Shopping cart
Your cart empty!
Terms of use dolor sit amet consectetur, adipisicing elit. Recusandae provident ullam aperiam quo ad non corrupti sit vel quam repellat ipsa quod sed, repellendus adipisci, ducimus ea modi odio assumenda.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Sit amet consectetur adipisicing elit. Sequi, cum esse possimus officiis amet ea voluptatibus libero! Dolorum assumenda esse, deserunt ipsum ad iusto! Praesentium error nobis tenetur at, quis nostrum facere excepturi architecto totam.
Lorem ipsum dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Inventore, soluta alias eaque modi ipsum sint iusto fugiat vero velit rerum.
Do you agree to our terms? Sign up
|
|
Oleh : Jauhari Fatria |
| Kamis, 31 Oktober 2019 |
oleh: Eel Eliyanto
KalbarOnline, Opini –
Di era teknologi yang semakin maju, untuk mendapatkan berbagai informasi
sangatlah mudah. Dengan satu sentuhan jari saja segala informasi yang
diperlukan terpapar jelas di depan mata melalui perangkat telepon pintar maupun
komputer kita. Informasi yang didapatkan ada yang valid namun ada juga yang
diragukan kebenarannya. Oleh karena itu, sangatlah penting ketika mendapatkan
informasi hendaknya kita mengeceknya terlebih dahulu apakah benar atau tidak
informasi tersebut sebelum menyebarkannya kepada orang lain.
Meskipun demikian, tampaknya tidak semua orang seperti itu,
karena ada sebagian orang ketika mendapatkan informasi, mereka menerimanya
begitu saja tanpa menelaah kebenarannya terlebih dahulu. Hal tersebut tidak
berhenti disitu saja. Informasi yang masih abu-abu kebenarannya bahkan
informasi bohong yang diterimanya dan menurutnya sangat penting untuk diketahui
oleh orang banyak justru membuatnya untuk segera menyebarkan informasi maupun
berita tersebut kepada orang lain.
Hal itu akan terus berlanjut dari satu orang ke orang
lainnya. Jika dianalogikan, informasi yang disampaikan tersebut seperti kita
sedang melakukan olahraga lari estapet. Ketika sampai di satu tangan, maka akan disambut dan diberikan lagi ke tangan
lainnya. Begitu juga dengan informasi yang disampaikan ke satu orang, kemudian
orang tersebut menyebarkannya lagi ke orang lain dan seterusnya. Sehingga
informasi bohong tersebut sangat sulit untuk diputus. Oleh karena itu,
diperlukan suatu sikap hati-hati dan maawas diri dalam menyikapi suatu informasi
sebelum menyebarkannya ke khalayak ramai.
Informasi bohong atau dikenal luas dengan kata ‘’Hoax’’
memang menjadi masalah serius di era globaliasi saat ini. Terlebih lagi di
musim kontestasi para tokoh politik. Kita dapat
menyaksikan bagaimana hoax berkembang secara luas pada pilpres lalu.
Hoax terus terjadi hingga saat ini bahkan diantaranya telah menyebabkan
kerusuhan dan perpecahan antar kaum. Oleh karena itu, perlu digalakan lagi
edukasi kepada masyarakat untuk dapat menangkal hoax baik itu melalui seminar,
penyuluhan, sosialisasi di media massa, media sosial dan lainnya atau dengan
memanfaatkan kearifan lokal di setiap daerah.
Beberapa langkah untuk menangkal hoax memang telah dilakukan
oleh berbagai pihak baik itu dari pemerintah, aktivitis, penggiat media sosial,
hingga masyarakat umum. Meskipun demikian tampaknya upaya menangkal hoax
melalui seminar, penyuluhan dan sosialisasi di media massa dan sosial masih
belum mampu membendung arus hoax yang terus beredar di tengah-tengah
masyarakat. Tidak hanya di media sosial, hoax saat ini juga banyak beredar di
kehidupan nyata melalui mulut ke mulut. Jika sudah demikian, untuk menjangkau
masyarakat awam terutama di daerah agar dapat menangkal hoax maka kita dapat
memanfaatkan kearifan lokal setempat sebagai bahan edukasi kepada masyarakat.
Lalu pertanyaannya,
apakah kerifan lokal dapat membendung hoax?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita harus memahami
dulu arti kata hoax dan kearifan lokal itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Hoax didefinisikan sebagai
‘’berita bohong’’. Hoax bertujuan untuk menggiring opini, membentuk persepsi
masyarakat pengguna internet dan sosial media. Meskipun demikian, hoax juga
dijadikan sebagai cara untuk menguji kecerdasan dan ketelitan pengguna internet
dan media sosial.
Hoax memiliki ciri khas tersendiri yaitu didistribusikan
melalui media sosial, berisi pesan yang membuat pembacanya menjadi takut dan
panik, identitas orang yang pertama kali membuat hoax ini tidak diketahui, dan
selalu diakhiri dengan himbauan serta ancaman kepada pembacanya agar segera
menyebarkan informasi tersebut ke khalayak ramai. Hoax tidak hanya dalam bentuk
tulisan. Saat ini hoax juga dalam bentuk gambar yang telah diubah dari bentuk
aslinya. Sebagai pelangkap, hoax berupa gambar tersebut akan diisi dengan
caption yang menggiring opini serta memicu rasa cemas bagi pembacanya.
Lalu bagaimana cara
mencegah, menanggulangi maupun menangkal hoax?
Sebenarnya masyarakat dapat memanfaatkan kearifan lokal di
daerahnya masing-masing untuk menangkal, membendung, mencegah dan menanggulangi
hoax. Karena pada dasarnya kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu
masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.
Kearifan lokal juga berlaku khusus di kalangan masyarakat itu sendiri. Lebih
jelasnya, kearifan lokal dapat diartikan sebagai kearifan dalam kebudayaan
tradisional suku-suku bangsa.
Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu
dan permainan rakyat. Kita harus berbangga bahwa setiap masyarakat Indonesia
memiliki keistimewaannya masing-masing untuk mewariskan budayanya. Salah
satunya adalah dengan mewariskan kearifan lokal secara turun menurun, dari satu
generasi ke generasi lainnya melalui cerita dari mulut ke mulut.
Sebagai contoh, bagi masyarakat kabupaten Sambas, cerita
rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah satu diantara cerita rakyat yang
hingga saat ini masih melegenda dari generasi ke generasi lainnya. Cerita
rakyat tersebut memiliki pesan tersirat yaitu agar kita tidak mudah termakan isu
yang belum jelas kebenarannya serta lebih hati-hati terhadap berita palsu.
Apalagi di dalam cerita tersebut, hoax telah menyebabkan hilangnya dua nyawa
manusia yang tidak berdosa.
Menurut cerita rakyat, Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah
saudara kandung yang merupakan anak dari Raja Tan Unggal yang berkuasa jauh
sebelum masa kesultanan Sambas. Keduanya selalu bersama dari kecil hingga
dewasa. Pada suatu ketika sedang asik bermain di taman istana, Bujang Nadi
memuji kecantikan adiknya itu. Begitu
pula sang adik yang memuji ketampanan saudaranya dan berharap suaminya kelak
memiliki ketampanan seperti saudaranya itu.
Keduanya tidak akan
menikah apabila pasangan mereka tidak serupa cantik dan tampannya seperti yang
mereka inginkan. Nahasnya percakapan kedua saudara itu, sempat didengar oleh
pengawal istana. Sang pengawal pun mengabarkan apa yang dia dengar kepada orang
lain. Namun kabar yang disampaikan menjadi tidak jelas. Akhirnya kabar tersebut
sampai juga ke ruang istana dan disampaikan ke Raja Tan Unggal. Mendengar
berita tersebut Tan Unggal menjadi murka dan segera memerintahkan prajurit
kerajaan untuk menangkap Bujang Nadi dan Dare Nandung.
Tanpa mendengar penjelasan kedua anaknya dan tanpa mengusut
kebenaran laporan yang diterimanya, sang raja menjatuhkan hukuman mengubur
hidup-hidup kedua anaknya tersebut. Permohanan ampun dan isak tangis kedua
anaknya untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya tidak diperdulikan sang
raja. Akhirnya Bujang Nadi dan Dare
Nandung dikubur hidup-hidup di bukit Sebedang, kecamatan Sebawi kabupaten
Sambas Kalimantan Barat.
Dari cerita rakyat di atas, kita dapat mengambil pelajaran
berharga bahwa berita hoax sangat berbahaya bahkan dapat merenggut nyawa
manusia yang tak bersalah. Selain itu, ada beberapa Pesan yang tersirat yang
dapat juga kita petik dari cerita rakyat tersebut di antaranya:
Yang pertama adalah sifat terburu-buru dalam menyampaikan
informasi yang belum jelas kebenarannya. Informasi yang didengar oleh sang
pengawal hanya sepotong. Kemudian dia sebarkan kepada orang lain dan berkembang
menjadi informasi yang jauh menyimpang dari aslinya. Hal ini senada dengan apa
yang terjadi saat ini. Banyak di antara pengguna internet yang tidak melakukan
pengecekan terlebih dahulu terhadap berita yang ia terima sebelum menyebarkannya
di media sosial. Akibatnya opini publik semakin berkembang, hujatan sana sini,
perdebatan, konflik bahkan perpecahan dan kerusuhan seperti yang sempat terjadi
di beberapa daerah waktu lalu.
Pesan kedua yang dapat kita ambil dari cerita Bujang Nadi dan
Dare Nandung adalah ketidakcermatan dan ketidakcerdasan sang raja dalam
menyikapi laporan yang ia terima. Akibatnya sang raja menghukum dan
menghilangkan nyawa anak kandungnya sendiri. Hal serupa juga terjadi saat ini.
Banyak dari kita yang mendapatkan berita lalu beropini seliar mungkin dan
menghakimi tanpa mengusut kebenaran berita yang kita dapatkan.
Sebagai contoh nyata, hal serupa telah terjadi saat aksi
mahasiswa yang melakukan demonstrasi penolakan RKHUP dan Revisi UU KPK beberapa
waktu lalu. Salah satu yang menjadi korban hoax adalah ambulan yang diberitakan
membawa batu untuk aksi mahasiswa. Berita hoax tersebut menjadi semakin viral
saat akun media sosal milik aparatur negara ikut menyebarkannya.
Akibatnya, pengguna media sosial berbondong-bondong
beropini, menghujat dan menghakimi petugas ambulan. Hal itu terjadi karena
ketidakcerdasan dan ketidakcermatan pengguna internet dan media sosial dalam
menyikapi laporan yang mereka terima seperti yang terjadi pada sang raja Tan
Unggal di dalam cerita Bujang Nadi dan Dare Nandung.
Pesan ketiga dari cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung
yang bisa kita petik adalah sang raja mengabaikan dan tidak memberi waktu untuk
mendengarkan penjelasan sang anak. Hal serupa juga masih terjadi saat ini.
Pengguna internet merasa enggan untuk mencari tahu terlebih dahulu kebenaran
berita yang ia dapatkan. Tidak ada upaya
untuk membandingkan berita yang dia terima dengan berita lainnya yang memiliki
keterkaitan isi baik itu; waktu, narasi, gambar maupun sumber berita tersebut
berasal. Sifat mengabaikan inilah yang pada akhirnya semakin membuat hoax terus
beredar.
Membaca cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung yang
memiliki kaitan terhadap hoax saat ini, maka Bujang Nadi dan Dare Nandung
adalah contoh nyata korban dari hoax di masa lalu. Meski penyebaran hoax pada
masa itu hanya dilakukan dari mulut ke mulut, namun dampaknya telah mengambil
nyawa dua saudara yang tak bersalah. Lalu bagaimana dengan saat ini yang justru
penyebarannya sudah semakin luas melalui internet dan media sosial?. Tidak
dapat kita bayangkan betapa mengerikannya dampak tersebut. Contoh nyata betapa
hoax merusak bangsa ini adalah saat terjadinya kerusuhan di Wawena beberapa
lalu akibat hoax yang berbau rasisme.
Oleh karena itu, melihat dampak hoax yang terjadi di masa
lalu seperti pada cerita Bujang Nadi dan Dare Nandung dan dampak hoax yang
terjadi saat ini, maka seyogyanya cerita rakyat yang merupakan kearifan lokal
dapat dijadikan bahan edukasi kepada masyarakat Tidak hanya masyarakat yang tinggal
di perkotaan, melainkan juga masyarakat
di pedesaan yang masih jauh dari akses teknologi namun tak menutup kemungkinan
terpapar hoax melalui mulut ke mulut.
Agar tidak mudah mempercayai berita bohong. Kemudian, cerita
rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung juga bisa dijadikan bahan edukasi kepada
generasi muda terutama di tingkat sekolah melalui penceritaan berulang-ulang
cerita rakyat tersebut untuk mengingatkan bahwa sangat besar sekali dampak dari
berita hoax seperti yang telah dialami oleh Bujang Nadi dan Dare Nandung.
Selain itu, pesan yang tersirat di dalam cerita rakyat
tersebut juga perlu disampaikan terus menerus kepada generasi muda sebagai
pengingat sekaligus menjadi pelajaran bahwa diperlukan sikap cermat dan teliti
dalam menyikapi suatu berita, informasi, atau laporan yang diterima sebelum
menyampaikannya kepada orang lain. Sehingga, dengan dilakukan upaya tersebut
diharapkan kedepannya generasi muda semakin mawas diri dan dapat menangkal
hoax, membendung bahkan memutus siklus hoax. (*)
oleh: Eel Eliyanto
KalbarOnline, Opini –
Di era teknologi yang semakin maju, untuk mendapatkan berbagai informasi
sangatlah mudah. Dengan satu sentuhan jari saja segala informasi yang
diperlukan terpapar jelas di depan mata melalui perangkat telepon pintar maupun
komputer kita. Informasi yang didapatkan ada yang valid namun ada juga yang
diragukan kebenarannya. Oleh karena itu, sangatlah penting ketika mendapatkan
informasi hendaknya kita mengeceknya terlebih dahulu apakah benar atau tidak
informasi tersebut sebelum menyebarkannya kepada orang lain.
Meskipun demikian, tampaknya tidak semua orang seperti itu,
karena ada sebagian orang ketika mendapatkan informasi, mereka menerimanya
begitu saja tanpa menelaah kebenarannya terlebih dahulu. Hal tersebut tidak
berhenti disitu saja. Informasi yang masih abu-abu kebenarannya bahkan
informasi bohong yang diterimanya dan menurutnya sangat penting untuk diketahui
oleh orang banyak justru membuatnya untuk segera menyebarkan informasi maupun
berita tersebut kepada orang lain.
Hal itu akan terus berlanjut dari satu orang ke orang
lainnya. Jika dianalogikan, informasi yang disampaikan tersebut seperti kita
sedang melakukan olahraga lari estapet. Ketika sampai di satu tangan, maka akan disambut dan diberikan lagi ke tangan
lainnya. Begitu juga dengan informasi yang disampaikan ke satu orang, kemudian
orang tersebut menyebarkannya lagi ke orang lain dan seterusnya. Sehingga
informasi bohong tersebut sangat sulit untuk diputus. Oleh karena itu,
diperlukan suatu sikap hati-hati dan maawas diri dalam menyikapi suatu informasi
sebelum menyebarkannya ke khalayak ramai.
Informasi bohong atau dikenal luas dengan kata ‘’Hoax’’
memang menjadi masalah serius di era globaliasi saat ini. Terlebih lagi di
musim kontestasi para tokoh politik. Kita dapat
menyaksikan bagaimana hoax berkembang secara luas pada pilpres lalu.
Hoax terus terjadi hingga saat ini bahkan diantaranya telah menyebabkan
kerusuhan dan perpecahan antar kaum. Oleh karena itu, perlu digalakan lagi
edukasi kepada masyarakat untuk dapat menangkal hoax baik itu melalui seminar,
penyuluhan, sosialisasi di media massa, media sosial dan lainnya atau dengan
memanfaatkan kearifan lokal di setiap daerah.
Beberapa langkah untuk menangkal hoax memang telah dilakukan
oleh berbagai pihak baik itu dari pemerintah, aktivitis, penggiat media sosial,
hingga masyarakat umum. Meskipun demikian tampaknya upaya menangkal hoax
melalui seminar, penyuluhan dan sosialisasi di media massa dan sosial masih
belum mampu membendung arus hoax yang terus beredar di tengah-tengah
masyarakat. Tidak hanya di media sosial, hoax saat ini juga banyak beredar di
kehidupan nyata melalui mulut ke mulut. Jika sudah demikian, untuk menjangkau
masyarakat awam terutama di daerah agar dapat menangkal hoax maka kita dapat
memanfaatkan kearifan lokal setempat sebagai bahan edukasi kepada masyarakat.
Lalu pertanyaannya,
apakah kerifan lokal dapat membendung hoax?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita harus memahami
dulu arti kata hoax dan kearifan lokal itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Hoax didefinisikan sebagai
‘’berita bohong’’. Hoax bertujuan untuk menggiring opini, membentuk persepsi
masyarakat pengguna internet dan sosial media. Meskipun demikian, hoax juga
dijadikan sebagai cara untuk menguji kecerdasan dan ketelitan pengguna internet
dan media sosial.
Hoax memiliki ciri khas tersendiri yaitu didistribusikan
melalui media sosial, berisi pesan yang membuat pembacanya menjadi takut dan
panik, identitas orang yang pertama kali membuat hoax ini tidak diketahui, dan
selalu diakhiri dengan himbauan serta ancaman kepada pembacanya agar segera
menyebarkan informasi tersebut ke khalayak ramai. Hoax tidak hanya dalam bentuk
tulisan. Saat ini hoax juga dalam bentuk gambar yang telah diubah dari bentuk
aslinya. Sebagai pelangkap, hoax berupa gambar tersebut akan diisi dengan
caption yang menggiring opini serta memicu rasa cemas bagi pembacanya.
Lalu bagaimana cara
mencegah, menanggulangi maupun menangkal hoax?
Sebenarnya masyarakat dapat memanfaatkan kearifan lokal di
daerahnya masing-masing untuk menangkal, membendung, mencegah dan menanggulangi
hoax. Karena pada dasarnya kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu
masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.
Kearifan lokal juga berlaku khusus di kalangan masyarakat itu sendiri. Lebih
jelasnya, kearifan lokal dapat diartikan sebagai kearifan dalam kebudayaan
tradisional suku-suku bangsa.
Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu
dan permainan rakyat. Kita harus berbangga bahwa setiap masyarakat Indonesia
memiliki keistimewaannya masing-masing untuk mewariskan budayanya. Salah
satunya adalah dengan mewariskan kearifan lokal secara turun menurun, dari satu
generasi ke generasi lainnya melalui cerita dari mulut ke mulut.
Sebagai contoh, bagi masyarakat kabupaten Sambas, cerita
rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah satu diantara cerita rakyat yang
hingga saat ini masih melegenda dari generasi ke generasi lainnya. Cerita
rakyat tersebut memiliki pesan tersirat yaitu agar kita tidak mudah termakan isu
yang belum jelas kebenarannya serta lebih hati-hati terhadap berita palsu.
Apalagi di dalam cerita tersebut, hoax telah menyebabkan hilangnya dua nyawa
manusia yang tidak berdosa.
Menurut cerita rakyat, Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah
saudara kandung yang merupakan anak dari Raja Tan Unggal yang berkuasa jauh
sebelum masa kesultanan Sambas. Keduanya selalu bersama dari kecil hingga
dewasa. Pada suatu ketika sedang asik bermain di taman istana, Bujang Nadi
memuji kecantikan adiknya itu. Begitu
pula sang adik yang memuji ketampanan saudaranya dan berharap suaminya kelak
memiliki ketampanan seperti saudaranya itu.
Keduanya tidak akan
menikah apabila pasangan mereka tidak serupa cantik dan tampannya seperti yang
mereka inginkan. Nahasnya percakapan kedua saudara itu, sempat didengar oleh
pengawal istana. Sang pengawal pun mengabarkan apa yang dia dengar kepada orang
lain. Namun kabar yang disampaikan menjadi tidak jelas. Akhirnya kabar tersebut
sampai juga ke ruang istana dan disampaikan ke Raja Tan Unggal. Mendengar
berita tersebut Tan Unggal menjadi murka dan segera memerintahkan prajurit
kerajaan untuk menangkap Bujang Nadi dan Dare Nandung.
Tanpa mendengar penjelasan kedua anaknya dan tanpa mengusut
kebenaran laporan yang diterimanya, sang raja menjatuhkan hukuman mengubur
hidup-hidup kedua anaknya tersebut. Permohanan ampun dan isak tangis kedua
anaknya untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya tidak diperdulikan sang
raja. Akhirnya Bujang Nadi dan Dare
Nandung dikubur hidup-hidup di bukit Sebedang, kecamatan Sebawi kabupaten
Sambas Kalimantan Barat.
Dari cerita rakyat di atas, kita dapat mengambil pelajaran
berharga bahwa berita hoax sangat berbahaya bahkan dapat merenggut nyawa
manusia yang tak bersalah. Selain itu, ada beberapa Pesan yang tersirat yang
dapat juga kita petik dari cerita rakyat tersebut di antaranya:
Yang pertama adalah sifat terburu-buru dalam menyampaikan
informasi yang belum jelas kebenarannya. Informasi yang didengar oleh sang
pengawal hanya sepotong. Kemudian dia sebarkan kepada orang lain dan berkembang
menjadi informasi yang jauh menyimpang dari aslinya. Hal ini senada dengan apa
yang terjadi saat ini. Banyak di antara pengguna internet yang tidak melakukan
pengecekan terlebih dahulu terhadap berita yang ia terima sebelum menyebarkannya
di media sosial. Akibatnya opini publik semakin berkembang, hujatan sana sini,
perdebatan, konflik bahkan perpecahan dan kerusuhan seperti yang sempat terjadi
di beberapa daerah waktu lalu.
Pesan kedua yang dapat kita ambil dari cerita Bujang Nadi dan
Dare Nandung adalah ketidakcermatan dan ketidakcerdasan sang raja dalam
menyikapi laporan yang ia terima. Akibatnya sang raja menghukum dan
menghilangkan nyawa anak kandungnya sendiri. Hal serupa juga terjadi saat ini.
Banyak dari kita yang mendapatkan berita lalu beropini seliar mungkin dan
menghakimi tanpa mengusut kebenaran berita yang kita dapatkan.
Sebagai contoh nyata, hal serupa telah terjadi saat aksi
mahasiswa yang melakukan demonstrasi penolakan RKHUP dan Revisi UU KPK beberapa
waktu lalu. Salah satu yang menjadi korban hoax adalah ambulan yang diberitakan
membawa batu untuk aksi mahasiswa. Berita hoax tersebut menjadi semakin viral
saat akun media sosal milik aparatur negara ikut menyebarkannya.
Akibatnya, pengguna media sosial berbondong-bondong
beropini, menghujat dan menghakimi petugas ambulan. Hal itu terjadi karena
ketidakcerdasan dan ketidakcermatan pengguna internet dan media sosial dalam
menyikapi laporan yang mereka terima seperti yang terjadi pada sang raja Tan
Unggal di dalam cerita Bujang Nadi dan Dare Nandung.
Pesan ketiga dari cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung
yang bisa kita petik adalah sang raja mengabaikan dan tidak memberi waktu untuk
mendengarkan penjelasan sang anak. Hal serupa juga masih terjadi saat ini.
Pengguna internet merasa enggan untuk mencari tahu terlebih dahulu kebenaran
berita yang ia dapatkan. Tidak ada upaya
untuk membandingkan berita yang dia terima dengan berita lainnya yang memiliki
keterkaitan isi baik itu; waktu, narasi, gambar maupun sumber berita tersebut
berasal. Sifat mengabaikan inilah yang pada akhirnya semakin membuat hoax terus
beredar.
Membaca cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung yang
memiliki kaitan terhadap hoax saat ini, maka Bujang Nadi dan Dare Nandung
adalah contoh nyata korban dari hoax di masa lalu. Meski penyebaran hoax pada
masa itu hanya dilakukan dari mulut ke mulut, namun dampaknya telah mengambil
nyawa dua saudara yang tak bersalah. Lalu bagaimana dengan saat ini yang justru
penyebarannya sudah semakin luas melalui internet dan media sosial?. Tidak
dapat kita bayangkan betapa mengerikannya dampak tersebut. Contoh nyata betapa
hoax merusak bangsa ini adalah saat terjadinya kerusuhan di Wawena beberapa
lalu akibat hoax yang berbau rasisme.
Oleh karena itu, melihat dampak hoax yang terjadi di masa
lalu seperti pada cerita Bujang Nadi dan Dare Nandung dan dampak hoax yang
terjadi saat ini, maka seyogyanya cerita rakyat yang merupakan kearifan lokal
dapat dijadikan bahan edukasi kepada masyarakat Tidak hanya masyarakat yang tinggal
di perkotaan, melainkan juga masyarakat
di pedesaan yang masih jauh dari akses teknologi namun tak menutup kemungkinan
terpapar hoax melalui mulut ke mulut.
Agar tidak mudah mempercayai berita bohong. Kemudian, cerita
rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung juga bisa dijadikan bahan edukasi kepada
generasi muda terutama di tingkat sekolah melalui penceritaan berulang-ulang
cerita rakyat tersebut untuk mengingatkan bahwa sangat besar sekali dampak dari
berita hoax seperti yang telah dialami oleh Bujang Nadi dan Dare Nandung.
Selain itu, pesan yang tersirat di dalam cerita rakyat
tersebut juga perlu disampaikan terus menerus kepada generasi muda sebagai
pengingat sekaligus menjadi pelajaran bahwa diperlukan sikap cermat dan teliti
dalam menyikapi suatu berita, informasi, atau laporan yang diterima sebelum
menyampaikannya kepada orang lain. Sehingga, dengan dilakukan upaya tersebut
diharapkan kedepannya generasi muda semakin mawas diri dan dapat menangkal
hoax, membendung bahkan memutus siklus hoax. (*)
Bayar Sekarang, Tahu Lebih Banyak
Masukkan nomor WhatsApp Anda untuk mendapatkan akses penuh ke berita premium ini