KalbarOnline, Pontianak – Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia sering kali menjadi momen bagi para veteran untuk mengenang kembali perjuangan mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Salah satu veteran yang membagikan kisahnya adalah D.S. Mattalim (85 tahun), seorang veteran Angkatan Laut yang kini tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat.
Ditemui di tempat kerjanya menghabiskan masa tua sebagai Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Pontianak, Mattalim menceritakan bagaimana minatnya untuk bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) sudah muncul sejak ia masih duduk di Sekolah Rakyat, yang kini dikenal sebagai sekolah dasar.
“Saya sekolah waktu itu di SR, ada anak dari angkatan laut yang pesiar (berkunjung) pake topi putih dan dasi, kemudian kena hembusan angin. Saya lihat wah itu cakep sekali, jadi saya langsung ingin jadi Angkatan Laut. begitu daftar langsung diterima,” ujar Mattalim saat diwawancara KalbarOnline pada Jumat (16/08/2024) siang.
Pada tahun 1961, untuk mewujudkan cita-citanya, Mattalim yang saat itu adalah seorang pemuda asal Kota Batu, Jawa Timur, rela berjalan kaki sejauh 21 kilometer dari Batu ke Malang hanya untuk mendaftar sebagai tentara. Ia bahkan tidak memberitahu orang tuanya mengenai pendaftaran tersebut, mengingat latar belakang keluarga yang kurang mampu dan bekerja sebagai petani.
“Saya 21 kilometer jalan kaki mendaftar, itu dari Batu ke Malang. Jalan kaki pagi setelah subuh begitu dinginnya langsung jalan kaki untuk daftar angkatan laut,” paparnya.
”Pada saat mendaftar itu, orang tua saya tidak tahu. Kalau mereka tahu pasti saya tidak diperbolehkan mendaftar mungkin mereka khawatir, jadi saya beritahu pas saya sudah luus,” tambahnya.
Setelah menjalani pendidikan pada tahun 1961, di usia 24 tahun, Mattalim langsung terlibat dalam tugas merebut Irian Barat dari Belanda. Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan ultimatum Trikora untuk pembebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda.
“Kibarkan sang merah putih di Irian Barat. Pada saat itu kami bergerak, kami masih baru keluar pendidikan dan menyiapkan kapal berangkatlah menuju sektor barat. Kami ditugaskan ke daerah sabang sana untuk mencegat kapal induk yang akan menuju Irian Barat lewat Selat Malaka,” kata Mattalim.
Setahun kemudian, Mattalim dipindahkan ke Tanjung Pinang dan terlibat dalam konfrontasi Dwikora. “Setelah operasi Trikora selesai dan Irian Barat diserahkan kepada kita pada tahun 1963, muncul konfrontasi Dwikora. Saat itu Malaysia masih dijajah Inggris. Karena Inggris pernah menjajah kita, ada kemungkinan mereka akan menyerang Indonesia melalui Kalbar, maka konfrontasi pun dilakukan,” ungkapnya.
Yang mengesankan, kata Mattalim saat itu, adalah ketika dia bertugas di daerah Kepulauan Riau dengan kapal perang. Saat melewati Singapura, ada 2 pesawat jet tempur Inggris yang menukik dari arah haluan kapal.
“Waktu itu saya masih muda, pada waktu itu saya sebagai penangkis serangan udara minta izin ke komandan bagaimana kalau ini kita tembak saja, kurang ajar dia meledek, saya pikir kalau saya tembak pasti jatuh dia,” terangnya.
Keinginan Mattalim untungnya berhasil dicegah oleh komandannya. Ia kemudian menyadari bahwa jika ia benar-benar menembak pesawat-pesawat tersebut, akibatnya bisa sangat fatal.
“Memang betul, jika memang terjadi (penembakan dan pesawat jatuh), maka Singapura terbakar, daerah kita Tanjungpinang juga akan terbakar besar karena disana itu kilang minyak besar, Itu pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan,” lanjutnya.
Setahun setelah bertugas di perairan Kepulauan Riau, Mattalim dipindahtugaskan ke Pontianak. Namun, sekali lagi ia mengalami kejadian yang tak terlupakan, yakni mengantar 20 dharma wanita ke perbatasan Indonesia-Malaysia. Dharma Wanita tersebut ternyata sengaja dikirim sebagai wanita penghibur.
“Kami waktu itu disuruh mengawal panglima komando tempur di sini ke perbatasan dengan membawa dharma wanita. Kita tidak tahu, diperintah waktu itu mengawal sampai ke perbatasan rupanya sampai sana, Dharma wanita dia menghibur tentara di perbatasan sana, kita yang jaga,” terangnya.
Sebelumnya, Mattalim tak mengetahui soal pengantaran puluhan wanita tersebut. Dirinya hanya mengikuti tugas dari atasan, Brigjen Suparjo yang merupakan Panglima Komando tempur di wilayah Kalbar saat itu.
“Sampai di sana, mereka menghibur tentara kapal dan kami menunggu di tepi sungai. Dan ternyata itu gembongnya PKI. Itu yang sampai sekarang ini tidak bisa kami lupakan,” tutur Mattalim.
Meski merasa menyesal atas pengalaman tersebut, Mattalim bersyukur karena Indonesia kini telah merdeka dan berusia 79 tahun.
“Semoga tidak terjadi apa-apa. Dan dengan adanya ulang tahun kemerdekaan yang ke-79 ini, kita semoga tetap aman dan damai,” harap Mattalim. (Lid)
Comment