KalbarOnline.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) geram dengan kritikan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menuding KPK era kepemimpinan Firli Bahuri tidak serius memberantas koruptor. Kritik itu pun langsung dijawab oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Menurut Ghufron, selama ini KPK dinilai ICW hanya sebagai lembaga penangkap koruptor. Jadi saat hanya menangkap koruptor saja KPK dianggap bekerja dan berprestasi.
ICW, lanjut Ghufron, sepertinya tidak melihat KPK yang juga berjuang keras mencegah apalagi mengedukasi masyarakat untuk sadar dan tidak berprilaku korup. “Kerja-kerja itu dianggap bukan KPK,” kata Ghufron, Selasa (29/12).
Pimpinan KPK berlatar belakang akademisi ini menuturkan, masyarakat Indonesia saat ini sudah lebih dewasa, lebih berwarna dan komprehensif dalam pemberantasan korupsi. Sehingga apa yang disampaikan ICW akan bertentangan dengan kesadaran antikorupsi rakyat.
“Rakyat Indonesia orang yang sehat, sehingga baik yang manis, asin, maupun kecut harus dilahap, KPK itu didirikan oleh negara dan didanai untuk mencegah dan menindak. Karena itu KPK harus menindak kalau ada Tipikor, namun sebelum terjadinya Tipikor KPK juga harus mencegah dan menyadarkan penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak korup,” cetus Ghufron.
Baca Juga: Soal Parodi Lagu Indonesia Raya, Basarah: Itu Martabat Bangsa
Baca Juga: Tiga Parpol Pilih Ketum, Nakhoda Baru Jurus Lama
Menurut Ghufron, ICW tidak melihat kinerja KPK di tengah pandemi Covid-19. Dia mengklaim, kinerja lembaga antirasuah berjalan optimal meski di tengah pandemi Covid-19.
“Hasil dari pencegahan yang dilakukan KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara selama satu tahun, kami bekerja mencapai Rp 592 triliun, jauh melebihi 5 tahun kinerja periode sebelumnya yang mencapai Rp 63,4 triliun,” tegas Ghufron.
Sebelumnya, ICW mengkritik Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam)
Mahfud MD berbicara sesuai data mengenai pernyataannya yang menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) era Firli Bahuri lebih banyak prestasinya ketimbang periode-periode sebelumnya.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyebut pernyataan Mahfud hanya asumsi semata dan ingin membela pemerintah, yang justru menjadi inisiator revisi UU KPK.
“Selaku Menko Polhukam, tentu akan lebih baik jika pak Mahfud MD berbicara menggunakan data, jadi tidak sebatas asumsi semata. Sebab, masyarakat akan semakin skeptis melihat pemerintah, jika pejabat publiknya saja berbicara tanpa ada dasar yang jelas,” kata Kurnia dalam keterangannya, Selasa (29/12).
Kurnia menyampaikan, dalam catatan evaluasi satu tahun KPK yang dilakukan CW dan TII beberapa waktu lalu, terlihat adanya kemunduran drastis dari kinerja lembaga anti rasuah tersebut. Pertama, jumlah kegiatan penindakan menurun.
“Pada tahun 2019 jumlah penyidikan sebanyak 145, sedangkan tahun ini hanya 91. Selain itu, untuk penuntutan, tahun 2019 berjumlah 153, sedangkan tahun ini hanya 75,” ucap Kurnia.
Kemudian dalam konteks jumlah operasi tangkap tangan (OTT) 2020, KPK era Firli Bahuri hanya melakukan tujuh tangkap tangan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, 2019, 21 kali; 2018, 30 kali; 2017, 19 kali dan 2016, 17 kali.
Kedua, adanya degradasi kepercayaan publik kepada KPK. Kurnia menuturkan, hal ini dibuktikan dari temuan lima lembaga survei pada sepanjang tahun 2020, mulai dari Alvara Research Center, Indo Barometer, Charta Politica, LSI, dan Litbang Kompas.
“Kami menduga menurunnya kepercayaan publik kepada KPK tidak lain karena peran pemerintah, yakni tatkala mengundangkan UU KPK baru dan memilih sebagian besar Komisioner bermasalah,” cetus Kurnia.
Ketiga, kegagalan meringkus buronan. Sampai hari ini salah satu buronan kasus korupsi, mantan calon legislatif asal PDIP, Harun Masiku, tidak mampu diringkus oleh KPK. Padahal melihat rekam jejak KPK selama ini, harusnya tidak sulit untuk menangkap yang bersangkutan.
Keempat, Komisioner yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) faktanya tidak menunjukkan nilai integritas dan tidak bisa menjaga etika sebagai pejabat publik. Hal ini merujuk pada putusan Dewan Pengawas yang menjatuhkan sanksi etik kepada Ketua KPK, Firli Bahuri, karena terbukti menggunakan moda transportasi mewah berupa helikopter.
“Maka dari itu, ICW mengusulkan agar pak Mahfud MD membaca data terlebih dahulu agar pendapat yang disampaikan lebih objektif dan faktual,” pungkas Kurnia.
Comment