Sutarmidji Sebut Hanya Presiden yang Bisa Hentikan PETI
KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji mengatakan, aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Kalimantan Barat sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Sebab sudah menggunakan alat berat jenis ekskavator. Kondisi itu kata Midji, hanya bisa dihentikan atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Yang bisa buat perintah itu Presiden, jika Presiden minta hentikan, saya yakin besok PETI itu berhenti. Tapi kalau perintah Gubernur susah. Karena PETI sudah pakai ekskavator, jadi kalau Presiden yang perintah cepat,” kata Sutarmidji saat mendampingi kunjungan kerja Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Sintang, Kalbar, Kamis, 25 November 2021.
Di kesempatan berbeda, Gubernur menyebut, selain HTI, maraknya aktivitas PETI juga merupakan penyebab terjadinya banjir. Sebagaimana yang disebutkan Midji, 70 persen DAS Kapuas yang rusak mengakibatkan pendangkalan atau sedimentasi Sungai Kapuas dengan sangat cepat. Pendangkalan yang terjadi ini juga disumbang dari aktivitas PETI yang merajalela.
“Saya tidak tahu siapa yang mengurus PETI ini. Siapa yang menindak ini. Sudah sampai menggunakan ekskavator, itu bukan lagi PETI sebetulnya. Akibatnya lingkungan rusak dan sungai sebagai tempat menampung air hujan itu jadi cepat dangkal,” katanya.
“Tapi saya jadi tanda tanya, siapa sih yang sekarang menangani PETI itu, itu jadi tanda tanya saya. Kalau memang di daerah tidak bisa tangani, ya sudah, saya surati saja minta Pemerintah Pusat turun untuk tangani PETI,” katanya.
Orang nomor wahid di Bumi Tanjungpura juga mengkritik keras Kementerian ESDM. Dia mengungkapkan bahwa beberapa Pemerintah Daerah tingkat II melalui Pemerintah Provinsi Kalbar sudah banyak mengusulkan WPR (wilayah pertambangan rakyat). Namun, sampai hari ini tak kunjung ada persetujuan.
“Sampai sekarang tidak ada persetujuan WPR dari Kementerian ESDM, percuma saja dalam perundang-undangan ada WPR. Tapi kalau untuk swasta yang besar itu cepat mereka (ESDM) beri izin dan sebagainya, giliran WPR susahnya setengah mati, nanti kalau masyarakat melakukan PETI mereka (ESDM) juga yang ribut,” katanya.
“PETI ini lebih cepat merusak lingkungan, sekarang sudah pakai ekskavator. Siapa yang bertanggungjawab kita tidak tahu. Kita usulkan WPR supaya bisa diatur, tapi tak ada satupun yang diizinkan. Tapi penambang besar diizinkan, akhirnya masyarakat karena tidak punya wilayah pertambangan sehingga melakukan PETI. Cobalah diatur WPR itu, sehingga kita bisa kontrol,” katanya.
Belum ada kejelasan kewenangan
Sementara Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalbar Syarif Kamaruzaman mengatakan, terkait WPR yang diajukan pihaknya sampai saat ini masih berproses di Kementerian ESDM.
“WPR itu masih berproses. Belum. Kita itu sifatnya menyampaikan usulan dari kabupaten, kan itu usulan dari kabupaten, kita teruskan ke Kementerian ESDM. Nanti keluar wilayahnya, baru terbit izinnya, itu juga melalui PTSP,” katanya.
Dia menegaskan kembali, bahwa kewenangan pihaknya hanya bersifat rekomendasi atau mengusulkan. Usulan tersebut, kata dia, juga harus dilengkapi dengan Amdal (Analisis Dampak Lingkungan).
“Konsekuensinya kabupaten harus lakukan pembinaan WPR. Karena ada bagi hasilnya untuk kabupaten,” katanya.
Namun yang pasti, kata Syarif, sampai saat ini belum ada kejelasan batas kewenangan Pemerintah Provinsi di sektor ESDM. Hal ini terjadi setelah terbit Undang-undang Nomor 3 tahun 2021 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kata Syarif, semua kewenangan telah diambil oleh Pemerintah Pusat.
“Sampai hari ini belum ada penyerahan kewenangan apapun kepada Pemerintah Provinsi di sektor pertambangan,” katanya.
Pihaknya melalui Asosiasi Kepala Dinas ESDM se-Indonesia sudah berupaya mendesak Pemerintah Pusat agar kewenangan di sektor pertambangan dilimpahkan ke daerah. Namun, kata dia, pihak Kementerian ESDM berdalih bahwa UU soal pertambangan sudah terbit, maka harus menunggu dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres).
“Perpres inilah yang merincikan delegasi kewenangan untuk daerah. Kemarin kita juga sudah ketemu dengan Direktur Teknik Lingkugan Kementerian ESDM, mereka sampaikan bahwa mereka juga masih menunggu. Mudah-mudahan awal tahun ada kejelasan, dalam waktu dekatlah,” katanya.
Meski Perpres tersebut terbit, diakui Syarif, tak seluruh kewenangan soal ESDM berada di tangan Pemerintah Pusat. Namun, kata dia, setidaknya Pemprov memiliki kekuatan atau kejelasan kewenangan untuk berbuat.
“Ada kewenangan terkait logam dan batubara, non logam dan batuan, apakah itu dikembalikan ke daerah, kita belum tahu apa Perpres-nya nanti. Tapi karena tambang ini jadi sektor strategis nasional, itu yang jadi pertimbangan bahwa sektor pertambangan diambil Pemerintah Pusat,” katanya.
Comment