Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Selasa, 29 Januari 2019 |
KalbarOnline,
Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji menyoroti kebijakan pemerintah
melonggarkan ekspor mineral mentah kepada perusahaan pertambangan untuk menekan
angka pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
“Harusnya pemerintah tidak mengizinkan hasil tambang itu di-ekspor
secara mentah-mentah, harusnya minimal dapat di-ekspor setengah jadi. Kalau
perlu jadinya disini (Kalbar),” ujarnya belum lama ini.
Namun, Midji turut mengakui kendala Kalbar untuk prosesing
tambang misalnya bauksit menjadi aluminium memerlukan daya listrik yang besar.
Meski demikian, Sutarmidji menagih komitmen investasi yaitu pembangunan
smelter perusahaan tambang yang mendapatkan kelonggaran kebijakan ekspor. Hal ini
dimaksudkannya agar dapat memberi dampak ekonomi secara signifikan di Kalbar. Hal
ini juga diperparah dengan nihilnya pembangunan smelter di Kalbar.
“Janji pembangunan smelter itukan sudah sangat lama. Kita
harus tegas saja. Kalau memang mereka (perusahaan) dalam waktu tertentu tidak
mampu, jangan diberi konsesi untuk mengekspor,” tegasnya.
“Kemudian dari sisi pendapatan, bahan tambang yang diekspor
seperti bauksit itu sepertinya dibeli atau dikirim ke pabrik induk mereka,
sehingga mereka yang menentukan harga. Harusnya melalui bursa komoditi,
sehingga harga ditentukan melalui bursa komoditi, jadi kita tidak diakali. Bisa
saja bauksit 1 ton seharga 120, tapi mereka misalnya beli disana hanya 40,
bayangkan betapa besarnya kita merugi, itu yang harus diperhatikan oleh
pemerintah pusat,” timpalnya.
Kemudian, lanjut Midji, pembagian untuk daerah sesuai atau
tidak dengan tanggungjawab yang harus perusahaan laksanakan kedepan, misalnya dampak
dari pertambangan itu.
“Karena dampaknya besar, dari 262 perusahaan pertambangan
yang wajib melakukan reklamasi pasca tambang ternyata hanya 2 yang melakukan,
itu harus ditindak,” tegasnya.
Bahkan Sutarmidji sempat berujar pada Seminar Reklamasi
Tambang yang digelar Perhapi Kalbar pada 15 Desember 2018 lalu bahwa belum ada
perusahaan di Kalimantan Barat yang melakukan reklamasi sesuai standar.
Menurutnya, selama ini proses reklamasi yang dilaksanakan perusahaan masih
dengan cara konvensional.
Sebagai contoh, setelah menghilangkan tanah pucuk akibat
galian tambang bauksit, aktivitas reklamasi yang dilakukan hanya sekedar
penataan lahan dan revegetasi dengan tingkat keberhasilan nyaris 0 persen tanpa
menyentuh akar permasalahan berupa remediasi lahan pasca tambang.
Padahal lahan merupakan modal produksi masyarakat desa yang
utama. Jika lahan pasca tambang tidak diremediasi kembali, maka berdampak pada
hilangnya potensi penggunaan lahan untuk aktivitas produktif masyarakat di luar
tambang.
Dirinya juga mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat di
sekitar perusahaan tambang yang hidup dalam kubangan kemiskinan.
“Ada 1600-an desa tertinggal dan sangat tertinggal di Kalbar
ini. Padahal desa-desa itu sebagian juga berada di kawasan dekat pertambangan.
Ada tambang di desa itu saja masih tertinggal, apalagi jika tidak ada,” tukas
Midji.
Untuk itu, orang nomor satu di Bumi Tanjungpura itu akan
menyurati Kementerian ESDM dalam waktu dekat, untuk bersama-sama dengan
pemerintah provinsi melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan pembangunan
smelter di Kalbar.
Pemprov Kalimantan Barat, ditegaskannya, berkomitmen untuk
menjaga iklim investasi di Kalimantan Barat dengan syarat pelaku industri
khususnya pertambangan tetap taat aturan dan memiliki niat baik untuk menata
lingkungan pasca tambang.
Sulit untuk mengukur komitmen perusahaan dalam
membangun smelter mengingat sisa waktu relaksasi ekspor tinggal tiga tahun
lagi. Besar kemungkinan perusahaan-perusahaan pertambangan hanya mau
memanfaatkan kelonggaran ekspor yang diberikan untuk mengeruk keuntungan
sebanyak mungkin sampai batas relaksasi ekspor berakhir tanpa menepati janji
untuk membangun smelter. (Fai)
KalbarOnline,
Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji menyoroti kebijakan pemerintah
melonggarkan ekspor mineral mentah kepada perusahaan pertambangan untuk menekan
angka pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).
“Harusnya pemerintah tidak mengizinkan hasil tambang itu di-ekspor
secara mentah-mentah, harusnya minimal dapat di-ekspor setengah jadi. Kalau
perlu jadinya disini (Kalbar),” ujarnya belum lama ini.
Namun, Midji turut mengakui kendala Kalbar untuk prosesing
tambang misalnya bauksit menjadi aluminium memerlukan daya listrik yang besar.
Meski demikian, Sutarmidji menagih komitmen investasi yaitu pembangunan
smelter perusahaan tambang yang mendapatkan kelonggaran kebijakan ekspor. Hal ini
dimaksudkannya agar dapat memberi dampak ekonomi secara signifikan di Kalbar. Hal
ini juga diperparah dengan nihilnya pembangunan smelter di Kalbar.
“Janji pembangunan smelter itukan sudah sangat lama. Kita
harus tegas saja. Kalau memang mereka (perusahaan) dalam waktu tertentu tidak
mampu, jangan diberi konsesi untuk mengekspor,” tegasnya.
“Kemudian dari sisi pendapatan, bahan tambang yang diekspor
seperti bauksit itu sepertinya dibeli atau dikirim ke pabrik induk mereka,
sehingga mereka yang menentukan harga. Harusnya melalui bursa komoditi,
sehingga harga ditentukan melalui bursa komoditi, jadi kita tidak diakali. Bisa
saja bauksit 1 ton seharga 120, tapi mereka misalnya beli disana hanya 40,
bayangkan betapa besarnya kita merugi, itu yang harus diperhatikan oleh
pemerintah pusat,” timpalnya.
Kemudian, lanjut Midji, pembagian untuk daerah sesuai atau
tidak dengan tanggungjawab yang harus perusahaan laksanakan kedepan, misalnya dampak
dari pertambangan itu.
“Karena dampaknya besar, dari 262 perusahaan pertambangan
yang wajib melakukan reklamasi pasca tambang ternyata hanya 2 yang melakukan,
itu harus ditindak,” tegasnya.
Bahkan Sutarmidji sempat berujar pada Seminar Reklamasi
Tambang yang digelar Perhapi Kalbar pada 15 Desember 2018 lalu bahwa belum ada
perusahaan di Kalimantan Barat yang melakukan reklamasi sesuai standar.
Menurutnya, selama ini proses reklamasi yang dilaksanakan perusahaan masih
dengan cara konvensional.
Sebagai contoh, setelah menghilangkan tanah pucuk akibat
galian tambang bauksit, aktivitas reklamasi yang dilakukan hanya sekedar
penataan lahan dan revegetasi dengan tingkat keberhasilan nyaris 0 persen tanpa
menyentuh akar permasalahan berupa remediasi lahan pasca tambang.
Padahal lahan merupakan modal produksi masyarakat desa yang
utama. Jika lahan pasca tambang tidak diremediasi kembali, maka berdampak pada
hilangnya potensi penggunaan lahan untuk aktivitas produktif masyarakat di luar
tambang.
Dirinya juga mengaku prihatin dengan kondisi masyarakat di
sekitar perusahaan tambang yang hidup dalam kubangan kemiskinan.
“Ada 1600-an desa tertinggal dan sangat tertinggal di Kalbar
ini. Padahal desa-desa itu sebagian juga berada di kawasan dekat pertambangan.
Ada tambang di desa itu saja masih tertinggal, apalagi jika tidak ada,” tukas
Midji.
Untuk itu, orang nomor satu di Bumi Tanjungpura itu akan
menyurati Kementerian ESDM dalam waktu dekat, untuk bersama-sama dengan
pemerintah provinsi melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kemajuan pembangunan
smelter di Kalbar.
Pemprov Kalimantan Barat, ditegaskannya, berkomitmen untuk
menjaga iklim investasi di Kalimantan Barat dengan syarat pelaku industri
khususnya pertambangan tetap taat aturan dan memiliki niat baik untuk menata
lingkungan pasca tambang.
Sulit untuk mengukur komitmen perusahaan dalam
membangun smelter mengingat sisa waktu relaksasi ekspor tinggal tiga tahun
lagi. Besar kemungkinan perusahaan-perusahaan pertambangan hanya mau
memanfaatkan kelonggaran ekspor yang diberikan untuk mengeruk keuntungan
sebanyak mungkin sampai batas relaksasi ekspor berakhir tanpa menepati janji
untuk membangun smelter. (Fai)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini