KalbarOnline.com – Kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2020–2025 terbentuk. Rais Am PB NU KH Miftachul Akhyar terpilih sebagai ketua umum MUI menggantikan KH Ma’ruf Amin yang kini menjabat wakil presiden.
Dalam pidato setelah dikukuhkan sebagai ketua umum MUI, Miftachul banyak menyinggung soal dakwah yang menjadi tugas utama para ulama.
”Ini amanah berat. Bukan berarti saya lebih baik daripada yang lain,” katanya dalam penutupan Munas Ke-10 MUI di Jakarta kemarin (27/11).
Sebaliknya, saat ini Miftachul merasa lebih terbebani daripada ulama-ulama yang lain. Sebab, bukan hanya anak bangsa, saat ini umat di dunia juga menanti kiprah MUI. Di tengah era teknologi yang makin pesat, kata dia, zaman penuh ketidakjelasan. Semua pihak saling menyatakan kebenarannya. Umat disuguhi pergolakan-pergolakan. Nah, di tengah kondisi tersebut, peran ulama sangat diperlukan. Bagi Miftachul, ulama adalah pewaris (baca: penerus) para nabi. ”Kita angkat kembali bagaimana jati diri ulama,” ucapnya.
Menurut pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya itu, bagi ulama, tidak ada tugas lain yang lebih tinggi daripada berdakwah. ”(Berdakwah itu, Red) merangkul, bukan memukul. Menyayangi, bukan menyaingi. Mendidik, bukan membidik. Membela, bukan mencela,” tuturnya.
Dalam kepengurusan MUI masa bakti 2020–2025, tidak ada sejumlah nama yang selama ini cenderung berseberangan dengan pemerintah. Sebut saja sosok seperti Tengku Zulkarnain yang sebelumnya menjabat wakil Sekjen MUI. Kemudian Bachtiar Nasir, mantan wakil sekretaris Dewan Pertimbangan MUI.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin juga tidak lagi masuk dalam kepengurusan Dewan Pertimbangan maupun Dewan Pimpinan MUI. ”Bahwa saya tidak masuk dalam kepengurusan baru MUI adalah karena saya tidak bersedia,” ungkapnya.
Din menjelaskan, sikapnya itu sudah disampaikan dalam rapat pleno terakhir Dewan Pertimbangan MUI pada 18 November lalu. Meski hampir semua anggota dewan pertimbangan memintanya tetap aktif, dia menyampaikan ingin berhenti dari MUI.
Mantan ketua umum PP Muhammadiyah tersebut menerangkan alasannya berhenti dari MUI. Di antaranya karena sudah terlalu lama terlibat di MUI, yakni mencapai 25 tahun.
Sel Manusia untuk Vaksin
Dalam munas ke-10 itu, MUI juga mengeluarkan sejumlah fatwa. Di antaranya adalah fatwa penggunaan human diploid cell (sel tubuh manusia) untuk bahan vaksin dan obat. Dalam fatwanya, MUI memperbolehkan penggunaan sel tubuh manusia itu selama dalam masa darurat.
Keluarnya fatwa soal penggunaan human diploid cell tersebut merupakan jawaban pertanyaan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Human diploid cell atau sel tubuh manusia adalah sel yang memiliki jumlah kromosom ganda, yaitu punya dua set kromosom yang berjumlah 46.
Dalam hasil sidang Komisi Bidang Fatwa Munas Ke-10 MUI yang disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh disebutkan, pada dasarnya penggunaan sel yang berasal dari bagian tubuh manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya haram. ”Karena bagian tubuh manusia wajib dimuliakan,” katanya.
- Baca juga: Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar jadi Ketua Umum MUI 2020-2025
Dalam fatwa yang memperbolehkan itu, MUI mengeluarkan sejumlah persyaratan. Di antaranya, tidak ada bahan lain yang halal dan memiliki khasiat atau fungsi serupa dengan penggunaan sel dari tubuh manusia. Kemudian, obat atau vaksin hanya diperuntukkan bagi penyakit berat. Apabila tanpa obat atau vaksin itu, berdasar keterangan ahli yang kompeten dan tepercaya, diyakini timbul kemudaratan lebih besar.
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment