KalbarOnline.com – Mahkamah Konstistusi (MK) berencana akan menggabungkan teknis persidangan judicial review (JR) Undang-Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja. Lembaga konstitusi itu kini sudah menerima empat permohonan JR terkait Undang-Undang sapujagat tersebut.
Juru bicara MK, Fajar Laksono mengaku telah menerima empat permohonan JR. Namun hingga kini empat permohonan tersebut sidangnya belum teragendakan. “Ada empat permohonan,” kata Fajar dikonfirmasi, Senin (26/10).
Fajar menyampaikan, pihaknya belum mengagendakan persidangan untuk empat permohonan JR. Namun, dia tak menutup kemungkinan teknis agenda persidangan akan digabung, karena objek permohannya sama. “Saya belum tahu, karena belum diagendakan. Mungkin saja digabung,” ujar Fajar.
Mengutip pada laman mkri.id Senin (26/10), permohonan JR terbaru dilayangkan oleh masyarakat asal Papua yakni Zakarias Horota, Agustinus R Kambuaya dan Elias Patage. Dalam permohonannya, mereka menduga proses pembentukan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan tata tertib DPR.
Alasa permohonan JR ke MK, karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Serta mendiskriminasikan kesempatan pendidikan, karena menjadikan sebagai komoditas dengan menerapkan komeesialisasi pendidikan.
Sebelumnya, mahasiswa asal Jawa Timur juga turut mengajukan permohonan JR ke MK. Mereka adalah mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, Elin Dian Sulistyowati, mahasiswa Universitas Negeri Malang, Alin Septiana, mahasiswa STKIP Modern Ngawi, Ali Sujito dan seorang pelajar SMK N 1 Ngawi Novita Widyana serta mantan buruh PKWT Hakiimi Irawan.
Para pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja. Mereka memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa.
Alasa mengajukan pengujian formal ke MK, karena menyesalkan tidak jelasnya draf UU Cipta Kerja. Perubahan draf dengan jumlah halaman 905 menjadi 1.034 dinilai bukan terkait teknis penulisan, namun perubahan tersebut terkait dengan substansi materi muatan. Hal ini melanggar ketentuan norma Pasal 72 ayat 2 UU P3 beserta penjelasannya.
Selain itu, pemohon menilai pengiriman draf yang dikirim dari DPR ke Presiden sudah kedaluwarsa. Sesuai peraturan, maksimal pengiriman draf adalah tujuh hari sejak Rapat Paripurna pengesahan. Namun, kata pemohon, pengiriman draf itu sudah lewat tujuh hari sebagaimana disyaratkan UU.
Oleh karena itu, para pemohon meminta MK mengambil keputusan tegas demi menjaga tegaknya konstitusi. Sebab, proses pengujian ini menjadi sangat penting mengingat saat ini sedang gencar-gencarnya hastag #MosiTidakPercaya yang disematkan kepada Presiden dan DPR.
Dua gugatan sebelumnya juga telah diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa dan perseorangan yang merupakan karyawan kontrak, Dewa Putu Reza dan Ayu Putri. Permohonan JR itu didaftarkan pada Senin (12/10). Kemudian, pemohon perseorangan Dewa Putu Reza dan Ayu Putri.
Mereka mempersoalkan mempersoalkan Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan menghilangkan pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan dan pembaruan perjanjian kerja.
Sementara itu, Pasal 81 angka 19 UU Cipta Kerja disebut pemohon menghapus Pasal 65 UU Ketenagakerjaan yang berdampak terdapat syarat batasan pekerjaan yang dapat diserahkan dari pemberi kerja kepada perusahaan penyedia jasa pekerja.
Kemudian, Pasal 81 angka 25 menyebabkan upah minimum dari semula berdasarkan produktivitas, inflasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi hanya pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Kemudian angka 29 didalilkan pengusaha tidak diancam sanksi apabila memberi upah lebih rendah dari ketentuan yang berlaku.
Alasan mengajukan JR, pemohon memandang penghapusan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mengakibatkan hilangnya perlindungan hukum yang adil dan kepastian hukum bagi pekerja. Sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU Cipta Kerja. (*)
Saksikan video menarik berikut ini:
Comment