Kolom    

Dapatkah Kearifan Lokal Membendung Hoax?

Oleh : Jauhari Fatria
Kamis, 31 Oktober 2019
WhatsApp Icon
Ukuran Font
Kecil Besar

oleh: Eel Eliyanto

KalbarOnline, Opini –

Di era teknologi yang semakin maju, untuk mendapatkan berbagai informasi

sangatlah mudah. Dengan satu sentuhan jari saja segala informasi yang

diperlukan terpapar jelas di depan mata melalui perangkat telepon pintar maupun

komputer kita. Informasi yang didapatkan ada yang valid namun ada juga yang

diragukan kebenarannya. Oleh karena itu, sangatlah penting ketika mendapatkan

informasi hendaknya kita mengeceknya terlebih dahulu apakah benar atau tidak

informasi tersebut sebelum menyebarkannya kepada orang lain.

Meskipun demikian, tampaknya tidak semua orang seperti itu,

karena ada sebagian orang ketika mendapatkan informasi, mereka menerimanya

begitu saja tanpa menelaah kebenarannya terlebih dahulu. Hal tersebut tidak

berhenti disitu saja. Informasi yang masih abu-abu kebenarannya bahkan

informasi bohong yang diterimanya dan menurutnya sangat penting untuk diketahui

oleh orang banyak justru membuatnya untuk segera menyebarkan informasi maupun

berita tersebut kepada orang lain.

Hal itu akan terus berlanjut dari satu orang ke orang

lainnya. Jika dianalogikan, informasi yang disampaikan tersebut seperti kita

sedang melakukan olahraga lari estapet. Ketika sampai di satu tangan, maka  akan disambut dan diberikan lagi ke tangan

lainnya. Begitu juga dengan informasi yang disampaikan ke satu orang, kemudian

orang tersebut menyebarkannya lagi ke orang lain dan seterusnya. Sehingga

informasi bohong tersebut sangat sulit untuk diputus. Oleh karena itu,

diperlukan suatu sikap hati-hati dan maawas diri dalam menyikapi suatu informasi

sebelum menyebarkannya ke khalayak ramai.

Informasi bohong atau dikenal luas dengan kata ‘’Hoax’’

memang menjadi masalah serius di era globaliasi saat ini. Terlebih lagi di

musim kontestasi para tokoh politik. Kita dapat 

menyaksikan bagaimana hoax berkembang secara luas pada pilpres lalu.

Hoax terus terjadi hingga saat ini bahkan diantaranya telah menyebabkan

kerusuhan dan perpecahan antar kaum. Oleh karena itu, perlu digalakan lagi

edukasi kepada masyarakat untuk dapat menangkal hoax baik itu melalui seminar,

penyuluhan, sosialisasi di media massa, media sosial dan lainnya atau dengan

memanfaatkan kearifan lokal di setiap daerah.

Beberapa langkah untuk menangkal hoax memang telah dilakukan

oleh berbagai pihak baik itu dari pemerintah, aktivitis, penggiat media sosial,

hingga masyarakat umum. Meskipun demikian tampaknya upaya menangkal hoax

melalui seminar, penyuluhan dan sosialisasi di media massa dan sosial masih

belum mampu membendung arus hoax yang terus beredar di tengah-tengah

masyarakat. Tidak hanya di media sosial, hoax saat ini juga banyak beredar di

kehidupan nyata melalui mulut ke mulut. Jika sudah demikian, untuk menjangkau

masyarakat awam terutama di daerah agar dapat menangkal hoax maka kita dapat

memanfaatkan kearifan lokal setempat sebagai bahan edukasi kepada masyarakat.

Lalu pertanyaannya,

apakah kerifan lokal dapat membendung hoax?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita harus memahami

dulu arti kata hoax dan kearifan lokal itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Hoax  didefinisikan sebagai

‘’berita bohong’’. Hoax bertujuan untuk menggiring opini, membentuk persepsi

masyarakat pengguna internet dan sosial media. Meskipun demikian, hoax juga

dijadikan sebagai cara untuk menguji kecerdasan dan ketelitan pengguna internet

dan media sosial.

Hoax memiliki ciri khas tersendiri yaitu didistribusikan

melalui media sosial, berisi pesan yang membuat pembacanya menjadi takut dan

panik, identitas orang yang pertama kali membuat hoax ini tidak diketahui, dan

selalu diakhiri dengan himbauan serta ancaman kepada pembacanya agar segera

menyebarkan informasi tersebut ke khalayak ramai. Hoax tidak hanya dalam bentuk

tulisan. Saat ini hoax juga dalam bentuk gambar yang telah diubah dari bentuk

aslinya. Sebagai pelangkap, hoax berupa gambar tersebut akan diisi dengan

caption yang menggiring opini serta memicu rasa cemas bagi pembacanya.

Lalu bagaimana cara

mencegah, menanggulangi maupun menangkal hoax?

Sebenarnya masyarakat dapat memanfaatkan kearifan lokal di

daerahnya masing-masing untuk menangkal, membendung, mencegah dan menanggulangi

hoax. Karena pada dasarnya kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu

masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri.

Kearifan lokal juga berlaku khusus di kalangan masyarakat itu sendiri. Lebih

jelasnya, kearifan lokal dapat diartikan sebagai kearifan dalam kebudayaan

tradisional suku-suku bangsa.

Kearifan lokal ada di dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu

dan permainan rakyat. Kita harus berbangga bahwa setiap masyarakat Indonesia

memiliki keistimewaannya masing-masing untuk mewariskan budayanya. Salah

satunya adalah dengan mewariskan kearifan lokal secara turun menurun, dari satu

generasi ke generasi lainnya melalui cerita dari mulut ke mulut.

Sebagai contoh, bagi masyarakat kabupaten Sambas, cerita

rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah satu diantara cerita rakyat yang

hingga saat ini masih melegenda dari generasi ke generasi lainnya. Cerita

rakyat tersebut memiliki pesan tersirat yaitu agar kita tidak mudah termakan isu

yang belum jelas kebenarannya serta lebih hati-hati terhadap berita palsu.

Apalagi di dalam cerita tersebut, hoax telah menyebabkan hilangnya dua nyawa

manusia yang tidak berdosa.

Menurut cerita rakyat, Bujang Nadi dan Dare Nandung adalah

saudara kandung yang merupakan anak dari Raja Tan Unggal yang berkuasa jauh

sebelum masa kesultanan Sambas. Keduanya selalu bersama dari kecil hingga

dewasa. Pada suatu ketika sedang asik bermain di taman istana, Bujang Nadi

memuji kecantikan adiknya itu.  Begitu

pula sang adik yang memuji ketampanan saudaranya dan berharap suaminya kelak

memiliki ketampanan seperti saudaranya itu.

Keduanya  tidak akan

menikah apabila pasangan mereka tidak serupa cantik dan tampannya seperti yang

mereka inginkan. Nahasnya percakapan kedua saudara itu, sempat didengar oleh

pengawal istana. Sang pengawal pun mengabarkan apa yang dia dengar kepada orang

lain. Namun kabar yang disampaikan menjadi tidak jelas. Akhirnya kabar tersebut

sampai juga ke ruang istana dan disampaikan ke Raja Tan Unggal. Mendengar

berita tersebut Tan Unggal menjadi murka dan segera memerintahkan prajurit

kerajaan untuk menangkap Bujang Nadi dan Dare Nandung.

Tanpa mendengar penjelasan kedua anaknya dan tanpa mengusut

kebenaran laporan yang diterimanya, sang raja menjatuhkan hukuman mengubur

hidup-hidup kedua anaknya tersebut. Permohanan ampun dan isak tangis kedua

anaknya untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya tidak diperdulikan sang

raja.  Akhirnya Bujang Nadi dan Dare

Nandung dikubur hidup-hidup di bukit Sebedang, kecamatan Sebawi kabupaten

Sambas Kalimantan Barat.

Dari cerita rakyat di atas, kita dapat mengambil pelajaran

berharga bahwa berita hoax sangat berbahaya bahkan dapat merenggut nyawa

manusia yang tak bersalah. Selain itu, ada beberapa Pesan yang tersirat yang

dapat juga kita petik dari cerita rakyat tersebut di antaranya:

Yang pertama adalah sifat terburu-buru dalam menyampaikan

informasi yang belum jelas kebenarannya. Informasi yang didengar oleh sang

pengawal hanya sepotong. Kemudian dia sebarkan kepada orang lain dan berkembang

menjadi informasi yang jauh menyimpang dari aslinya. Hal ini senada dengan apa

yang terjadi saat ini. Banyak di antara pengguna internet yang tidak melakukan

pengecekan terlebih dahulu terhadap berita yang ia terima sebelum menyebarkannya

di media sosial. Akibatnya opini publik semakin berkembang, hujatan sana sini,

perdebatan, konflik bahkan perpecahan dan kerusuhan seperti yang sempat terjadi

di  beberapa daerah waktu lalu.

Pesan kedua yang dapat kita ambil dari cerita Bujang Nadi dan

Dare Nandung adalah ketidakcermatan dan ketidakcerdasan sang raja dalam

menyikapi laporan yang ia terima. Akibatnya sang raja menghukum dan

menghilangkan nyawa anak kandungnya sendiri. Hal serupa juga terjadi saat ini.

Banyak dari kita yang mendapatkan berita lalu beropini seliar mungkin dan

menghakimi tanpa mengusut kebenaran berita yang kita dapatkan.

Sebagai contoh nyata, hal serupa telah terjadi saat aksi

mahasiswa yang melakukan demonstrasi penolakan RKHUP dan Revisi UU KPK beberapa

waktu lalu. Salah satu yang menjadi korban hoax adalah ambulan yang diberitakan

membawa batu untuk aksi mahasiswa. Berita hoax tersebut menjadi semakin viral

saat akun media sosal milik aparatur negara ikut menyebarkannya.

Akibatnya, pengguna media sosial berbondong-bondong

beropini, menghujat dan menghakimi petugas ambulan. Hal itu terjadi karena

ketidakcerdasan dan ketidakcermatan pengguna internet dan media sosial dalam

menyikapi laporan yang mereka terima seperti yang terjadi pada sang raja Tan

Unggal di dalam cerita Bujang Nadi dan Dare Nandung.

Pesan ketiga dari cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung

yang bisa kita petik adalah sang raja mengabaikan dan tidak memberi waktu untuk

mendengarkan penjelasan sang anak. Hal serupa juga masih terjadi saat ini.

Pengguna internet merasa enggan untuk mencari tahu terlebih dahulu kebenaran

berita yang ia dapatkan.  Tidak ada upaya

untuk membandingkan berita yang dia terima dengan berita lainnya yang memiliki

keterkaitan isi baik itu; waktu, narasi, gambar maupun sumber berita tersebut

berasal. Sifat mengabaikan inilah yang pada akhirnya semakin membuat hoax terus

beredar.

Membaca cerita rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung yang

memiliki kaitan terhadap hoax saat ini, maka Bujang Nadi dan Dare Nandung

adalah contoh nyata korban dari hoax di masa lalu. Meski penyebaran hoax pada

masa itu hanya dilakukan dari mulut ke mulut, namun dampaknya telah mengambil

nyawa dua saudara yang tak bersalah. Lalu bagaimana dengan saat ini yang justru

penyebarannya sudah semakin luas melalui internet dan media sosial?. Tidak

dapat kita bayangkan betapa mengerikannya dampak tersebut. Contoh nyata betapa

hoax merusak bangsa ini adalah saat terjadinya kerusuhan di Wawena beberapa

lalu akibat hoax yang berbau rasisme.

Oleh karena itu, melihat dampak hoax yang terjadi di masa

lalu seperti pada cerita Bujang Nadi dan Dare Nandung dan dampak hoax yang

terjadi saat ini, maka seyogyanya cerita rakyat yang merupakan kearifan lokal

dapat dijadikan bahan edukasi kepada masyarakat Tidak hanya masyarakat yang tinggal

di perkotaan, melainkan juga  masyarakat

di pedesaan yang masih jauh dari akses teknologi namun tak menutup kemungkinan

terpapar hoax melalui mulut ke mulut.

Agar tidak mudah mempercayai berita bohong. Kemudian, cerita

rakyat Bujang Nadi dan Dare Nandung juga bisa dijadikan bahan edukasi kepada

generasi muda terutama di tingkat sekolah melalui penceritaan berulang-ulang

cerita rakyat tersebut untuk mengingatkan bahwa sangat besar sekali dampak dari

berita hoax seperti yang telah dialami oleh Bujang Nadi dan Dare Nandung.

Selain itu, pesan yang tersirat di dalam cerita rakyat

tersebut juga perlu disampaikan terus menerus kepada generasi muda sebagai

pengingat sekaligus menjadi pelajaran bahwa diperlukan sikap cermat dan teliti

dalam menyikapi suatu berita, informasi, atau laporan yang diterima sebelum

menyampaikannya kepada orang lain. Sehingga, dengan dilakukan upaya tersebut

diharapkan kedepannya generasi muda semakin mawas diri dan dapat menangkal

hoax, membendung bahkan memutus siklus hoax. (*)

Artikel Selanjutnya
Momentum Sumpah Pemuda, Ini Harapan Kadisporapar Bagi Pemuda Sekadau
Rabu, 30 Oktober 2019
Artikel Sebelumnya
Bunga Bangkai Tumbuh di Pekarangan Rumah Warga di Sungai Ringin Sekadau
Rabu, 30 Oktober 2019

Berita terkait