Penyelesaian Ganti Rugi Ruko Akibat Ambruknya Dermaga Sambas 2014 Terbentur Putusan Pengadilan

KalbarOnline, Pontianak – Pemerintah Provinsi Kalbar menyatakan bahwa pihaknya telah berupaya menyelesaikan permasalahan kompensasi atau ganti rugi terhadap kerusakan 5 unit ruko milik warga akibat dampak dari ambruknya Dermaga Sambas tahun 2014.

Namun demikian, Sekretaris Daerah (Sekda) Kalbar, Harisson menegaskan, kompensasi tersebut belum dapat terealisasi sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang mewajibkan Pemerintah Provinsi Kalbar atau Gubernur Kalbar selaku kepala pemerintahan daerah melakukan ganti rugi kepada korban.

IKLANSUMPAHPEMUDA

“Sejak Gubernur Kalbar, Sutarmidji menjabat pada 2018, persoalan ini sebenarnya sudah dicoba untuk diselesaikan. Tapi jangan sampai pembayaran kompensasi itu justru melanggar aturan dan menimbulkan masalah baru,” jelasnya, Rabu (25/01/2023).

Hal itu disampaikan Harisson guna menjawab tudingan Ombudsman RI yang menyatakan bahwa Pemprov Kalbar c.q. Gubernur Kalbar telah melakukan maladministrasi lantaran membiarkan persoalan kompensasi ini berlarut-larut.

Harisson menyebut, bahwa Ombudsman RI sendiri lah yang sebelumnya turut merekomendasikan pihak Pemprov Kalbar agar dalam melakukan penyelesaian pemberian kompensasi harus melalui beberapa mekanisme, seperti berkonsultasi ke BPK RI, Kejati, hingga Kemendagri. Dan semua konsultasi itu pun telah dilakukan.

Di mana berdasarkan hasil konsultasi Pemprov Kalbar ke Kemendagri disebutkan, bahwa pemberian kompensasi tidak bisa dilakukan dalam bentuk hibah maupun bantuan sosial (bansos), melainkan kompensasi bisa diberikan melalui dana Belanja Tidak Terduga (BTT)–sesuai Peraturan Mendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.

Namun lagi-lagi, kata Harisson, pemberian kompensasi itu baru bisa direalisasikan setelah adanya putusan pengadilan. Maka dari itu, sesuai konsultasi dengan Kemendagri pula, pihak pelapor disarankan untuk melaporkan Pemprov Kalbar secara perdata terlebih dahulu ke pengadilan.

“Jadi yang disarankan oleh Mendagri sebenarnya pihak pelapor itu melaporkan Pemprov Kalbar lewat pengadilan, kalau pengadilan suruh bayar, kami baru bayar, itulah dasar kami untuk menganggarkan (lewat) mekanisme APBD,” terang Harisson.

Harisson pun mengatakan, kalau rekomendasi Ombudsman RI sebenarnya bukan hal baru. Dan poin-poinnya pun dinilai mengambang, dalam arti satu sisi Pemprov Kalbar diminta berkonsultasi terlebih dahulu ke pihak terkait tentang bagaimana mekanisme keuangan pemerintah yang dapat dilaksanakan untuk membayar kompensasi, namun di sisi lain, hasil konsultasi secara jelas telah menyatakan harus melalui mekanisme pengadilan.

“Okelah kami lakukan konsultasi ulang (ke BPK, Kejati, Kemendagri) kami laporkan ke Ombudsman. Ujung-ujungnya saya yakin akan keluar lagi rekomendasi (Kemendagri), pihak pelapor harus menuntut ke pengadilan secara perdata ke Pemprov Kalbar,” ujarnya.

Baca Juga :  Gelar Media Gathering 100 Hari Kerja, Menteri AHY: Bagian dari Transparansi dan Akuntabilitas Institusi Pemerintah

Harisson menegaskan, bahwa Pemprov Kalbar selalu siap membayar berapapun kerugian yang dialami masyarakat akibat dari ambruknya Dermaga Sambas itu, tetapi dalam pemberian ganti rugi itu tentu harus melewati mekanisme pengelolaan keuangan negara. Ia tak ingin, pemberian kompensasi yang dilakukan malah menimbulkan masalah baru.

“Kan definisi korupsi ini memperkaya diri sendiri atau orang lain. Jadi misalnya kami memberikan uang kepada orang lain dan itu melanggar mekanisme keuangan negara, kami dianggap korupsi walaupun niatnya baik,” jelas Harisson.

Apalagi menurut Harisson, pada tahun 2017, sudah diputuskan pengadilan bahwa konsultan perencana yang bersalah dan telah membayar kerugian negara akibat gagal perencanaan pembangunan dermaga tersebut.

“Jadi substansinya kan bahwa dia (konsultan perencana) salah, pihak yang dirugikan (pemilik ruko) seharusnya menuntut ke pengadilan, pengadilan ini juga tentu akan merujuk ke keputusan sebelumnya, bahwa yang bersalah inikan konsultan perencana, maka konsultan rencana yang harus bayar mereka, bukan kami (Pemprov Kalbar), kalau kami ini justru pihak yang dirugikan,” jelasnya.

Sebelumnya, Ombudsman RI dalam rekomendasi terbarunya menyatakan, bahwa Pemprov Kalbar telah melakukan maladministrasi berupa penundaan berlarut karena belum melakukan penyelesaian pemberian kompensasi atas kerusakan 5 unit ruko milik warga akibat dampak dari ambruknya Dermaga Sambas tahun 2014.

Rekomendasi Ombudsman RI itu dibacakan oleh Kepala Keasistenan Utama Resolusi dan Monitoring, Ombudsman RI, Dominikus Dalu dalam kegiatan publikasi Ombudsman RI, Selasa (24/01/2023).

Dalam penyampaiannya, Dominikus menyampaikan, Ombudsman RI Provinsi Kalbar telah menerima laporan dari pelapor atas nama Sim Titi selalu kuasa dari 5 orang pemilik ruko sekitar Dermaga Sambas pada tahun 2019. Berdasarkan surat kuasa pada tanggal 24 Juni 2014. Yang beralamat di Dusun Muhajirin, Desa Pasar Malayu, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalbar.

“Pelapor melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Gubernur Kalbar yang selanjutnya disebut terlapor,” ujarnya.

Dominikus menjelaskan, bahwa pada 2013 hingga 2019, Ombudsman telah melakukan pemeriksaan melalui perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalbar sebagai tindak lanjut atas persoalan ini. Proses pemeriksaan itu berupa permintaan klarifikasi, investigasi dan juga upaya konsiliasi.

“Namun persoalan tidak selesai, maka tahun 2019 dikeluarkan hasil pemeriksaan Perwakilan Ombudsman Kalbar, agar Gubernur Kalbar menyelesaikan persoalan ambruknya Dermaga Sambas terhadap ruko pelapor,” katanya.

Baca Juga :  Sekda Harisson: Butuh Kesiapan Mental dan Spiritual Hadapi Perubahan

Kemudian setelah adanya hasil pemeriksaan tahun 2019, laporan ditindaklanjuti oleh Ombudsman RI Pusat, dengan upaya mediasi/konsiliasi beberapa kali kepada instansi terlapor dan instansi terkait. Namun dalam upaya penyelesaian tersebut, Pemprov Kalbar berkomitmen untuk melakukan penyelesaian laporan masyarakat mengenai dampak ambruknya Dermaga Sambas tersebut.

Namun lanjut Dominikus, sampai tahun 2022, persoalan belum selesai, sehingga Ombudsman RI menerbitkan rekomendasi pada 30 Desember 2022 sebagai bentuk penyelesaian laporan masyarakat.

“Sehingga berdasarkan analisis pendapat dan kesimpulan, maka Ombudsman RI menyatakan bahwa Pemprov Kalbar c.q. Gubernur Kalbar selaku terlapor telah melakukan maladministrasi berupa penundaan berlarut terhadap kewajiban hukum memberikan pelayanan untuk penyelesaian kompensasi kerugian kepada pelapor c.q. pemilik ruko yang terdampak akibat ambruknya Dermaga Sambas,” paparnya.

Beberapa poin rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman RI terhadap terlapor dalam hal ini Gubernur Kalbar, di antaranya, pertama, agar melakukan penyelesaian pemberian kompensasi kerugian kepada lima pemilik ruko sebagai warga masyarakat terdampak akibat ambruknya Dermaga Sambas.

“Dengan mekanisme antara lain, penilaian dari tim appraisal sebagai upaya penentuan untuk menaksir jumlah kerugian. Lalu berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Kalbar dan Kejaksaan Tinggi Kalbar untuk proses penggunaan anggaran yang dapat dikeluarkan oleh Pemprov Kalbar dalam rangka pemberian kompensasi kerugian kepada pemilik ruko sebagai warga terdampak,” terangnya.

Kemudian, melakukan koordinasi dengan jajaran Kemendagri untuk mekanisme dan teknis pemberian kompensasi kerugian terhadap masyarakat yang terdampak akibat ambruknya Dermaga Sambas tahun 2014.

“Dan yang terakhir dengan pihak terkait dalam proses pembangunan proyek Dermaga Sambas tersebut untuk proses penyelesaian pemberian kompensasi kerugian terhadap pelapor sebagai warga terdampak,” jelasnya.

Selanjutnya, rekomendasi yang kedua, apabila rekomendasi pertama telah dilakukan, maka Pemprov Kalbar dapat melakukan pemberian kompensasi kepada pelapor.

Mengenai batasan waktu tindak lanjut dari rekomendasi Ombudsman RI tersebut, sesuai Pasal 38 ayat 2, UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI dinyatakan, atasan terlapor wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang pelaksanaan rekomendasi yang telah dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya rekomendasi. (Jau)

Comment