KalbarOnline.com – Kalau ada yang selama ini beranggapan Soekarno berniat menikahi Fatmawati semata karena ketertarikan dengan perempuan Bengkulu tersebut, itu salah besar. Sebab, Soekarno mencintai Inggit, istrinya ketika itu, dan tidak mau menceraikannya.
Saat berniat menikah lagi pun, dia izin terlebih dahulu kepada Inggit. “Ketika Inggit tidak memperbolehkan, Soekarno bahkan meminta Inggit untuk mencarikan perempuan lain yang diizinkan untuk bisa dinikahi dan memperoleh keturunan,” kata Roso Daras, founder Yayasan Saya dan Soekarno, kepada Jawa Pos.
Roso menggambarkan Inggit sebagai sosok perempuan mandiri dan pekerja keras. Yang rela memberikan cinta, materi, serta pengorbanan kepada Kus, panggilan sayangnya untuk Soekarno.
’’Tidak pernah ada Soekarno yang sekarang tanpa adanya Inggit,’’ tegasnya.
Kisah itu bisa ditemukan dalam karya Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dengan Bung Karno sebagai penutur. Juga dalam Kuantar ke Gerbang-nya Ramadhan K.H. dengan Inggit sebagai pencerita.
Inggit boleh tak banyak disebut di diktat pelajaran sejarah di sekolah. Tapi, sejarawan Universitas Indonesia Andi Achdian menilai dia berperan penting membentuk karakter Kus.
Dia juga yang meminta Kus meneruskan kuliah meski terancam drop out dari ITB akibat aktivitas politiknya memperjuangkan Indonesia merdeka. Dan, Soekarno akhirnya memang lulus sebagai insinyur.
Selain itu, berbeda dari istri-istri Soekarno lain yang lebih muda, Inggit justru lebih tua 13 tahun. Dan, justru ketika bersama Inggit itu jadi periode terlama Soekarno menjalani monogami.
’’Soekarno jadi tokoh pergerakan saat itu tentu ada peran Inggit yang memantaskan suaminya di depan publik,’’ ujarnya.
Demikian kuat dan dalam relasi itu, tak mengagetkan kalau kemudian dokumen yang menyangkut keduanya, surat nikah dan cerai, begitu diminati saat diunggah ke Instagram. Kendati harga yang diminta tak main-main: Rp 25 miliar.
Begitu mendengar kabar itu, Roso Daras langsung mengontak Tito Asmarahadi. Tito adalah cucu Inggit, yang mewarisi dua dokumen penting tersebut.
’’Pak Tito mengatakan, sebetulnya tak ada keinginan menjual,’’ katanya.
Tito, kata Roso, justru ingin membuka pabrik jamu Inggit. Terinspirasi dari sang nenek yang dulu memang berjualan jamu hingga kutang untuk menghidupi kehidupannya. Namun, keterbatasan dana membuat niat itu urung.
’’Terjadilah percakapan dengan pihak yang satunya. Yang disarankan untuk menjual warisan atau apa pun itu,’’ ujarnya. Tito waktu itu menjawab seadanya. ’’Adanya cuma berkas-berkas, Mas,’’ sambungnya menirukan Tito.
Tanpa disadari, obrolan tersebut malah berujung viral. Tito, lanjut Roso, memang paling berhak atas kepemilikan dua surat tersebut. Termasuk warisan-warisan lainnya seperti alat penumbuk jamu milik Inggit.
Sebab, Tito merupakan cucu anak angkat Inggit. Perempuan Priangan itu memang tidak diberkahi keturunan semasa hidup.
Baca juga: Dijual, Surat Nikah dan Cerai Inggit-Soekarno Kebanjiran Peminat
Roso maupun Andi sepakat, negara harus segera hadir dalam perkara ini, menyelamatkan dua dokumen berharga itu. ’’Nanti arsip bisa diduplikasi untuk kemudian menyempurnakan museum Rumah Inggit di Bandung,’’ ungkap Roso.
Andi juga menilai harga dua dokumen itu tak ternilai. ’’Jadi, tidak ada jalan lain (harus akuisisi oleh negara). (Harga) bisa bernegosiasi,’’ kata Andi kepada Jawa Pos.
Ini bukan kali pertama isu penjualan dokumen tersebut merebak. Mengutip anak Tito, Galuh Mahesa, Radar Bandung melansir, saat masih menduduki kursi wali kota Bandung, Ridwan Kamil pernah berjanji membelinya jika kelak menjabat gubernur.
Ketika dikonfirmasi kemarin, Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, menyampaikan, pembelian dokumen atau barang apa pun dengan menggunakan uang negara bukan perkara sederhana. Hingga kini, belum ada kesepakatan terkait pembelian dokumen itu.
Lebih lanjut, Emil menambahkan, dokumen yang sifatnya bersejarah mestinya diberikan kepada negara secara ikhlas. ’’Kalaupun terdapat kompensasi, baiknya tak dipatok dengan nilai yang subjektif,’’ katanya saat ditemui di Sport Jabar, Arcamanik, Kota Bandung.
Emil menambahkan, pihaknya bakal menjalin komunikasi dengan pewaris dokumen tersebut. Jika diberikan ke negara, barang itu akan disimpan di Rumah Bersejarah Inggit Garnasih yang terletak di Jalan Ciateul, Kota Bandung.
’’Idealnya adalah bisa diberikan kepada negara, kemudian dikompensasi seadil-adilnya sesuai dengan aturan,’’ kata Emil.
Yang ideal itu mungkin tak akan semudah membalikkan telapak tangan untuk diwujudkan. Dibutuhkan lobi intensif, persuasi kuat, dan kompensasi adil.
Tapi, atas nama kasih yang agung, pengorbanan tanpa pamrih, dan kecintaan keduanya kepada Indonesia, tak ada tempat yang lebih baik bagi bukti relasi Inggit dan Kus itu untuk bersemayam selain di Rumah Bersejarah Inggit Garnasih.
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment