduanya bukan obat yang sama sekali baru. Camostat adalah obat yang telah dipasarkan sejak tahun 2012 untuk pengobatan pankreatitis (radang pankreas).

Dengan mempertimbangkan cara kerjanya, produk ini diharapkan efektif dalam merawat pasien bergejala ringan dan sedang, yang melingkupi 80% dari seluruh pasien COVID-19. Nantinya obat tersedia dalam bentuk oral sehingga pasien tidak perlu rawat inap,” jelas CEO Daewong, Sengho Jeon.

Obat kedua adalah Niclosamide, yang merupakan obat cacing (antelmintik). Berdasarkan penelitian, Niclosamide telah terbukti memiliki efek antivirus yang lebih unggul dibandingkan dengan remdesivir atau klorokuin. Untuk Covid-19, niclosamide diberikan dalam bentuk injeksi, tidak seperti obat asalnya yang berbentuk oral. Hal ini karena efektivitasnya dapat menurun apabila diberikan sebagai obat oral.

Sebelumnya, Daewoong Pharmaceutical juga sudah mengembangkan uji klinis sel punca, dan sudah memasuki tahap uji klinis bekerjsama dengan Kementerian Kesehatan RI. Untuk perawatan berbasis sel punca, kami akan menyelesaikan uji klinis dan mendapatkan persetujuan Izin Penggunaan Darurat (EUA) tahun depan dan menyediakannya untuk masyarakat Indonesia,” tambah Jeon.

Baca juga: Kandidat Obat Covid-19 dari Sel Punca

Sumber:

Daewoong Media Day (DMD), 29 September 2020.

Comment