PPDB Jenjang SMA Sederajat Membludak, Sutarmidji Keluarkan Kebijakan Strategis

KalbarOnline, Pontianak – Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2023 pada jenjang SMA/SMK/sederajat baik negeri maupun swasta di Kota Pontianak membludak. Sebagai perbandingannya, jumlah siswa SMP/Tsanawiyah sederajat yang ingin mendaftar ke jenjang SMA sederajat sebanyak 12.119 orang. Sementara daya tampung dari SMA/SMK sederajat yang ada saat ini hanyalah 11.500 orang.

Menanggapi hal itu, Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji mengambil sejumlah langkah dan kebijakan strategis yang tujuannya bagaimana para siswa dari SMP/Tsanawiyah sederajat baik negeri maupun swasta tersebut tetap bisa tertampung di sekolah-sekolah yang ada, sehingga diharapkan tidak tejadi angka putus sekolah di Kota Pontianak.

IKLANSUMPAHPEMUDA

Pertama, kebijakan yang diambil gubernur yakni dengan menambah kuota rombongan belajar (rombel) siswa dari sisi jalur penerimaan zonasi.

“Melihat hal tersebut saya mengambil kebijakan untuk menambah kuota penerimaan dari (jalur) zonasi yang akan ditentukan tetap melalui sistem, yaitu untuk SMA (negeri) 2, SMA (negeri) 3, SMA (negeri) 4, SMA (negeri) 5, itu masing-masing 1 rombongan belajar (rombel) atau 36 orang,” ujarnya kepada media ini, Jumat (07/07/2023).

Sutarmidji menjelaskan, kebijakan penambahan rombel ini tentunya telah disesuaikan–atau dengan mempertimbangkan kondisi kapasitas masing-masing sekolah. Karena terdapat SMAN yang diisi atau ditambah 1 rombel dan bahkan sampai 2 rombel, namun ada pula sekolah yang tidak dilakukan penambahan rombel sama sekali lantaran kapasitas ruang yang dimiliki memang tidak bisa dipaksakan.

“Kemudian SMA 7 tidak bisa (karena) tidak ada ruang kelas lagi, kemudian untuk SMA (negeri) 8 itu bisa 1 rombel, SMA (negeri) 9 (sebanyak) 1 rombel, SMA (negeri) 10 kita upayakan 1 rombel, SMA 11 ada 2 rombel (72 orang), SMA 12 tidak ada penambahan,” tuturnya.

Berikut data lengkap sekolah-sekolah di Kota Pontianak yang mendapat penambahan rombel pada tahun ajaran 2023:

  • SMAN 2 Pontianak: 1 rombel (36 pelajar) 
  • SMAN 3 Pontianak: 1 rombel (36 pelajar)
  • SMAN 4 Pontianak: 1 rombel (36 pelajar)
  • SMAN 5 Pontianak: 1 rombel (36 pelajar)
  • SMAN 6 Pontianak: 1 rombel (36 pelajar)
  • SMAN 8 Pontianak: 1 rombel (36 pelajar)
  • SMAN 9 Pontianak: 1 rombel (36 pelajar)
  • SMAN 10 Pontianak: 1 rombel (36 pelajar)
  • SMAN 11 Pontianak: 2 rombel (72 pelajar)

Total kuota tambahan: 10 rombel (360 pelajar).

Berbanding Terbalik

Selanjutnya, kebijakan kedua, orang nomor satu di Kalbar itu mendorong agar siswa atau para orang tua dapat memasukkan anaknya ke SMK sebagai pilihan/alternatif. Karena disampaikan Sutamijdi, kondisi PPDB di tingkat SMK cukup berbanding terbalik dari PPDB di SMA Negeri/sederajat di Pontianak.

“Nah masih banyak kuota di SMK 8, (contoh) SMK 9 itu daya tampungnya bisa 269 orang, tapi yang daftar hanya 56 orang. Artinya masih bisa menampung 200-an orang,” katanya.

Tak hanya SMK 8 dan SMK 9, berdasarkan data yang dikantonginya, terdapat beberapa SMK yang juga daya tampungnya masih cukup banyak. Tak berhenti sampai di situ, masalah lain juga muncul ketika ramainya dari para siswa yang hanya fokus mendaftar di beberapa jurusan tertentu saja, sehingga membuat antara satu rombel dengan rombel lainnya tidak imbang.

“Hanya masalahnya jurusan-jurusan yang dipilih tidak imbang. Misalnya, ada di salah satu SMK, pilihan (jurusan) akuntansinya sangat banyak, kemudian jurusan lainnya di situ sedikit. Harusnya bisa (pihak sekolah), diubah jurusannya saja, bisa itu, harusnya bisa ditampung di situ,” katanya.

Baca Juga :  14 Parpol di Sekadau Dinyatakan Memenuhi Syarat, PBB Masih Berstatus BMS

Lebih jauh, Sutarmidji mengingatkan, kendati masih terdapat beberapa kekurangan terhadap kuota rombel pada PPDB di SMAN–lantaran kapasitas ruangan dan seterusnya–namun pihaknya tetap tidak dapat mengeluarkan kebijakan seenaknya, melainkan harus sesuai dengan mekanisme serta aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

“Kita tidak bisa sembarangan karena kita terikat dengan dapodik, mau nambah 1 rombongan belajar lebih dari 36 siswa juga tidak bisa. Karena itu sudah ketentuan, standar dari kementerian pendidikan dan kebudayan, jadi kita tidak boleh sembarangan,” jelasnya.

Oleh sebab itu, pengisian peserta didik di SMK-SMK yang masih lowong diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif solusi bagi para orang tua.

“Jadi saya harap masyarakat memaklumi (aturan pusat), kita sudah berupaya semaksimal mungkin, ini artinya ada penambahan seluruh Pontianak ini 360-an siswa yang ditampung melalui jalur zonasi. Nah nanti tinggal menyesuaikan saja,” katanya.

“Kemudian silakan isi jurusan-jurusan yang ada di SMK 9 di Jalan Tabrani Ahmad, kemudian SMK-SMK lainnya juga masih bisa menambah. Seperti SMK 6 kalau tidak salah saya juga masih kurang (muridnya) untuk jurusan-jurusan tertentu, seperti (jurusan) keramik dan sebagainya. Mudah-mudahan bisa memenuhi kuota itu,” kata Sutarmidji.

Di sisi lainnya juga, Sutarmidji meminta kepada sekolah-sekolah swasta untuk tidak takut bersaing dalam PPDB tahun ini. Karena memang jumlah pendaftar dari jenjang SMP/sederajat ke SMA/sederajat cukup banyak.

“Kalau penerimaan negeri itu untuk SMA 3.564 siswa. Ada penambahan, kita tambah kurang lebih 10 persennya melalui zonasi menjadi hampir 4000 (siswa). Nah swasta jangan takut tidak dapat siswa, karena dari sisi kebutuhan 12.111 jiwa anak yang tamat SMP dan tsanawiyah, (sementara) kursi yang tersedia (pada sekolah) negeri dan swasta itu hanya 11.405, nah ketika kita tambah dia akan imbang,” katanya.

Kesimpulannya, Sutarmidji menginginkan bahwa seluruh anak SMP/sederajat di Kota Pontianak bisa tetap melanjutkan pendidikannya ke jenjang selanjutnya, dan tidak ada alasan tidak sekolah hanya karena pilihan masuk sekolah.

“Hampir semua anak Kota Pontianak tamatan SMP (lewat kebijakan ini) bisa tertampung di sekolah negeri dan swasta di Kota Pontianak,” ujarnya.

Mendekatkan Sekolah dan Anasir Permasalahan yang Dihadapi

Pada skup yang lebih lebar, persoalan pendidikan secara umum juga terjadi di 14 kabupaten kota se-Kalbar. Di mana angka putus sekolah masih terbilang cukup tinggi, sehingga menyebabkan rata-rata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar secara nasional ikut-ikutan jeblok.

Oleh karenanya, Gubernur Sutarmidji di awal-awal pemerintahannya telah menelurkan satu kebijakan penting, yakni bagaimana mendekatkan sekolah kepada peserta didik. Kebijakan ini menargetkan adanya pembangunan 100 gedung sekolah baru, khususnya di wilayah-wilayah sulit.

Namun begitu, kebijakan tersebut tidak dapat sepenuhnya terpenuhi, lantaran terdapat anasir persoalan yang dihadapi di lapangan, yakni minimnya keberadaan guru dan pengurus sekolah di daerah-daerah sasaran dari pembangunan itu.

Baca Juga :  2019, Sutarmidji Minta Sektor Beras Nihil Inflasi

“Kalbar sendiri sebetulnya masih sangat kekurangan untuk SMA dan SMK. Target saya sebetulnya, 5 tahun saya menjabat itu 100 SMA dan SMK. Tapi sampai masa akhir jabatan ini, yang baru bisa kita penuhi 54 sekolah. Bukan masalah biaya pembangunan sekolahnya, tapi tenaga pengelolanya, yaitu guru-guru belum ada,” katanya.

Terlepas dari mekanisme kewenangan atau standarisasi/aturan yang dipatok pusat, Sutarmidji saat ini pun tengah berupaya merelokasi guru-guru yang ada, termasuk menambah jumlah guru baru demi memenuhi kebutuhan bagi sekolah-sekolah baru nantinya.

“Nah sekarang aja ada 54 sekolah, ini yang kita sedang atur bagaimana merelokasi guru, kemudian menambah kekurangan guru dengan percepatan realisasi KKN Tematik dari Untan. Mudah-mudahan KKN Tematik ini bisa menjawab kekurangan kebutuhan tenaga pengajar. Jadi sekali lagi Kalbar masih sangat kekurangan SMA/SMK,” katanya.

Jujur, Sutarmidji mengakui kalau angka putus sekolah–yang salah satunya disebabkan dari “ketiadaan” sekolah–telah berdampak langsung pada penurunan rata-rata IPM Kalbar di mata nasional.

“Kenapa IPM kita rendah? Karena tadi itu, kalau di Jakarta, di Jawa kan jaraknya dekat, maka angka putus sekolah (di sana) rendah. Bayangkan Kalbar ini, ada daerah, kalau dia tamat SMP mau lanjut ke SMA itu jarak dari rumahnya ke sekolah itu di atas sekitar 20 kilo. Tidak mungkin dia jalan kaki, harus pakai kendaraan, kalau dia tidak punya (kendaraan), pasti dia putus sekolah,” beber Sutarmidji.

“Nah ini harus diperhatikan, sehingga program saya waktu itu mendekatkan sekolah ke pemukiman, bukan pemukiman yang cari sekolah. Ini upaya-upaya yang kita lakukan,” jelasnya.

Sutarmidji pun berterima kasih kepada kepala-kepala desa yang telah merampungkan penyerahan lahannya ke Pemerintah Provinsi Kalbar untuk dijadikan sebagai lokasi pembangunan sekolah baru.

“Saya terima kasih kepada pak kades yang semangat sekali menyerahkan lahan agar bisa dibangun sekolah di daerah mereka. Tapi sekali lagi, bukannya kita tidak bisa membangun sekolahnya, tapi tenaga pengajarnya maupun pengelolanya yang tidak bersedia (kosong), jadi maksimal itu yang 54 dari target 100 sekolah,” tuturnya.

Sambil terus berikhtiar, maka kebijakan yang dapat disesuaikan dalam rangka mengantisipasi angka putus sekolah sementara ini yaitu dengan menambah daya tampung bagi sekolah-sekolah yang ada. Sungguhpun demikian, solusi kedua ini juga menuai kendala tersendiri, khususnya pada sisi minimnya ketersediaan lahan di wilayah-wilayah “perkotaan”.

“Kalau di sekolah-sekolah di perkotaan ini, kadang kendalanya ketersediaan lahan, mudah-mudahan pemerintah kabupaten atau kota–SMA/SMK di perkotaan itu–kalau mau diperluas, ditambah ruang rombongan belajarnya ya silakan,” ujarnya.

“Saya cenderung (solusi pertama), daerah-daerah yang jauh kita tambah sekolah, tapi untuk yang di daerah pemukiman padat, tambah ruang belajar, itu solusi dalam penanganan, mencegah, jangan sampai ada angka putus sekolah,” tambah Sutarmidji. (Jau)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Comment