Happy Hypoxia menjadi perbincangan di media sosial akhir-akhir ini. Tiga orang pasien COVID-19 di Banyumas meninggal karena happy hypoxia. “Mereka tidak menunjukkan gejala seperti orang yang terinfeksi virus corona, yaitu batuk, pilek, dan demam. Mereka tampak gembira-gembira saja tetapi saturasi oksigen dalam darah lama-lama turun.” demikian keterangan dari Bupati Banyumas Achmad Husein.
Apa itu happy hypoxia? Apakah ini merupakan gejala baru COVID-19?
Baca juga: Diare, Salah Satu Gejala Covid-19 di Saluran Pencernaan
Happy Hipoxia, Gejala Bau COVID-19?
Jika kita telusuri dari studi literatur, kasus Happy hypoxia juga dialami oleh beberapa negara. Wall Street Journal memberitakan bahwa banyak pasien yang datang ke rumah sakit tanpa keluhan gangguan pernafasan, dalam kondisi sadar dan berbicara seperti biasa. Namun, ketika diperiksa, saturasi oksigen ternyata rendah. Karena itu fenomena ini kemudian dikenal sebagai happy hypoxia atau silent hypoxia.
Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin (Hb) yang berikatan dengan oksigen dalam darah. Saturasi oksigen normal pada manusia berkisar antara 95 – 100%. Jika saturasi oksigen dalam darah di bawah 90%, maka kondisi ini sudah bisa disebut sebagai hipoksemia. Kondisi hipoksemia yang terus berlanjut akan memacu terjadinya hipoksia. Hipoksia adalah kondisi di mana saturasi oksigen di jaringan tubuh juga rendah.
Penurunan saturasi oksigen umumnya terjadi pada penyakit paru seperti Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), pneumonia, emboli paru, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), pada kondisi penyakit seperti anemia, gagal jantung, syok atau keracunan obat-obatan tertentu. Selain itu kondisi lingkungan seperti berada di ketinggian, polusi udara berat, terhirup gas beracun juga dapat memacu penurunan saturasi oksigen.
Gejala yang dialami oleh individu yang mengalami penurunan saturasi oksigen bisa berbeda-beda tergantung dari tingkat keparahannya. Gejala yang umum dialami antara lain batuk-batuk, sesak nafas, nafas berat, sakit kepala, kebingungan sampai kulit, kuku, bibir membiru (sianosis). Pada kondisi berat, penurunan saturasi oksigen dapat memicu kerusakan organ tubuh seperti jantung, otak dan organ vital lainnya yang kemudian menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran (koma) sampai kematian.
Namun, kondisi berbeda dialami oleh penderita COVID-19. Mereka yang mengalami saturasi oksigen rendah tidak menunjukkan gejala apa-apa seperti yang biasa dialami oleh pasien hipoksia. Karena itu gejala hipoksia ini sering tidak disadari oleh penderita.
Sampai saat ini belum ada teori pasti yang menjelaskan mengapa happy hypoxia bisa terjadi. Masih menjadi misteri dan tanda tanya bagi dokter dan para ahli di dunia. Studi-studi terus dilakukan untuk mencari penyebab happy hypoxia yang dialami penderita COVID-19.
Baca juga: Kisah Pasien, Gejala Covid-19 Dirasakan Hingga Lebih dari Sebulan
Penyebab Happy Hipoxia pada Pasien COVID-19
Berikut beberapa hipotesis yang diduga menjadi penyebab Happy hypoxia antara lain :
- Virus SARS-COV-2 penyebab COVID-19 dapat menyebabkan penggumpalan darah (trombus) pada pembuluh darah paru-paru. Kondisi ini menyulitkan oksigen untuk memasuki aliran darah yang berefek ke penurunan saturasi.
- Jalur masuk virus SARS-COV2 diketahui melalui Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE-2). ACE 2 diekspresikan di dalam badan karotis, tempat kemoreseptor merasakan oksigen dan di mukosa hidung. Hilangnya atau berkurangnya rasa penciuman (anosmia-hiposmia) yang dialami 2/3 pasien COVID-19 diduga ada hubungan dengan happy hypoxia.
- Ada kemungkinan bahwa virus SARS-COV2 memiliki aksi idiosinkratik (reaksi yang tidak lazim) pada reseptor yang terlibat dalam kemosensitivitas terhadap oksigen.
- Respon ventilasi terhadap hipoksia setiap orang bervariasi. Respon ini menurun 50% pada usia tua (> 65 tahun) dan pada penderita diabetes.
- Ada kemungkinan happy/silent hypoxia berjalan lambat dan stabil pada beberapa orang sehingga ia tidak menyadarinya. Walaupun pada akhirnya menyebabkan sesak napas, tetapi pada saat itu kerusakan paru-paru sudah semakin parah.
Baca juga: Covid-19 Terbukti Airborne Disease, Lindungi Rongga Mulut dan Hidung Kita!
Bagaimana mendeteksi gejala happy hypoxia?
Secara teori, sulit mendeteksi apakah penderita COVID-19 ini mengalami happy hypoxia karena cenderung tanpa gejala klinis. Dokter akan menggunakan alat yang dapat mendeteksi saturasi oksigen dalam darah yang disebut oksimeter. Alat ini dijepitkan di jari untuk kemudian saturasi oksigen dapat terlihat dari angka yang muncul.
COVID-19 memang sering disebut seribu wajah karena manifestasi klinis yang ditimbulkan bermacam-macam. Makin ke sini, gejala klinis COVID-19 tidak hanya gejala gangguan pernapasan, namun juga bermanifestasi ke gejala gangguan pencernaan juga kulit.
Karena itu Geng Sehat, tidak menganggap sepele gejala yang muncul dalam tubuh kamu adalah tindakan yang bijak. Segera konsultasikan ke dokter jika kamu mengalami gejala-gejala yang mengarah ke COVID-19.
Lebih utama lagi lakukan tindakan pencegahan dengan tetap menerapkan protokol kesehatan seperti menggunakan masker, menghindari kerumunan serta menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
Baca juga: Batuk Karena Corona? Ini Perbedaannya Batuk Biasa dengan Batuk Corona!
Referensi
1. Dhont et al. 2020. The pathophysiology of ‘happy’ hypoxemia in COVID-19. Respiratory Research. Vol. 21 (198). p. 1 – 9.
2. Jennifer C.F. 2020. The mystery of the pandemic’s ‘happy hypoxia’. Science 01 Vol. 368( 6490), p. 455-456.
3. Tobin, et al. 2020. Why COVID-19 Silent Hypoxemia Is Baffling to Physicians. Am J Respir Crit Care Med. Vol. 202(3). p.356–360.
4. Duarte and Kaufmann. 2020. Is ’happy hypoxia’ in COVID‑19 a disorder of autonomic interoception? A hypothesis. Clin Auton Res. Vol. 15. p.1–3.
Comment