KalbarOnline, Pontianak – Komisaris dan Direktur PT Sari Pati Semudun Jaya (SPSJ) melakukan perlawanan hukum lewat praperadilan atas penetapan status sebagai tersangka yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalimantan Barat (Disnakertrans Kalbar) di Pengadilan Negeri Pontianak.
Pembukaan sidang perkara nomor: 3/Pid.Pra/2023 PN Ptk ini digelar Pengadilan Negeri Pontianak pada Jumat (16/06/2023).
Sidang perdana ini dihadiri langsung oleh kuasa hukum para pemohon yaitu Nur Rohman dan Akbar Hidayatullah dari kantor IJW. Sedangkan dari pihak termohon dihadiri oleh Tim Biro Hukum Provinsi Kalimantan Barat selaku kuasa hukum dari PPNS Disnakertrans Kalbar.
“Dalam persidangan dari pihak termohon menyatakan belum siap untuk menjawab permohonan para pemohon. Sehingga meminta waktu untuk menyampaikan jawaban pada sidang selanjutnya yaitu Senin 19 Juni 2023,” kata Nur Rohman usai persidangan.
Pria yang karib disapa Rohman ini menjelaskan, dalam pengecekan pemberkasan, kuasa hukum dari termohon belum melengkapi berkas pelengkapnya.
“Seperti surat kuasa belum dileges, tidak membawa id card sebagai kuasa hukum dan belum ada lampiran Kartu Tanda Pengenal Anggota PPNS selaku yang memberikan kuasa.
“Sehingga hakim yang memeriksa perkara tersebut meminta kepada Kuasa Hukum Termohon untuk sidang selanjutnya membawa dan melengkapi berkas yang kurang tersebut,” ujarnya.
Rohman sangat menyayangkan kurang kesiapannya dari pihak termohon. Mengingat persidangan praperadilan cepat dan dibatasi oleh waktu. Di mana dalam tujuh hari, hakim harus memutuskan perkara tersebut. Pihak kuasa hukum pemohon berharap untuk sidang-sidang selanjutnya, kekurangan berkas tersebut bisa dilengkapi.
Adapun yang menjadi objek dalam perkara praperadilan ini adalah penetapan status Tersangka klien kami yaitu berdasarkan pada Surat Ketetapan Nomor: S.tap-01/PPNS/NAKERTRAN/V/2023 tertanggal 22 Mei 2023 dan Surat Ketetapan Nomor : S.tap-02/PPNS/NAKERTRAN/V/2023 tertanggal 22 Mei 2023 yang diduga melakukan pelanggaran Pasal 55 jo Pasal 19 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Dijelaskan Rohman, perkara ini bermula pada 24 Februari 2021, yang mana BPJS Ketenagakerjaan Pontianak mengajukan Surat Kuasa Khusus BPJS Ketenagakerjaan kepada Kejaksaan Negeri Mempawah guna untuk penyelesaian pengurusan Perusahaan Menunggak Iuran (PMI) untuk dilakukan pemanggilan atau kunjungan bersama di PT SPSJ. Tanggal 1 November 2022, Disnakertrans Kalbar menerbitkan Nota Pemeriksaan I untuk PT SPSJ.
“Inti isinya adalah PT Sari Pati Semudun Jaya tidak membayar dan menyetorkan iuran kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan terhadap 88 orang pekerja sejak bulan Juni 2018 sampai dengan bulan Oktober 2022,” jelas Rohman.
Pada 5 Desember 2022, Disnakertrans Kalbar kembali menerbitkan Nota Pemeriksaan II yang pada intinya dalam waktu 14 hari kerja tidak ditindaklanjuti, maka akan diproses secara hukum yang berlaku. Tanggal 15 Desember 2022, PT SPSJ mengajukan Surat Permohonan Kelonggaran untuk pembayaran iuran dan setoran BPJS Ketenagakerjaan disertai lampiran aset yang akan dijual.
“Apabila sampai jatuh tempo tidak bisa menyetorkan akan menjual aset tersebut untuk memenuhi kewajiban,” ucapnya.
Selanjutnya pada 28 Desember 2022, Disnakertrans Kalbar memanggil Direktur PT SPSJ untuk Penandatanganan Surat Pernyataan Tindak Lanjut Nota Pemeriksaan. Pada 29 Desember 2022, Direktur PT SPSJ membuat dan menandatangani surat pernyataan kesanggupan dan komitmen untuk membayar atau menyetorkan iuran BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Pontianak paling lambat 5 Januari 2023. Disertai dengan Berita Acara Pernyataan yang pada pokok intinya menerangkan bahwa PT SPSJ memiliki dua Nomor Pendaftaran Perusahaan (NPP). Sehingga total tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan yang harus disetorkan sebesar Rp 705.839.967.
“Faktanya para pemohon telah melunasi dan menyetorkan tunggakan iuran sebagaimana yang telah tertuang dalam surat pernyataan kesanggupan dan komitmen untuk membayar tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan tertanggal 29 Desember 2022,” ungkap Rohman.
Atas dasar itu, lanjut Rohman, sehingga sudah selayaknya dan sepatutnya termohon tidak melanjutkan proses perkara ini. Karena tidak cukup bukti.
“Unsur dugaan tindak pidana ketenagakerjaan tidak terpenuhi, dan tidak sah menurut hukum,” tegasnya.
Kuasa hukum pemohon juga menyebutkan bahwa perkara pidana ketenagakerjaan ini ditandatangani oleh pejabat yang tidak berwenang. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS, diantaranya menyebutkan PPNS diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana sesuai undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.
“Sehingga surat pemanggilan dan surat penetapan tersangka para pemohon secara hukum tidak sah atau batal demi hukum,” ucapnya.
Begitu pula dalam penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dengan Nomor: SPDP/01/PPNS/NAKERTRAN/2023 tanggal 7 Maret 2023 termohon secara formil telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS. Diantaranya disebutkan, bahwa hal dimulainya penyidikan, PPNS wajib terlebih dahulu memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik Polri dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), kecuali undang-undang mengatur lain.
SPDP sebagaimana dimaksud dilampiri dengan laporan kejadian, surat perintah penyidikan dan berita acara yang telah dibuat. Dalam perkara a quo SPDP dengan Nomor: SPDP/01/PPNS/NAKERTRAN/2023 tanggal 7 Maret 2023 tertulis ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat melalui Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalimantan Barat.
“SPDP tersebut yang diterima oleh para pemohon tidak dilampiri dengan berita acara yang telah dibuat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 Ayat (2) huruf c. Padahal jika mengacu pada aturan tersebut SPDP yang dikirimkan harus turut menyertakan ketiganya yaitu laporan kejadian, surat perintah penyidikan, dan berita acara yang telah dibuat,” kata Rohman.
“Bahwa berdasarkan pada uraian di atas, maka SPDP dengan Nomor: SPDP/01/PPNS/NAKERTRAN/2023 tanggal 7 Maret 2023 tersebut secara hukum cacat formil dan tidak sah,” jelasnya.
Rohman mengatakan, kalau proses penyidikan itu batal demi hukum, karena dilakukan oleh PPNS Ketenagakerjaan dengan kartu tanda pengenal yang kedaluwarsa. Baik saat dilakukan surat panggilan, SPDP hingga surat penetapan tersangka para pemohon.
“Sehingga seluruh proses dokumen administrasi perkara ini tidak sah secara hukum atau batal demi hukum,” pungkas Rohman. (Jau)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Comment