Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Redaksi KalbarOnline |
| Senin, 31 Maret 2025 |
KALBARONLINE.com – Alkisah, seorang gubernur di sebuah provinsi di negeri antah berantah baru saja memenangkan pemilu. Sosoknya dipuja bak pahlawan.
Wajahnya selalu tersenyum di spanduk-spanduk, pidatonya menggugah asa, dan tutur katanya lembut menyejukkan hati.
Dalam urusan agama, ia dikenal sebagai pribadi santun dan taat. Tak jarang, ia duduk di saf terdepan dalam acara peribadatan, menundukkan kepala seakan penuh ketakwaan.
Kampanye-kampanyenya sukses membius simpati rakyat. Mimpi-mimpi yang ia sodorkan begitu indah, seakan semua masalah akan terselesaikan hanya dengan semangat dan niat baik.
Rakyat larut dalam euforia, meskipun ada segelintir yang mulai bertanya-tanya: mungkinkah semua janji itu terwujud? Namun, suara-suara skeptis tenggelam dalam gegap gempita kemenangan.
Hingga mendekati hari pelantikan, langit yang tadinya cerah mulai mendung. Perlahan, topeng yang selama ini dikenakannya mulai retak. Bisik-bisik di balik dinding kantor pemerintahan makin nyaring.
Begitu ditetapkan sebagai pemenang oleh komisi berwenang, gubernur tak menunggu lama. Ia segera mengeluarkan maklumat: pelantikannya harus berlangsung megah.
Ia ingin panggung besar, iring-iringan meriah, dan ribuan relawan yang datang untuk menyaksikan momen bersejarah itu.
Para bawahannya segera bergerak. Anggaran disusun, proposal diajukan. Namun, ada satu masalah: kas pemerintah tak cukup menanggung kemewahan yang diinginkannya. Maka, jalan pintas pun ditempuh.
Sejumlah pengusaha, pemilik bank, dan manajer perusahaan besar dipanggil diam-diam. Mereka diancam, ditekan, dan dipaksa menyetor “sumbangan sukarela”.
Uang mengalir, tapi tak semuanya dipakai untuk acara pelantikan. Sebagian besar justru dialokasikan untuk hal lain—menutupi utang kampanye, membiayai perjalanan ke luar negeri, hingga berpesta bersama lingkaran terdekatnya.
Tak butuh waktu lama, bau amis pun menyebar. Uang hasil jarahan tak terbagi rata, membuat persatuan di kubunya goyah. Saling tuding dan intrik pecah di antara para kroni.
Belakangan terungkap, sebagian besar dana ternyata hanya dinikmati segelintir orang—gubernur sendiri dan lingkaran eksklusifnya.
Mereka yang merasa dikhianati mulai berbisik kepada media, menguak borok yang selama ini tertutup rapi.
Hari pelantikan pun tiba, tapi tak ada lagi semangat seperti di awal. Janji-janji kesejahteraan menguap, tergantikan oleh kasak-kusuk soal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Hari-hari pertama setelah dilantik, gubernur mulai menarik kembali janji-janji manisnya. Program-program unggulan dikaji ulang, dalih "penyesuaian anggaran" jadi tameng untuk memotong kebijakan populis yang dulu ia gaungkan.
Baginya, "memang begitulah politik" – janji yang berlebihan hanya untuk menarik suara, dan kenyataan yang pahit untuk "kepentingan bersama".
Di luar sana, rakyat yang dulu berharap kini hanya bisa mengelus dada. Lima tahun ke depan bukan lagi soal meraih mimpi, melainkan bertahan dari kenyataan pahit yang kembali terulang.
Baginya, janji-janji itu hanya bumbu penyedap agar tampak enak di lidah, namun tak pernah dimaksudkan untuk dimakan. (**)
KALBARONLINE.com – Alkisah, seorang gubernur di sebuah provinsi di negeri antah berantah baru saja memenangkan pemilu. Sosoknya dipuja bak pahlawan.
Wajahnya selalu tersenyum di spanduk-spanduk, pidatonya menggugah asa, dan tutur katanya lembut menyejukkan hati.
Dalam urusan agama, ia dikenal sebagai pribadi santun dan taat. Tak jarang, ia duduk di saf terdepan dalam acara peribadatan, menundukkan kepala seakan penuh ketakwaan.
Kampanye-kampanyenya sukses membius simpati rakyat. Mimpi-mimpi yang ia sodorkan begitu indah, seakan semua masalah akan terselesaikan hanya dengan semangat dan niat baik.
Rakyat larut dalam euforia, meskipun ada segelintir yang mulai bertanya-tanya: mungkinkah semua janji itu terwujud? Namun, suara-suara skeptis tenggelam dalam gegap gempita kemenangan.
Hingga mendekati hari pelantikan, langit yang tadinya cerah mulai mendung. Perlahan, topeng yang selama ini dikenakannya mulai retak. Bisik-bisik di balik dinding kantor pemerintahan makin nyaring.
Begitu ditetapkan sebagai pemenang oleh komisi berwenang, gubernur tak menunggu lama. Ia segera mengeluarkan maklumat: pelantikannya harus berlangsung megah.
Ia ingin panggung besar, iring-iringan meriah, dan ribuan relawan yang datang untuk menyaksikan momen bersejarah itu.
Para bawahannya segera bergerak. Anggaran disusun, proposal diajukan. Namun, ada satu masalah: kas pemerintah tak cukup menanggung kemewahan yang diinginkannya. Maka, jalan pintas pun ditempuh.
Sejumlah pengusaha, pemilik bank, dan manajer perusahaan besar dipanggil diam-diam. Mereka diancam, ditekan, dan dipaksa menyetor “sumbangan sukarela”.
Uang mengalir, tapi tak semuanya dipakai untuk acara pelantikan. Sebagian besar justru dialokasikan untuk hal lain—menutupi utang kampanye, membiayai perjalanan ke luar negeri, hingga berpesta bersama lingkaran terdekatnya.
Tak butuh waktu lama, bau amis pun menyebar. Uang hasil jarahan tak terbagi rata, membuat persatuan di kubunya goyah. Saling tuding dan intrik pecah di antara para kroni.
Belakangan terungkap, sebagian besar dana ternyata hanya dinikmati segelintir orang—gubernur sendiri dan lingkaran eksklusifnya.
Mereka yang merasa dikhianati mulai berbisik kepada media, menguak borok yang selama ini tertutup rapi.
Hari pelantikan pun tiba, tapi tak ada lagi semangat seperti di awal. Janji-janji kesejahteraan menguap, tergantikan oleh kasak-kusuk soal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Hari-hari pertama setelah dilantik, gubernur mulai menarik kembali janji-janji manisnya. Program-program unggulan dikaji ulang, dalih "penyesuaian anggaran" jadi tameng untuk memotong kebijakan populis yang dulu ia gaungkan.
Baginya, "memang begitulah politik" – janji yang berlebihan hanya untuk menarik suara, dan kenyataan yang pahit untuk "kepentingan bersama".
Di luar sana, rakyat yang dulu berharap kini hanya bisa mengelus dada. Lima tahun ke depan bukan lagi soal meraih mimpi, melainkan bertahan dari kenyataan pahit yang kembali terulang.
Baginya, janji-janji itu hanya bumbu penyedap agar tampak enak di lidah, namun tak pernah dimaksudkan untuk dimakan. (**)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini