Sekda Ketapang Jadi Pembicara Seminar Nasional Pekan Gawai Dayak ke-37 Provinsi Kalbar

KalbarOnline, Ketapang – Sekda Ketapang, Alexander Wilyo yang bergelar Patih Jaga Pati Desa Sembilan Domong Sepuluh Kerajaan Hulu Aik, Raden Cendaga Pintu Bumi Jaga Banua, menjadi pembicara seminar nasional dalam rangka Pekan Gawai Dayak (PGD) ke-37 Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), di Rumah Radakng, Kota Pontianak, pada Kamis (18/05/2023).

Adapun tema yang diangkat sekda dalam seminar tersebut tentang “Tanah dan Hutan Adat Dayak, Kini dan Masa Depan”.

IKLANSUMPAHPEMUDA

Sekda dalam pemaparannya menekankan, bahwa penghuni asli bumi Borneo adalah Dayak yang tidak bisa disangsikan lagi keberadaannya dari jejak arkeologi di Gua Nirah bahwa sudah 40.000 tahun lalu sudah ada peradaban suku bangsa Dayak.

“Dengan demikian, masyarakat adat Dayak lah yang memiliki tanah adat Borneo atau Kalimantan atau varuna-dwipa–menurut referensi pada zaman pengaruh Hindu-India,” paparnya.

Sekda menjelaskan, tanah adat itu, ada tiga jenis yakni pertama, Tanah Colap torunt pusaka/hutan adat, adalah: gunung/ bukit yang berisi rima magong (hutan yang masih utuh) dan keramat padagi yang disepakati dan ditetapkan oleh masyarakat adat Dayak dan dimiliki secara komunal satu binua/wilayah adat yang fungsinya untuk melindungi kayu kayant (kayu), sebagai sumber mata air, tempat keramat padagi untuk kegiatan ritual adat Dayak dan menjadi lokasi kayu damar, gotah nyatoh.

Baca Juga :  Berikut Agenda Kunjungan Kerja Menteri Edhy Prabowo di Kalbar

Kemudian kedua, tembawang buah janah/ kebun buah-buahan, artinya adalah kebun buah janah (buah-buahan yang kepemilikannya secara pribadi, keluarga atau komunal). Sebagai fungsi area kebun buah-buahan, kebun tengkang, kebun aren, tempat padagi, lokasi sampuatn palalaw (kayu madu) dan lokasi kayu damar gotah nyatoh.

Ketiga, rumah magong bawang belukar/ lokasi berladang, adalah area yang dikhususkan untuk berladang dan berkebun. Sistem kepemilikan rumah magong bawas belukar secara pribadi, keluarga atau komunal.

“Selain itu, ada lima unsur masyarakat hukum adat, yang dimiliki komunitas suku Dayak dan telah menyatu dalam segala aspek kehidupan dari adat, budaya, agama, norma, hukum adat dan tingkah laku,” ujarnya.

Kelima unsur tersebut disampaikan sekda berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan, minimal 5 unsur masyarakat hukum adat, antaranya lain:

  1. Ada masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling).
  2. Ada pranata pemerintahan adat.
  3. Ada harta kekayaan dan/ atau benda-benda adat.
  4. Ada perangkat norma hukum adat.
  5. Khusus bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur wilayah hukum adat tertentu.
Baca Juga :  Pimpin Apel Pagi di RSUD Agoesdjam, Sekda Ingatkan Utamakan Pelayanan kepada Masyarakat

“Masyarakat hukum adat akan tetap lestari jika semua masyarakat adat Dayak menjaga tonah colap torunt pusaka (hutan adat) yang masih tersisa. Kedua, merevitalisasi dan menanam kembali tembawang buah janah. Ketiga, menjaga dan mengangkat tradisi budaya dayak, yaitu ritual adat mendirikan keramat padagi, ritual adat nyapat tahun/naik dango (pesta panen), ritual adat senganyong menjangka buah dan lainnya,” pungkas sekda.

Selanjutnya juga disampaikan pemateri dari Alue Dohong, selaku Wamen LHK, Ketua Dewan Pakar MADN dan Ketua Dewan Pembina ICDN, pemateri tentang Hutan Tanaman Rakyat untuk Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat dan Raja Julianto, Wamen ATR/ BPN sebagai pemateri tentang Tanah dan Hutan Adat Dayak Kini dan Masa Depan.

Seminar Nasional Pekan Gawai Dayak ke-37 ini dihadiri lebih dari 200 orang, dari unsur multietnik, Kanwil ATR/BPN Provinsi Kalbar, Balai KSDA Kementerian LH, elemen masyarakat, DAD, Ormas Dayak, OKP, peserta bujang dara, mahasiswa, tokoh adat dan LSM. (Adi LC)

Comment