Inggit Garnasih menyusup ke penjara, berjualan jamu, dan memboyong ibu serta anak-angkat ke Ende, semua demi Soekarno. Perpisahan mereka, kata sejarawan Anhar Gonggong, ”tragedi” dalam sejarah.
—
JANGAN membabi buta saat mengagumi Soekarno. Lihat dia di tahun dua puluhan, tiga puluhan, dan empat puluhan.
Tahun-tahun paling menentukan itu ditopang dengan sempurna oleh perempuan bernama Inggit Garnasih. Bagi Soekarno, Inggit adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa diberikan buku.
Selama 19 tahun, Inggit setia mendampingi Soekarno. Inggit bisa jadi tak merasakan kemewahan seperti halnya bersama Sanusi, suami dia sebelumnya yang merupakan pengusaha mebel.
Tapi, Inggit meyakini dan menyadari pilihannya kepada Soekarno. Meski kisah cinta berakhir pahit, Inggit adalah bagian dari sejarah hidup Soekarno yang tidak akan bisa terhapuskan.
Donasi perjuangan Soekarno di tahun-tahun yang paling istimewa, kata Ramadhan K.H., mengalir dari ”rekening” Inggit Garnasih. Inggit mengerti, dengan menempuh jalan yang tak bertabur bunga, dirinya telah mampu mengantarkan Soekarno ke gerbang yang paling berharga.
Pernikahan Beda Usia
Inggit Garnasih menikah dengan Soekarno di Bandung pada 24 Maret 1923. Pernikahan itu dikukuhkan dengan Soerat Katerangan Kawin No 1.138. Inggit saat itu berusia 36 tahun, sedangkan Soekarno 22 tahun.
Bagi Inggit, ini adalah pernikahan ketiga setelah dirinya gagal berumah tangga dengan Nata Atmaja dan Sanusi. Bagi Soekarno, ini menjadi pernikahan kedua setelah bercerai dari Siti Oetari Tjokroaminoto.
Inggit bukan sekadar istri bagi Soekarno. Lebih dari itu, dia adalah sosok ’’ibu’’, kekasih, sekaligus kawan dalam perjuangan. Inggit hadir pada saat-saat yang paling menentukan. Dia merupakan perpaduan antara maternalitas dan feminitas.
Inggit mampu menjadi tempat berbagi kala Soekarno dilanda kesulitan. Inggit juga menjadi tempat mencurahkan pikiran saat Soekarno didera kegelisahan. Kesulitan dan kegelisahan itu bermula saat Soekarno berjuang menamatkan kuliah di THS. Kala itu Soekarno tak punya biaya yang cukup. Inggit berjuang dengan berjualan jamu untuk membiayai kuliah Soekarno hingga menyandang gelar insinyur. Saat itu, dengan bangga, Inggit mengatakan, ”Aku merasa, aku bukan perempuan sembarangan. Aku telah membuktikannya. Aku selamat mendampinginya sampai di tempat yang dituju. Tujuan yang pertama tercapai sudah. Dia lulus dengan membuat sebuah rencana pelabuhan dan meraih gelar insinyur sipil (Ramadhan K.H., 2002).”
Capaian Soekarno tak lantas membuat Inggit hidup tenang. Pada 1929, kala Soekarno bersuara lantang melalui corong Partai Nasional Indonesia, Inggit makin dihadapkan pada tantangan.
Pada 29 Desember di tahun yang sama, Soekarno ditangkap polisi Belanda dan dimasukkan ke penjara Banceuy. Dengan beragam taktik, Inggit berhasil masuk penjara untuk mengirimkan pesanan Soekarno seperti uang, makanan, koran, dan buku.
Inggit rela berpuasa selama tiga hari agar bisa menyelipkan buku di dalam kain kebaya yang dikenakannya. Dari perjuangan itulah, lahir teks pidato Indonesia Menggugat.
Atas putusan pengadilan, Soekarno dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Saat itu Inggit menyambung hidup dengan menjahit baju serta menjual kutang, bedak, rokok, sabun, dan cangkul.
Akhir Pembuangan
Tidak lama setelah keluar dari penjara Sukamiskin, pada 1 Agustus 1933, Soekarno kembali ditangkap polisi Belanda karena pidato politik dan risalah pemikirannya yang berjudul Mentjapai Indonesia Merdeka. Soekarno menghadapi pembuangan ke Ende, Flores.
Saat itulah, untuk kali pertama, dia meneteskan air mata. Inggit merasa iba. Tak ada pilihan, kecuali mendampingi Soekarno. Dia membawa serta ibu dan anak angkatnya, Ratna Juami, ke Ende.
Selama lima tahun, Soekarno bersama Inggit hidup di Ende. Pada 1938, mereka pindah ke Bengkulu karena Soekarno terserang malaria. Inggit tetap setia mendampingi Soekarno.
Ternasuk ketika kesulitan makin mendera karena pada 1942 Jepang mendarat di Indonesia. Soekarno akhirnya dipulangkan ke Jawa melalui Padang, Sumatera Barat.
Kala itu Inggit tetap berada di samping Soekarno. Namun, waktu mengubah segalanya. Cinta mereka retak seketika.
Sebab, Soekarno kembali jatuh cinta. Inggit menolak dimadu karena baginya sangat tabu. Dia akhirnya memilih sendiri daripada harus berbagi.
Inggit kembali ke Bandung. Soekarno melenggang ke Jakarta dan menikahi Fatmawati pada 1944. Soekarno tetap mengatakan bahwa Inggit adalah ratu dalam hatinya.
Sejarah juga mengakui bahwa Soekarno tak akan segemilang itu tanpa pendidikan jiwa dari perempuan yang umurnya hampir 15 tahun lebih tua. Menurut sejarawan Anhar Gonggong, akhir kisah cinta Inggit Garnasih dan Soekarno adalah sebuah ”tragedi” dalam sejarah.
Hanya Bekal ”Selamat Tinggal”
Pada 1943, Inggit kembali ke Bandung sekaligus mengurus perceraian yang ditandatangani oleh: Mohammad Hatta, KH Mas Mansyur, Ki Hajar Dewantara, dan Soekarno. Dalam surat itu, ada sejumlah uang dan harta yang harus dibayarkan Soekarno. Inggit tidak pernah menuntut. Dia mengatakan, ”Lupakan yang sudah terlewatkan.” Sebelum mengucap selamat tinggal, Inggit juga merenungkan kalimat, ”Bukankah kemerdekaan, kebebasan, dan kebahagiaan rakyat yang dicita-citakannya?”
Hingga usia senja, Soekarno tetap mengingat Inggit. Bahkan, saat perempuan itu terbaring sakit, Soekarno datang mengunjungi. Kala itu Soekarno bertanya, ”Sakit apa, Nyai?” Inggit hanya menjawab singkat, ”Biasa Ngkus, penyakit rakyat” (Nuryanti, 2006). Siapa sangka, pertemuan pada 1960 itu menjadi percakapan terakhir. Sepuluh tahun kemudian, pada 21 Juni 1970, Soekarno berpulang ke pangkuan Tuhan. Dengan badan ringkih, Inggit datang ke Jakarta untuk melihat jasad Soekarno. Saat itu terdengar suara sayu, ”Ngkus, geuning Ngkus teh miheulaan, ku Nggit didoakeun…” (Nuryanti, 2008). Saat Fatmawati hadir melalui karangan bunga, Inggit datang dengan raga. (*)
*) RENI NURYANTI, Dosen Sejarah Universitas Samudra Aceh dan Penulis Buku Biografi Inggit Garnasih
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment