KalbarOnline, Pontianak – Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar), Sutarmidji membuka kegiatan sosialisasi dan penyuluhan Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Terintegrasi yang diselenggarakan Inspektorat Kalbar di Aula Garuda, Kantor Gubernur Kalbar, Senin (31/07/2023).
Dalam kesempatan itu, Sutarmidji mengungkapkan, sosialisasi tersebut penting dalam rangka memberikan pemahaman kepada penyelenggara negara khususnya jajaran pemerintah provinsi (pemprov), termasuk pula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan instansi lainnya, mengenai komitmen bersama dalam pencegahan korupsi.
Orang nomor satu di Kalbar itu menyebutkan untuk menghindari korupsi, perlu diketahui celah-celah yang ada, kemudian diperbaiki. Seperti misalnya dengan membangun sistem yang lebih transparan lewat digitalisasi.
“Kalau kebijakan, kebijakan itu (misalnya) kaitan diskresi hanya ada pada pucuk pimpinan dalam hal ini kepala daerah, itu juga ada aturannya yang mengikat. Kemudian aturan, kalau ada aturan yang membawa peluang orang untuk bisa melakukan korupsi itu harus diperbaiki,” ungkapnya.
Ia lalu mencontohkan tentang aturan pemanfaatan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL) lahan milik pemerintah. Midji–sapaan karibnya mengatakan, jika selama ini dari aturan yang ada, tarif berlaku untuk pihak ketiga sangat murah. Yakni hanya 2 persen untuk pemberian HGB setiap 30 tahun.
“Itu kan tidak betul. Sedangkan HGB itu bisa diagunkan (dijaminkan ke bank), misalnya aset negara Rp 8 miliar, dia hanya cukup bayar retribusi Rp 160 juta sudah bisa menguasai aset Rp 8 miliar untuk 30 tahun. (Kemudian) dia boleh mengagunkan ke bank, bisa dapat sampai Rp 5 miliar, itu ruang korupsinya besar. Kerugian negaranya besar, walaupun legal, tapi kerugian negara ada di situ,” paparnya.
Maka dari itu, menurutnya untuk memperkecil ruang tersebut, perlu dilakukan penyesuaian tarif. Misalnya lanjut dia, 2 persen bukan lagi untuk 30 tahun, tapi hanya untuk satu tahun.
“Seperti itu yang kami lakukan, penyelenggara negara harus berani melakukan hal itu,” ujarnya.
Kemudian hal lainnya, Midji menegaskan ketika ada kebijakan untuk menyelesaikan suatu masalah yang dihadapi, maka tidak bisa diperlakukan sebagai tindak korupsi, jika memang tidak ada kerugian negara. Hal tersebut dinilainya penting, agar jangan sampai jajaran di pemerintahan menjadi takut mengambil suatu kebijakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
“Karena takut dianggap korupsi, jangan takut, sepanjang tidak kita lakukan. Untuk menyelesaikan masalah itu menjadi bagian diskresi, diskresi ini pun harus dijelaskan siapa yang berhak siapa yang boleh, kemudian apa parameternya, itu semua harus dilakukan,” bebernya.
Contoh lainnya lagi, lanjut Midji menerangkan, terkait dengan penempatan para pejabat di lingkungan pemerintah daerah. Jangan sampai, kata dia, terjadi banyak kepentingan. Karena itu benar-benar harus melalui prosedur yang ada, seperti evaluasi lewat job fit maupun seleksi terbuka (open bidding).
“Jadi betul-betul murni, bukan karena kedekatan atau apa, bukan karena titipan, apalagi dengan jual beli,” tegasnya.
Hal itu juga yang ia terapkan di Pemprov Kalbar selama ini. Di mana selama dirinya menjabat selaku gubermur, tidak ada satupun pejabat yang dilantiknya menggunakan cara atau berdasarkan praktik-praktik tidak terpuji di atas.
“Jadi bisa dicari kalau ada satu saja penempatan pejabat di jajaran pemprov–selama saya menjadi gubernur itu hasil dari kolusi, suap dan sebagainya,” tantangnya.
“Banyak kan, ribuan pejabat yang sudah saya lantik, satu saja kalau ada, yang dapat (buktikan) itu saya kasi bonus besar,” pungkasnya. (Jau)
Comment