Beberapa hari terakhir media ramai diwarnai dengan pemberitaan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia melakukan pencabutan terhadap emergency use authorization (EUA) obat hidroksiklorokuin dan klorokuin untuk pengobatan COVID-19.
Sebagai apoteker, saya mendapat beberapa pertanyaan baik dari keluarga maupun teman mengenai pemberitaan ini. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan pencabutan emergency use authorization untuk kedua obat tersebut? Dan apa pula dampaknya pada pengobatan COVID-19?
Nah, berikut ini saya akan coba menjelaskannya sesuai dengan Klarifikasi Badan POM mengenai hal ini.
Baca juga: Merekayasa Obat Lama untuk Pengobatan Covid-19
Apa Itu Emergency Use Authorization (EUA)?
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita melihat kembali mengenai emergency use authorization atau EUA. Geng Sehat sekalian pasti mengetahui bahwa semua obat, bahan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang beredar di Indonesia wajib memiliki izin edar.
Dengan dimilikinya izin edar, suatu produk dikatakan memenuhi aspek keamanan, mutu, dan khasiat jika digunakan, di mana hal ini dapat diketahui melalui serangkaian uji, untuk obat dinamakan dengan uji klinik.
Di masa pandemi COVID-19, tentu dibutuhkan hadirnya obat untuk terapi penyakit ini secara cepat. Padahal, semua kandidat obat masih dalam tahap uji klinis sehingga izin edar belum dapat dikeluarkan.
Untuk ‘menengahi’ kebutuhan agar tersedia pilihan terapi untuk COVID-19 namun tanpa mengorbankan aspek keamanan, mutu, dan khasiat dari obat tersebut, maka regulator obat di Indonesia yakni Badan POM mengeluarkan emergency use authorization (EUA) untuk beberapa obat.
EUA bukanlah izin edar. EUA adalah bentuk persetujuan penggunaan obat selama kondisi emergency kesehatan masyarakat untuk obat yang belum mendapat izin edar, atau obat yang telah memiliki izin edar namun dalam kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat – seperti pandemi COVID-19 ini – digunakan untuk indikasi baru.
EUA untuk suatu obat diberikan dengan banyak kondisi dan persyaratan, terutama uji klinik dan pemantauan post marketing atau farmakovigilans yang tepat, serta adanya informasi kepada tenaga kesehatan maupun pasien yang menggunakan obat ini.
Baca juga: Bisa Cegah Keparahan Covid-19, Kenali Kandungan Vaksin Influenza
EUA Hidroksiklorokuin dan Klorokuin untuk Pengobatan COVID-19
Pada awal pandemi, Badan POM mengeluarkan EUA untuk hidroksiklorokuin dan klorokuin yang mengatur bahwa kedua obat ini dapat digunakan untuk COVID-19. Kedua obat ini bukanlah obat baru baik di Indonesia maupun di dunia.
Di Indonesia, hidroksiklorokuin sudah beredar sebelum pandemi COVID-19 untuk indikasi pengobatan pada lupus eritematosus sistemik atau SLE. Sedangkan klorokuin tidak beredar lagi di Indonesia, dimana dahulu digunakan sebagai obat antimalaria namun kemudian digantikan dengan obat antimalaria lain salah satunya karena Plasmodium penyebab malaria sudah resisten terhadap klorokuin.
Dengan dikeluarkannya EUA tersebut, maka hidroksiklorokuin dan klorokuin dapat digunakan dalam terapi pasien dengan COVID-19. Sesuai dengan yang tercantum dalam Informatorium Obat COVID-19 yang dikeluarkan Badan POM pada Maret 2020 yang lalu, hidroksiklorokuin dan klorkuin digunakan pada penggunaan emergensi atau terbatas untuk pandemik COVID-19 bagi pasien dewasa atau remaja dengan berat badan 50 kg atau lebih dan dirawat di rumah sakit.
Tercantum pula hal-hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan kedua obat ini, antara lain perlu dilakukan pemantauan elektrokardiogram (EKG) selama pemberian obat untuk mendeteksi efek samping perpanjangan gelombang QT (QT prolongation) . QT prolongation adalah suatu kondisi dimana terjadi abnormalitas kelistrikan pada jantung, yang jika dibiarkan terus-menerus dapat menyebabkan aritmia jantung.
Pada bulan November 2020, dengan memperhatikan aspek keamanan dari hidroksiklorokuin dan klorokuin, maka Badan POM mencabut EUA kedua obat ini untuk pengobatan COVID-19. Hal ini didasarkan dari laporan hasil penelitian observasional selama 4 bulan di tujuh rumah sakit di Indonesia, yang menyebutkan dari 213 kasus yang diteliti, efek QT prolongation terjadi pada 28,2 persen kasus yang diteliti tersebut.
Hal ini juga senada dengan hasil studi klinik global termasuk Solidarity Trial yang dihentikan oleh World Health Organization (WHO) karena dinilai memiliki risiko lebih besar daripada manfaatnya. Jadi, pencabutan EUA dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari efek yang tidak diharapkan dari kedua obat tersebut terutama karena risiko dari penggunaan obat lebih besar dari manfaatnya dalam mengobati COVID-19.
Baca juga: Kombinasi Fatal Diabetes dan Covid-19, Lakukan Pencegahan Berikut!
Hidroksiklorokuin tetap dapat digunakan untuk indikasi lain
Dengan dicabutnya EUA hidroksiklorokuin dan klorokuin untuk pengobatan COVID-19, hal ini berarti kedua obat ini sudah tidak dapat digunakan untuk pengobatan COVID-19. Namun, masih dapat digunakan untuk indikasi lain yang sebelumnya sudah disetujui. Dalam hal ini, hidroksiklorokuin tetap dapat beredar dan digunakan sebagai terapi dalam kasus lupus erimatosus sistemik atau SLE. Sementara untuk klorokuin memang sudah tidak akan beredar karena sebelumnya tidak memiliki indikasi yang terdaftar.
Saat ini ada beberapa yang memiliki EUA untuk pengobatan COVID-19, yaitu remdesivir dan favipiravir. Geng Sehat, itulah dia maksud di balik pencabutan emergency use authorization atau EUA obat hidroksiklorokuin dan klorokuin untuk pengobatan COVID-19.
Kedua obat ini sudah tidak dapat digunakan untuk pengobatan COVID-19 karena risiko yang ditimbulkan pada penggunaannya lebih besar daripada manfaatnya dalam mengobati COVID-19 terutama efek perpanjangan gelombang QT atau QT prolongation. Meskipun demikian, hidroksiklorokuin tetap dapat digunakan untuk indikasi lainnya yang terdaftar yakni lupus eritematosus sistemik. Salam sehat!
Baca juga: Waspadai Kecemasan Sosial di Masa Pandemi COVID-19
Referensi:
Comment