Pontianak    

Paket Komplit Penyebab Banjir di Hulu Kalbar

Oleh : Redaksi KalbarOnline
Selasa, 09 November 2021
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

Paket Komplit Penyebab Banjir di Hulu Kalbar

KalbarOnline, Pontianak – Banjir yang melanda sejumlah daerah di hulu Kalimantan Barat tak kunjung surut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, banjir terjadi lebih dari dua pekan atau sejak Kamis pagi, 21 Oktober 2021. Sejauh ini tercatat tiga warga dilaporkan meninggal dunia akibat banjir, dua di Kabupaten Sintang, satu antaranya di Kabupaten Sekadau.

HTI bikin hutan gundul

Hal ini pun menjadi perhatian serius Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji. Dia mengungkapkan sejumlah penyebab terjadinya banjir di daerah hulu Kalbar itu. Selain dipicu oleh hujan dengan intensitas tinggi sehingga debit air Sungai Kapuas meluap, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas yang sudah rusak mencapai 70 persen, juga diakibatkan kesalahan manajemen hutan tanaman industri (HTI) di masa lalu dan maraknya aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI).

[caption id="attachment_108020" align="aligncenter" width="600"]Paket Komplit Penyebab Banjir di Hulu Kalbar Gubernur Kalbar Sutarmidji saat meninjau langsung kondisi banjir di Sintang sekaligus menyerahkan bantuan (Foto: Biro Adpim Provinsi Kalbar)[/caption]

“Ini kan pohon-pohon untuk menyimpan air atau resapan air sudah banyak tidak ada, artinya air itu lepas saja. Daerah resapan air sudah semakin berkurang. Pohon-pohon sudah semakin berkurang. Pemegang konsesi HTI itu, mereka sudah tebang semua pohonnya dan ambil semua kayunya, kemudian tidak ada menanam apapun sebagaimana yang direncanakan,” kata Midji, baru-baru ini.

Sejatinya, kata Midji, pemegang konsesi HTI wajib melakukan penanaman kembali. Sehingga tak menimbulkan dampak yang dirasakan seperti saat ini.

“Bahkan ada yang menunggak iuran hasil hutan dan cukup besar, sekian juta US Dollar, sudah kita ajukan dicabut ke Kementerian LHK. Hutan-hutan kita sudah banyak gundul karena HTI, kayunya diambil, tapi tidak ditanam kembali. Harusnya, izin konsesi HTI itu dicabut saja semuanya. Kemudian hutan itu diserahkan ke masyarakat untuk penghutanan kembali. Negara tinggal siapkan bibit dan sebagainya,” katanya.

Aktivitas PETI merajalela

Selain HTI, maraknya aktivitas PETI turut disebut Midji sebagai penyebab terjadinya banjir. Sebagaimana yang disebutkan Midji, 70 persen DAS Kapuas yang rusak sehingga mengakibatkan pendangkalan atau sedimentasi Sungai Kapuas dengan sangat cepat. Pendangkalan yang terjadi ini juga disumbang dari aktivitas PETI yang merajalela.

“Saya tidak tahu siapa yang mengurus PETI ini. Siapa yang menindak ini. Sudah sampai menggunakan ekskavator, itu bukan lagi PETI sebetulnya. Akibatnya lingkungan rusak dan sungai sebagai tempat menampung air hujan itu jadi cepat dangkal,” katanya.

“Tapi saya jadi tanda tanya, siapa sih yang sekarang menangani PETI itu, itu jadi tanda tanya saya. Kalau memang di daerah tidak bisa tangani, ya sudah, saya surati saja minta Pemerintah Pusat turun untuk tangani PETI,” katanya.

Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura juga mengkritik keras Kementerian ESDM. Dia mengungkapkan bahwa beberapa Pemerintah Daerah tingkat II melalui Pemerintah Provinsi Kalbar sudah banyak mengusulkan WPR (wilayah pertambangan rakyat). Namun, sampai hari ini tak kunjung ada persetujuan.

[caption id="attachment_108021" align="aligncenter" width="600"]Paket Komplit Penyebab Banjir di Hulu Kalbar Menteri Sosial Tri Rismaharini saat meninjau langsung kondisi banjir di Sintang sekaligus menyerahkan bantuan (Foto: Prokopim Sintang)[/caption]

“Sampai sekarang tidak ada persetujuan WPR dari Kementerian ESDM, percuma saja dalam perundang-undangan ada WPR. Tapi kalau untuk swasta yang besar itu cepat mereka (ESDM) beri izin dan sebagainya, giliran WPR susahnya setengah mati, nanti kalau masyarakat melakukan PETI mereka (ESDM) juga yang ribut,” katanya.

“PETI ini lebih cepat merusak lingkungan, sekarang sudah pakai ekskavator. Siapa yang bertanggungjawab kita tidak tahu. Kita usulkan WPR supaya bisa diatur, tapi tak ada satupun yang diizinkan. Tapi penambang besar diizinkan, akhirnya masyarakat karena tidak punya wilayah pertambangan sehingga melakukan PETI. Cobalah diatur WPR itu, sehingga kita bisa kontrol,” katanya.

Pemerintah Pusat seharusnya kata Midji, rutin melakukan pengerukan Sungai Kapuas. Sebab kewenangan itu, kata Midji, ada di Pemerintah Pusat. Sebelumnya, kata Midji, ketika Pelindo masih menggunakan Pelabuhan Dwikora sebagai pelabuhan utama di Pontianak, setiap tahun muara Sungai Kapuas pasti dikeruk.

“Mungkin dianggap tak perlu lagi pengerukan, karena sudah ada Pelabuhan Kijing. Negara tidak berpikir kalau yang bahayanya tidak ada pengerukan akibatnya menimbulkan banjir karena sedimentasi yang terjadi,” katanya.

“Tolonglah pejabat kita yang di pusat suarakan. Kan di DPR RI ada tuh. Suarakan itu, ini menjadi penyebab. Kalau misalnya kita jadi pejabat di pusat tapi tidak bisa menyuarakan untuk kepentingan di daerah untuk apa. Kalau saya Gubernur yang ngomong nanti bagaimana. Saya minta-lah, kita harus berpikirlah untuk kepentingan masyarakat Kalbar. Saya harap ini jadi konsen kita bersama. Tidak boleh ada saling menyalahkan, tapi mari bersinergi bersama untuk menangani banjir yang terjadi ini,” katanya lagi.

Belum lagi aktivitas pertambangan bauksit. Justru menurutnya lebih parah dan mengkhawatirkan. Di mana, kata Midji, Kementerian ESDM memberikan izin ekspor 14 juta ton bauksit mentah setiap tahunnya. Dari aktivitas ini, setiap tahun menyebabkan terjadinya penurunan lahan dan itu menurutnya sangat mengkhawatirkan.

“Kalau mereka gali lahan dua meter, artinya ada berapa juta meter persegi lahan yang turun. Begitu saja menghitungnya. Penurunan lahan berapa banyak. Tapi semuanya bukan kewenangan provinsi, semuanya urusan pusat, yang mengatur kuota Kementerian ESDM, izin ekpor itu Kementerian Perdagangan, kita nunggu banjirnya saja kapan,” katanya.

70 persen DAS Kapuas rusak

Akibat DAS Kapuas yang sudah semakin rusak, membuat Midji yakin, sedimentasi yang terjadi di sungai sangat tinggi pula. Akibatnya, daya tampung air menjadi berkurang. Dia pun mencontohkan, jika misalnya pendangkalan yang terjadi mencapai satu meter, artinya volume air yang pindah ke daratan juga mencapai satu meter. Hal ini dikarenakan daya tampung air yang juga berkurang.

Sebab menurutnya, sungai merupakan tempat alami untuk menampung air dari daratan. Jika semakin dangkal, maka semakin tinggi pula potensi air menjangkau daratan.

Maka Midji tak merasa heran jika saat ini Kabupaten Kapuas Hulu, Sintang, dan Kabupaten Melawi mudah banjir bila diguyur hujan dengan intensitas tinggi, terlebih lagi bila banjir juga terjadi di Kalimantan Tengah.

“Kalau diikuti dengan pengerukan yang rutin tidak masalah, sekarang ini kalau tidak salah saya sudah 2-3 tahun terakhir tidak ada pengerukan muara sungai. Justru kalau air tidak pasang, ketinggiannya itu hanya tinggal empat meter, atau paling tinggi 4,5, sehingga kapal-kapal tidak bisa masuk, harus tunggu air pasang. Akibat pendangkalan itu, katakanlah mencapai satu meter (pendangkalan), artinya volume air yang pindah ke daratan juga mencapai satu meter,” katanya.

Karena itu, menurutnya perbaikan DAS menjadi salah satu upaya penting dilakukan selain melakukan upaya penghijauan secara masif. Upaya tersebut diharapkan Midji dapat menjaga daerah resapan air terutama di kawasan DAS Kapuas.

[caption id="attachment_108022" align="aligncenter" width="600"]Paket Komplit Penyebab Banjir di Hulu Kalbar Kondisi banjir di Desa Perigi, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu (Foto: BPBD Kapuas Hulu)[/caption]

“Perbaikan DAS perlu, penghijauan juga perlu supaya daerah resapan air terjaga,” katanya.

Midji memperkirakan terjadi pendangkalan yang cukup tinggi di sepanjang Sungai Kapuas. Terutama di kawasan muara sungai yang menjadi pintu keluar air ke laut. Untuk itu pihaknya akan menyurati kementerian terkait untuk melakukan pengerukan.

“Ini sudah tiga tahun tidak ada pengerukan setelah kewenangan pengerukan itu pindah ke Kementerian Perhubungan kalau tidak salah saya sekarang,” katanya.

Dia pun menduga, hal inilah yang menyebabkan arus air sungai keluar ke laut menjadi lambat sehingga rawan terjadi banjir. Sebelumnya, kata Midji, ketika Pelindo masih menggunakan Pelabuhan Dwikora sebagai pelabuhan utama di Pontianak, setiap tahun muara Sungai Kapuas pasti dikeruk.

“Sekarang ini sudah 2-3 tahun mungkin sudah tidak dikeruk, ini mungkin salah satu penyebabnya, selain Daerah Aliran Sungai Kapuas yang 70 persen itu sudah rusak, sedimentasinya sangat tinggi,” katanya.

Kata ahli

Ahli Teknik Sumber Daya Air Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Henny Herawati mengatakan selain curah hujan yang tinggi, banjir di Kalimantan Barat juga disebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) serta maraknya konversi tutupan lahan.

"Perubahan atau konversi lahan, menyebabkan jenis tutupan lahan berubah, hal ini juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan daerah aliran sungai (DAS), sehingga hidrografi aliran pada DAS tersebut berubah menjadi tidak baik," kata Henny seperti dilansir dari Antara.

Dosen Fakultas Teknik Untan ini mengatakan, faktor lain yang menyebabkan banjir adalah terjadinya konversi tutupan lahan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Juga keinginan melakukan konversi lahan menjadi lahan budidaya.

"Sehingga lahan dibuka untuk permukiman, lahan awalnya merupakan lahan tertutup atau kawasan hutan dibuka untuk lahan pertanian atau perkebunan. Selain itu, curah hujan yang lebat terjadi di sejumlah daerah di Kalbar, menyebabkan banjir yang melanda di daerah hulu Sungai Kapuas," tuturnya.

[caption id="attachment_107871" align="aligncenter" width="600"]Ribuan Rumah Warga di Sandai Ketapang Terendam Banjir Ribuan Rumah Warga di Sandai Ketapang Terendam Banjir (Dok: BPBD Ketapang)[/caption]

Sedangkan faktor lain penyebab banjir juga dipengaruhi jenis tanah, tutupan lahan, dan pengolahan lahan. Dia juga menjelaskan bahwa banjir adalah kondisi meluapnya muka air sungai akibat tingginya aliran sungai. Sehingga tidak mampu tertampung oleh penampang sungai yang ada.

"Banjir merupakan peristiwa meluapnya air dari badan sungai akibat curah hujan yang relatif tinggi dan tidak mampu ditampung oleh penampang sungai atau dapat dikatakan kondisi muka air jauh di atas normal," katanya.

Menurutnya, solusi yang harus dilakukan untuk mencegah banjir ini, harus adanya sinergi pemerintah, stakeholder serta masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini, peran pemerintah dan stakeholder yang sigap mengatasi banjir sangat diharapkan, terutama sektor-sektor yang berwenang menangani masalah banjir.

"Harus adanya sinergi antar institusi baik Dinas Pekerjaan Umum, Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Lingkungan Hidup dan institusi lainnya, selain itu masyarakat harus tangguh untuk beradaptasi terhadap lingkungan," ujar Henny yang menyelesaikan gelar S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Berdasarkan data yang didapat, sampai saat ini terdapat lebih dari 50 ribu kepala keluarga atau sekitar 180 ribu jiwa yang terdampak banjir dan diprediksi akan bertambah.

Kondisinya banjir yang semula hanya melanda lima dari 14 kabupaten/kota se-Kalbar semakin meluas dan bertambah satu kabupaten di antaranya Kabupaten Sintang, Kapuas Hulu, Melawi, Sekadau, Sanggau, dan Kabupaten Ketapang.

Awalnya, yang terdampak cukup parah adalah Kabupaten Melawi. Namun air sudah sedikit surut. Tapi menyebabkan banjir kiriman ke Sintang. Terhitung sudah 12 hari air tidak surut. Sehingga menyebabkan 12 kecamatan di Sintang tidak bisa diakses.

Artikel Selanjutnya
Polda Kalbar dan Bea Cukai Tangkap Pembawa Sabu 2 Kg
Senin, 08 November 2021
Artikel Sebelumnya
Paket Komplit Penyebab Banjir di Hulu Kalbar
Senin, 08 November 2021

Berita terkait