KalbarOnline.com – Sejumlah wartawan yang melakukan peliputan demonstrasi penolakan Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja di Jakarta, pada Kamis (8/10) kemarin turut mendapat tindakan represif hingga diamankan oleh aparat kepolisian. Sedikitnya, lima orang jurnalis dari berbagai media massa ditangkap saat melakukan peliputan dalam unjuk rasa tersebut.
Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin mengecam tindakan represif terhadap sejumlah jurnalis yamg mendapatkan kekerasan hingga penangkapan saat melakukan peliputan demonstrasi penolakan Omnibus Law di Jakarta.
“Di Jakarta saja kami mencatat sedikitnya lima jurnalis yang mendapatkan kekerasan. Belum ditmbah pers mahasiswa,” kata Ade kepada KalbarOnline.com, Jumat (9/10).
Ade menyampaikan, pihaknya saat ini masih melakukan pendataan di kantor-kantor kepolisian untuk memberikan bantuan hukum kepada jurnalis maupun massa aksi yang ditangkap.
“Saat ini LBH Pers bersama tim advokasi lainya sedang standby dibeberpa kantor polisi untuk memberikan bantuan hukum kepasa jurnalis maupun masa aksi yang ditangkap,” ucap Ade.
Berdasarkan catatan KalbarOnline.com, jurnalis merahputih.com Ponco Sulaksono turut diamankan di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Padahal saat melakukan peliputan, Ponco memakai kartu pers dan mengenakan jaket bertuliskan pers.
Selain itu, seorang jurnalis CNNIndonesia.com bernama Thohirin juga mendapat tindakan represif dari aparat kepolisian di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Padahal, Thohirin juga mengenakan tanda pengenalnya sebagai wartawan, namun tak diindahkan. Justru alat kerjanya berupa telepon genggam dibanting oleh aparat kepolisian.
Hal serupa juga terjadi pada jurnalis Suara.com bernama Peter Rotti di kawasan MH Thmarin, Jakarta Pusat. Peter melakukan perekeman terhadap polisi yang menganiaya peserta aksi dari kalangan mahasiswa. Namun justru, polisi ingin merampas kameranya tersebut, Peter pun menolak, lantas mendapat tindakan represif oleh polisi.
Ade menyayangkan tindakan represif yang dilakukan polisi terhadap para jurnalis yang melakukan peliputan. Padahal, kinerja jurnalis dijamin haknya dalam Undang-Undang Pers.
“Kami menyayangkan sikap aparat yang tidak profesional menjaga masyarakat saat menyampaikan aspirasinya atau pada jurnalis yang sedang menjalankan UU Pers demi kepentingan publik yang lebih luas,” cetus Ade.
Oleh karena itu, Ade mengharapkan tindakan represif aparat kepolisian kepada jurnalis harus didokumentasikan secara lebih jelas. Hal ini agar peristiwa tersebut bisa dipertanggung jawabkan.
“Saat ini yang pastinya setiap peristiwa kekerasan harus benar-benar didokumentasikan betul, bukti dan lain-lain. Sehingga pasca ini, kita segera menuntut pertanggungjawaban melalui proses hukum,” tegas Ade.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus membenarkan pihaknya turut mengamankan sejumlah jurnalis dalam aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law pada Kamis (8/10) kemarin. Sejumlah massa dikumpulkan di Polda Metro Jaya dan sejumlah Polres. “Mungkin itu entah di Polda dan di Polres,” ujar Yusri.
Yusri mengaku, hingga saat ini polisi masih mendalami dan melakukan pendataan terhadap sejumlah massa yang ditangkap. “Mungkin mereka demo-demo juga, kita pendalaman, kita mendata,” katanya. (*)
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment